Pedang hitam, obat-obatan, dan tak lupa giok angsa, persiapan Shuwan sudah lengkap. Kakek dan Jianying kakaknya sudah menantinya di bawah. Shuwan pun turun dan menemui mereka.
Kakek Shuwan, Lin Quon bersiap membuat segel ruang dan waktu untuk menjembatani Shuwan ke tempat misi.
Shuwan berdiri di dalam formasi segel bersiap untuk berangkat ke dimensi yang berbeda. Sebelum ia pergi, Jianying memeluk Shuwan dan mengatakan sesuatu padanya.
“Semoga selamat sampai misi berhasil. Kau harus kembali segera mungkin. Aku akan mendoakanmu dari sini.”
“Baik, Kak. Aku pasti akan berhasil, karena restu darimu dan juga kakek. Begitu aku selesai aku akan segera kembali.”
Jianying pun melepaskan pelukannya pada Shuwan. Kakek membaca mantra untuk mengaktifkan formasi segel.
Cahaya menyilaukan memenuhi penjuru ruangan, dan sebuah pintu yang bercahaya muncul di hadapan Shuwan. Pintu itulah gerbang menuju dimensi lain.
Sebelum masuk ke pintu itu, Shuwan membalikan badan dan menatap kakek serta kakaknya sambil tersenyum.
Aku akan segera kembali.
Ketika Shuwan telah masuk ke dalam pintu itu, cahaya segel menjadi semakin terang dan perlahan memudar seiring menghilangnya pintu cahaya. Pertanda bahwa Shuwan sudah memasuki dunia dalam kisah perjalanan misi terakhirnya.
Shuwan yang telah masuk ke dalam kisah buku merah mulai berusaha memahami situasinya saat ia sampai. Saat ini ia berada di tepi sungai kecil, dan ada pohon Kenari di sana.
“Seharusnya aku bertemu dengan orang itu di sini. Kalau begitu aku akan menunggunya di atas pohon ini,” ucap Shuwan bersiap naik ke atas pohon Kenari di tepi sungai itu.
Setelah duduk dan bersandar cukup lama di atas pohon itu, datanglah seorang pemuda yang sedang kesal. Shuwan pun masih memperhatikannya dari atas pohon, meski ia tahu bahwa orang itulah tokoh utama buku merah yaitu tuan muda Zhang.
“Dasar kurang ajar! Berani-beraninya orang itu menipuku! Dia pikir dia siapa? Hah...” ucap Zhang dengan wajah angkuhnya.
Shuwan pun tertawa kecil karena melihat keangkuhan Zhang, dan ia pun mengambil buah Kenari dari pohon itu lalu melemparnya ke kepala Zhang seperti bermain kelereng hingga membuat Zhang kaget karenanya.
“Aduh...! Apa ini?” ucap Zhang sambil memungut buah Kenari yang dilemparkan Shuwan dari atas pohon.
“Siapa yang melempar ini? Apakah buah ini jatuh sendiri dan mengenai kepalaku?” Zhang pun melihat ke atas dan menyadari bahwa ada seorang wanita yang mengerjainya.
“Hei, kau! Apakah kau yang melemparkan buah Kenari ini?” tanya Zhang kepada Shuwan.
Shuwan pun memandangi Zhang dari atas pohon. Ia terkejut karena melihat wajah Zhang yang mirip dengan orang yang pernah ia temui sebelumnya, Liem.
Kenapa wajah mereka sama? Apakah ini ada hubungannya dengan Liem? Atau hanya kebetulan saja? Batin Shuwan dengan penuh keheranan.
Shuwan pun menjawab pertanyaan Zhang sebelumnya. “Kalau iya, memangnya kenapa? Seharusnya kau berterima kasih karena lemparanku itu menyadarkan kebodohanmu.”
“Apa katamu? Bodoh? Hei, apakah kau tahu sedang berbicara dengan siapa sekarang? Cepat turun dari atas sana! Ini perintah.”
Shuwan pun turun dari atas pohon untuk menghadapi Zhang, dan perdebatan pun terjadi diantara mereka. Shuwan yang blak-blakan dengan ucapannya, dan Zhang yang mudah terprovokasi.
“Siapa dirimu aku tidak peduli, dan itu tidaklah penting bagiku.”
