Nuansa Hujan
[April Point of View]
Aku baru saja menyadarinya,
namun semuanya sudah terlambat....
■■■
Indonesia, 2016
Aku telah lama menunggunya, di sini, di sungai favorit kami.
Entah sampai kapan aku harus menunggunya.
Aku menekuk lututku dan menangis, bersama hujan. Langit menjadi saksi perjuanganku dan dirinya kala itu.
Hujan juga menjadi saksi atas masa-masa yang kami lewati bersama. Di mana bayangan kami selalu menyatu, langkah kami yang selalu bersejajaran, dan tawa yang selalu menghiasi hari-hari.
Kini aku berjalan sendirian, tanpa adanya bayangan, langkah yang bersejajaran, ataupun tawa yang menghiasi hari-hari. Hanya ada aku dan tangisku.
Aku percaya bahwa Tuhan sedang menyiapkan sebuah cerita yang nantinya akan kami nikmati bersama. Cerita indah tentang aku dan dirinya. Tak masalah jika aku harus menunggunya seribu tahun lagi atau bahkan selama-lamanya, asalkan pada akhirnya aku dapat bersamanya. Aku tahu Tuhan selalu mendengarkan doaku.
Dalam nuansa hujan kali ini, aku berdiri melawan tetesan air langit yang kian lama kian pedih menyayat kulit. Di setiap pejaman mataku, aku berdoa agar ia bahagia di sana. Selamanya.
Salam,
-Rani Aprilia.
■■■
Orang lebih sering memanggilku sebagai April dari sebuah nama Rani Aprilia.
Aku akan sedikit menceritakan tentang kebahagiaanku. Sebenarnya sangat sederhana, hanya dengan tertawa bersama hujan, itu sudah lebih dari cukup. Karena dengan hujan, aku bisa bebas menjadi diriku sendiri.
Hari ini, langit masih berawan. Air hujan masih menetes dari pepohonan dan atap-atap bangunan. Aku mengayuh sepeda kesayangan yang sudah menemaniku sejak lima tahun terakhir. Terkadang aku berhenti mengayuh dan menapakkaan kakiku di jalanan aspal yang masih menebarkan bau basah, atau orang muda lebih sering menjulukinya dengan petrikor.
Ini tahun ketiga aku bekerja di kedai roti bersama sahabatku, Shafira. Dia adalah perempuan yang baik nan cantik. Terkadang aku menginginkan kehidupan sepertinya. Namun aku tersadar bahwa kehidupanku ini jauh lebih baik.
“Yuhu … pagi, April,” sapa Maddame—pemilik kedai ini dengan ceria. “Cepat bersihkan meja itu sampai benar-benar bersih ya. Pantastik! Lop-lop!” Maddame mengangkat jarinya membentuk love.
Aku tertawa tanpa suara. Terkadang bertemu Maddame sering kali membuat hariku semangat. Wanita paruh baya itu tidak pernah bisa melepaskan logatnya yang anti mengucapkan huruf “F’ maupun “V”, terlebih lagi, beliau selalu membubuhkan kata “yuhu” di awal kalimat dan “lop-lop” yang artinya “love-love” itu di tiap akhir kalimatnya. Dan itu hanya untuk aku.
Walaupun Maddame sudah paruh baya, tetapi perawakannya masih bagus. Kerutan di wajahnya terlihat hanya samar-samar. Tubuhnya ideal dan memiliki rambut ikal gantung yang selalu digulungkan di kepalanya. Maddame memang masih cantik, lebih tepatnya, beliau ingin dipuji mirip Kimberly Ryder.
Aku tahu Maddame menyayangiku. Beliau pernah berkata bahwa wajahku ini mirip dengan anaknya yang telah meninggal akibat leukemia lima tahun yang lalu. Ayahku juga meninggal akibat komplikasi penyakit asam lambung lima tahun yang lalu.
Banyak hal menyedihkan yang terjadi lima tahun yang lalu. Dan aku tidak ingin mengingatnya.
KRING....
Lonceng di atas pintu masuk itu berbunyi. Tanpa melihat siapa yang datang, aku juga sudah tau.
“Selamat pagi, Rani Aprilia.”
Laki-laki bertubuh tinggi itu selalu mengunjungi Kedai Roti Maddame ini. Dia sangat tampan. Rambutnya selalu ditata rapi. Laki-laki itu sangat populer sejak SMA hingga saat ini. Dia adalah Reyhan, sahabatku sejak kecil.
“Haaah, aroma vanila ini enak sekali!” puji Reyhan sambil menghirup lalu mengembuskannya aroma donat yang semerbak. “Mungkin ditambah secangkir teh hangat akan lebih nikmat.”
Aku tersenyum mendapati Reyhan yang langsung menduduki kursi langganannya. Reyhan selalu memesan pesanan yang sama sejak aku bekerja di kedai ini. Donat dengan topping vanila dan secangkir teh hangat. Apalagi jika hujan turun. Terkadang aku sempat berpikir bahwa Reyhan menyukai hal yang sama denganku, yaitu menyukai hujan.
Tanganku membawa nampan berisi dua donat topping vanila dan secangkir teh hangat. Tak lupa, aku selalu meninggalkan jejak berupa arsiran huruf A di atas topping vanila dan sepucuk kertas yang selalu menemaniku berkomunikasi dengan pengunjung.
“Donat topping vanila dan secangkir teh hangat untuk Reyhan, sahabatku yang paling tampan.” Dia membaca sepucuk kertas dariku dengan senyuman lebar. Kemudian matanya memandangku. “Aku tahu aku tampan. Jadi, aku hanya sebagai sahabatmu, nih?”
Banyak sekali perkataan Reyhan yang kerap membuatku bingung. Seperti “Kamu selalu meninggalkan rasa yang khas pada donat dan teh ini yang membuat jantungku terus berdebar”, atau “Aku tidak bisa menahan senyumanku ketika melihat kamu tertawa bersama hujan”, dan yang terakhir “Jadi, aku hanya sebagai sahabatmu, nih?”
Aku selalu bingung dengan apa yang dia ucapkan. Tak jarang aku menanyakan pada Maddame dan Shafira tentang maksud perkataan Reyhan. Tidak kuduga, mereka sama membingungkannya dengan Reyhan. Maddame dan Shafira hanya tertawa begitu aku menceritakannya. Sebenarnya yang salah mereka atau aku?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Kim Joy
hai author sudah ku like and komen ya karya mu, mampir juga ya ke karya ku terimakasih
2020-05-12
1