Di tepian sungai Jingtze aku berdiri
Menatap langit senja di sore hari
Berharap bahwa dirimu akan kembali
Membawa segenggam rasa yang pernah kuberi
Namun, kenyataan tetap tak bisa dibohongi
Bahwa dirimu telah pergi dan tidak akan pernah kembali
Jika kamu mau menanti
Semoga kelak kita dipersatukan kembali
Puisi itu membuka kisah dalam buku merah.
Dikisahkan bahwa ada seorang pemuda bernama Zhang yang berkelana mencari penawar untuk penyakit yang dideritanya. Keluarganya masih keturunan bangsawan, dan tentu saja ia adalah tuan muda dari keluarganya.
Suatu hari kebakaran hebat terjadi di kediaman Zhang dan menewaskan seluruh anggota keluarganya. Akhirnya Zhang menjadi yatim piatu. Ia pun diasuh oleh pamannya. Ketika musim dingin tiba, penyakit Zhang kambuh. Pamannya pun telah memanggil banyak tabib untuk mengobati penyakit Zhang, tapi tetap saja tidak ada yang berhasil.
Hingga suatu ketika paman Zhang bertemu dengan seorang biarawan dan meminta bantuan. Biarawan itu pun mengatakan pada paman Zhang bahwa obat untuk penyakit keponakannya itu ada di Negeri Awan. Paman Zhang yang mendengar jawaban biarawan itu pun terkejut. Ia mendengar bahwa negeri itu hanya ada dalam legenda, tapi ternyata negeri itu benar-benar ada.
Kemudian biarawan itu menjelaskan lagi, bahwa yang bisa mencapai tempat itu adalah keponakannya sendiri. Jadi, dia harus melakukan perjalanan ini sendiri. Biarawan itu juga berpesan agar pamannya membawa Zhang untuk menemuinya sebelum berangkat untuk mencari obat itu.
Setelah mendengar penjelasan sang biarawan, paman Zhang pun kembali ke rumah dan mengatakan pada Zhang apa yang dikatakan oleh biarawan itu. Zhang pun mengerti, dan ia pun akan melakukan perjalanan itu sendiri. Paman Zhang tentunya khawatir jika penyakit Zhang kambuh di tengah perjalanan, sedangkan ia menempuh perjalanan sendirian.
Akhirnya sebelum Zhang pergi, ia dengan pamannya menemui biarawan. Biarawan itu mengatakan bahwa dalam perjalanannya nanti ia akan bertemu dengan orang-orang yang akan menjadi teman perjalanannya. Ia pun juga memberikan belati sebagai senjata perlindungan Zhang. Zhang pun berterima kasih pada biarawan itu, dan berpamitan pada pamannya kemudian pergi meninggalkan desa.
Dalam perjalanannya mencari penawar, ia bertemu dengan dua orang yang belum ia kenal di tempat berbeda yang dia lalui. Kedua orang itu yang kemudian ikut pergi bersama Zhang.
Bukan tanpa alasan mereka mengikuti Zhang mencari obat, tapi karena tidak ada harapan hidup bagi keduanya jika mereka masih menetap di tempat mereka berada. Pasalnya mereka telah mengalami banyak penderitaan dan kesusahan di tempat mereka sebelumnya.
Karena itu, mereka memutuskan untuk bergabung bersama Zhang. Awalnya, perjalanan mereka berjalan dengan lancar. Hanya saja ketika berada di tempat terakhir sebelum mencapai tempat tujuan, salah satu teman Zhang yang ia temukan dalam perjalanan tiba-tiba diculik oleh sekawanan bandit. Para bandit itu akan membebaskan teman Zhang jika Zhang bisa memberikan obat yang ia cari kepada mereka.
Tentu Zhang bingung dengan sistem pertukaran ini, tapi akhirnya ia memutuskan untuk melakukannya dengan syarat bahwa para bandit itu tidak akan menyakiti teman Zhang itu. Pimpinan bandit menentukan tempat untuk bertransaksi, yaitu di muara sungai Yangtze.
Akhirnya Zhang bersama temannya yang tersisa melanjutkan perjalanan untuk mendapatkan penawar itu agar dapat segera menyelamatkan temannya.
Zhang pun berhasil sampai di Negeri Awan dan memperoleh penawar itu setelah melakukan transaksi dengan penguasa negeri itu. Bersama temannya, Zhang bergegas menuju lokasi temannya disandera, yaitu muara sungai Yangtze.
Setelah sampai di tempat penyanderaan, Zhang bertemu dengan pimpinan para bandit untuk bertransaksi. Akhirnya Zhang memberikan obat itu pada pimpinan bandit dan teman Zhang pun bebas.
Ketika mereka akan meninggalkan tempat itu, tiba-tiba saja pimpinan para bandit memerintahkan bawahannya yang bersenjata untuk mengepung mereka bertiga. Pimpinan itu pun memerintahkan agar mereka bertiga dibunuh dan jasadnya dilemparkan ke dalam sungai.