“Kau...! Aku adalah tuan muda dari keluarga Zhang, dan kau masih berani bersikap kurang ajar?”
“Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak peduli dengan status dan jabatan yang kau punya. Apa bagusnya membanggakan hal-hal seperti itu? Jika kamu mati, apa lagi yang bisa kamu sombongkan? Sebaiknya aku segera pergi melanjutkan perjalananku. Kau sudah mengganggu waktu istirahatku.”
Shuwan pun beranjak dari tempat itu. Mendengar perkataan Shuwan barusan, Zhang pun terdiam dan tidak bisa berkata-kata. Lalu ia pun menghentikan langkah Shuwan.
“Hei, tunggu!”
Shuwan pun menghentikan langkahnya.
“Maaf atas sikap yang kulakukan tadi,” ucap Zhang dengan tulus.
“Tidak apa. Lagi pula aku juga bersalah karena telah usil padamu. Aku memang seperti itu, dan untuk itu juga aku minta maaf.”
Zhang pun tersenyum dan berkata,“Ya, sudahlah. Ngomong-ngomong tadi kau akan melanjutkan perjalanan? Ke mana? Mungkin aku bisa mengantarkanmu?”
“Negeri Awan,” jawab Shuwan dengan singkat.
Mendengar jawaban Shuwan, Zhang pun terkejut karena ternyata ia mempunyai tujuan yan sama dengannya. Ia pun kembali bertanya pada Shuwan.
“Negeri Awan? Untuk apa kau pergi ke sana?”
“Untuk bertemu seseorang.”
“Oh, begitu rupanya. Ternyata kita punya tempat tujuan yang sama.”
Shuwan sudah mengetahui semuanya, karena ia telah menamatkan buku itu. Tapi ia hanya ingin menguji Zhang dan mengikuti alur buku merah.
“Lalu, kenapa kau ingin ke sana juga?” tanya Shuwan dengan wajah seolah-olah belum tahu alasannya.
“Aku ke sana untuk mencari obat dari penyakitku ini.”
Setelah mengutarakan alasannya, Zhang pun memasang wajah lesu. Shuwan yang menyadarinya segera memecah keheningan diantara mereka.
“Karena tempat tujuan kita sama, kalau begitu ayo pergi bersama.”
“Ah, bolehkah?” ucap Zhang seakan tidak percaya.
“Tentu saja! Siapa tahu nanti di perjalanan aku membutuhkan bantuanmu begitupun sebaliknya. Setidaknya kau memiliki teman dalam perjalanan panjangmu.”
Perkataan Shuwan mengingatkan Zhang pada ucapan biarawan mengenai teman seperjalanan yang akan ditemuinya dalam perjalanan.
Mungkin orang ini yang dimaksud biarawan itu. Zhang berucap dalam hatinya.
“Kalau begitu baiklah. Kau benar, siapa tahu aku membutuhkan bantuanmu di perjalanan.”
Shuwan pun tersenyum pada Zhang.
“Oh, iya. Kita belum berkenalan. Siapa namamu?” tanya Zhang.
“Namaku Lin Shuwan, panggil saja Shuwan.”
“Baiklah, Shuwan. Panggil saja aku Zhang.”
“Oke. Kalau begitu ayo pergi sekarang” ajak Shuwan.
“Ayo.”
Selama perjalanan, Zhang merasakan perasaan aneh. Ia merasa seperti mengenal Shuwan sebelumnya, tapi ia tidak mengutarakannya dan memilih memendamnya saja. Ia menguatkan dirinya bahwa mungkin itu perasaannya saja.
Setelah berjalan hampir seharian, mereka tiba disebuah pasar dan mampir ke sana untuk membeli persediaan makanan.
Shuwan hanya mematung memandangi huru hara di pasar saat itu. Kemudian, Zhang meminta Shuwan menunggunya di kedai dekat pintu masuk pasar karena Zhang yang akan berbelanja.
Karena Zhang terlalu lama berbelanja, Shuwan menjadi tidak sabar dan mencarinya di tengah kerumunan pasar.
“Ck.. Tidak ku sangka kalau laki-laki berbelanja bisa selama ini," gerutu Shuwan sambil berjalan.
Melihat ada yang menjual gulali, Shuwan pun tertarik dan mampir ke penjual itu. Zhang yang telah selesai berbelanja kembali ke tempat di mana ia meninggalkan Shuwan, hingga ia menyadari bahwa Shuwan tidak ada di sana. Akhirnya, Zhang pun bergegas mencari Shuwan.
“Shuwan... Shuwan...” teriak Zhang di tengah kerumunan pasar.
Zhang pun terus berjalan hingga ke tengah pasar, dan ia menemukan Shuwan sedang membeli gulali. Zhang pun menghampiri Shuwan.
“Hei, kau! Tadi sudah kubilang untuk menunggu di kedai kan? Lantas kenapa malah ada di sini?”
Shuwan pun memandangi Zhang.
“Kenapa kau bilang? Jika bukan karena kau berbelanja begitu lama tentu aku tidak akan bosan dan memilih pergi.”
“Apa katamu? Hei, Nona, aku pergi berbelanja untuk persediaan perjalanan kita dan kau malah menyalahkanku?” ucap Zhang dengan nada yang meninggi.
Tiba-tiba saja penjual gulali itu ikut masuk ke perdebatan Shuwan dan Zhang.
“Sebagai pasangan kekasih kalian masih memiliki ego yang tinggi, jika saja kalian ada yang mau mengalah pasti hubungan kalian tidak rapuh seperti sekarang ini.”
“Kami bukan pasangan kekasih!” ucap Zhang dan Shuwan secara bersamaan.
Penjual gulali itu pun tersenyum dan berkata, “Ada kalanya perkelahian itu membuat ikatan yang terjalin menjadi semakin erat. Aku yakin kalian akan segera menjadi dekat seperti darah dan daging.”
Shuwan pun menanggapi pernyataan penjual gulali itu.
“Pak tua, Anda sebaiknya jangan sembarangan bicara. Aku baru mengenal pria ini beberapa jam yang lalu. Bagaimana bisa Anda mengatakan bahwa kami adalah pasangan kekasih?”
“Benar,” Zhang pun menimpali pernyataan Shuwan.
Penjual gulali memberikan gulali yang dipesan oleh Shuwan dan kembali mengatakan hal yang membuat Shuwan dan Zhang terkejut.
“Hal yang sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa tidak bisa dihindari, begitu pula kalian berdua. Yah, sebaiknya kalian pergi sekarang. Aku mau menutup kedaiku.”
“Hei, Pak tua, apa maksud dari perkataanmu barusan?” tanya Zhang pada penjual gulali itu.
Namun, penjual gulali itu tidak menanggapi pertanyaan Zhang dan bergegas akan pergi setelah mengemasi dagangannya. Ia pun menimpali pertanyaan Zhang.
“Sebaiknya kalian segera pergi dari sini. Tempat ini saat sudah gelap menjadi sangat berbahaya. Semoga misi kalian tercapai, dan bisa segera memiliki anak yang imut. Aku akan mendoakan kebahagian kalian berdua.”
“Apa kau bilang?!” Shuwan pun mengepalkan tangan dengan erat dan memasang wajah seperti akan membunuh.
"Sudahlah, aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa.”
Pria penjual gulali itu melambaikan tangan, kemudian berjalan meninggalkan mereka berdua dan menghilang di tengah kerumunan.
“Sudahlah, Shuwan. Sebaiknya kita dengarkan nasihat pak tua itu.”
“Dengarkan yang bagian mana?” tanya Shuwan dengan tatapan membunuh.
“E.. Eh.. Bagian kita harus meninggalkan tempat ini segera.”
“Kalau begitu ayo! Aku sudah lelah ada di tengah keramaian.”
Shuwan membalikkan tubuh dan berjalan sambil memakan gulali yang ia beli. Zhang mengikutinya dari belakang. Mereka pun bergegas meninggalkan pasar dan pergi melanjutkan perjalanan meski penuh dengan pertanyaan mengenai pria penjual gulali itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
🐝⃞⃟⃝𝕾𝕳Simple Hayati
mantaaap !!!
2020-09-22
1
Lintang Lia Taufik
semangat
2020-08-27
0
Sugianti Bisri
suka♥️♥️♥️♥️♥️
2020-08-27
0