Karena kalah jumlah dan senjata, mereka bertiga pun tewas dengan mengenaskan. Jasad mereka dihanyutkan agar tidak bisa ditemukan. Sedangkan para bandit bergegas pergi agar tidak tertangkap oleh penguasa wilayah itu.
Padahal harapan Zhang adalah bisa hidup lebih lama setelah meminum obat itu dan menanti orang yang ia cari selama ini di tempat ia terbunuh sekarang. Tapi takdir berkata lain, dan ia pun harus mati secara mengenaskan dengan keinginannya yang belum tercapai.
“Kasihan sekali pemuda bernama Zhang ini. Keluarganya mati terbakar, dan ia pun tidak bisa berjumpa dengan orang yang ia nantikan,” ucap Shuwan setelah selesai membaca kisah dalam buku merah.
Tidak terasa Shuwan membaca buku itu selama berjam-jam dan langit pun telah berubah menjadi gelap karena malam telah tiba. Perut Shuwan pun keroncongan karena lapar. Akhirnya ia menyudahi aktivitas membacanya dan menutup buku merah itu.
Ketika melihat jam, Shuwan pun kaget karena melewatkan jam makan malam bersama di ruang makan.
“Astaga! Sudah jam segini? Aku melewatkan makan malam. Apakah kakak menyisakan makanan untukku? Perutku terasa sangat lapar sekarang.”
Dengan wajah yang lesu ia pun menuruni anak tangga dan mendapati kakak serta kakeknya yang sedang menikmati acara televisi.
Shuwan pun menghampiri Jianying.
“Kak, kenapa tadi tidak memanggilku saat makan malam?”
“Aku tadi sudah memanggilmu, bahkan masuk ke kamarmu. Melihat kamu sedang fokus membaca aku jadi tidak ingin mengganggumu. Jadi aku makan terlebih dahulu bersama kakek," jawab Jianying.
“Lalu bagaimana sekarang? Aku merasa sangat lapar karena belum makan?”
“Tenang saja, aku menyisihkan makan malammu.”
“Benarkah? Terima kasih sudah mengingatku." Wajah Shuwan kembali sumringah karena kakaknya masih menyisakan makan malam untuknya.
“Tentu saja, sekarang makanlah sebelum semakin larut. Atau tubuhmu akan jadi seperti gajah karena makan terlalu malam,” kata Jianying menggoda adiknya.
“Aku tidak akan gemuk! Lagi pula, setiap hari aku melakukan latihan fisik, jadi lemak-lemak yang ada di tubuhku langsung terbakar lagi.”
Jianying pun tertawa dan berkata, ”Aku hanya bercanda. Sudah, makan dulu dan segera tidur.”
“Iya, iya. Aku makan. Kadang aku berpikir bahwa kamu lebih cerewet daripada ibu.”
“Apa kamu bilang?” tanya Jianying dengan wajah yang sedikit kesal karena digoda adiknya.
“Bukan apa-apa. Kalau begitu aku makan dulu.”
Shuwan pun duduk dan makan di meja makan sendirian, karena hanya tinggal dirinya yang belum makan malam. Setelah selesai makan dan membereskan peralatan makannya, ia pun menghampiri kakek untuk menyampaikan maksudnya.
“Kek, besok aku akan berangkat menjalankan misi.”
“Baiklah, persiapkan dirimu dan juga perlengkapan yang harus kamu bawa,” katanya.
“Baik, Kek.”
“Sekarang beristirahatlah. Aku akan meramu obat-obatan herbal untuk kamu bawa besok," Jianying menimpali.
“Oke, Bos!” ucap Shuwan sambil melakukan gerakan hormat pada kakaknya.
Shuwan pun ke atas dan beristirahat di kamarnya agar energi serta kekuatannya terkumpul.
Karena lelah setelah seharian membaca buku, Shuwan pun terlelap dengan cepat. Suasana yang hening dan menenangkan membuat Shuwan tertidur dengan pulas.
Bunyi jam berdetik, dan bumi yang masih terus berotasi.
Dalam lelapnya, Shuwan bermimpi. Hanya saja mimpi itu tidak jelas, hanya nampak seperti gambar-gambar rol film yang kabur. Ia pun kaget karena mimpinya sehingga membuatnya terbangun dengan kondisi yang berkeringat dan terengah-engah.
“Apakah itu tadi mimpi? Kenapa rasanya seperti nyata?”
Ia pun melihat ke sekeliling kamarnya. Pandangannya mengarah ke arah jendela, dan menyadari bahwa pagi telah tiba.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
🐝⃞⃟⃝𝕾𝕳Simple Hayati
lanjuuuut
2020-09-22
2
Sofia NF
Hai kak aku sudah mampir dan boomlike ceritanya. Mampir juga kak ke karya keduakuku In Your 30’s, ditunggu ya!
2020-09-10
0
Sofia NF
Hai kak aku sudah mampir dan boomlike ceritanya. Mampir juga kak ke karya keduakuku In Your 30's, ditunggu ya!
2020-09-07
0