“Sus, ini semua data rekam medis pasien yang check up hari ini ya. Minta tolong dikasihkan ke bagian administrasi.”
Suara seorang dokter muda yang telah mencapai gelar Dokter Spesialis Telinga Hidung dan Tenggorokan.
dr. Kaukaba Ali Ahmad, Sp. THT.
Di dalam ruang praktik dengan suhu yang cukup dingin itu masih terlihat seorang dokter muda yang masih duduk di kursinya. Dengan mengenakan hem lengan panjang dibalut jas berwarna putih. Setelah ia menyelesaikan praktiknya, ia sedikit bersantai sembari membuka ponselnya. Kaba langsung mencari nomor Uminya dan memencet tombol panggil.
“Assalamu’alaikum. Umi ini Kaba sudah selesai, Kaba segera meluncur untuk jemput Umi ya.”
“Wa’alaikumsalam. Iya Umi tunggu di depan masjid ya.” Jawab Umi di telpon.
Kaba langsung membereskan barang-barangnya. Dengan menenteng tas dan membawa kunci motor di tangannya, ia segera berjalan menuju finger print untuk melakukan ceklok. Dinas di rumah sakit kedua ini jangka waktunya lebih singkat daripada di rumah sakit pertama.
Walau Kaba sudah menjadi seorang dokter spesialis, ia tetap memilih mengendarai sepeda motornya daripada harus membeli mobil. Bukan tak mampu, ia seorang pewaris tunggal di keluarganya tapi hidup dengan tetap sederhana.
Sesampainya di parkiran rumah sakit, Kaba masih kerepotan untuk mengeluarkan motornya.
“Duh, harus cepet ini. Kasihan nanti Umi nunggu lama.” Ujar Kaba yang sedang menghidupkan mesin motor.
15 menit kemudian, di depan Masjid Agung
Terlihat seorang perempuan paruh baya yang sedang duduk di halte depan masjid. Tak lain itu adalah Umi Kaba, yang akrab disapa Umi Salamah.
Ciiiitt…
“Umi..” sapa Kaba.
Umi Salamah seketika berdiri, mengenali suara sang anak yang ternyata sudah ada di depannya.
Dipakaikan helm di kepala sang Umi, kemudian membetulkan tempat Umi duduk di motornya.
“Sudah siap, Mi?” tanya Kaba sembari melihat ke spion.
Melihat Uminya menganggukkan kepala, Kaba pun melaju dengan kecepatan sedang.
Kaba merupakan anak seorang pendakwah dan dosen di sebuah perguruan tinggi negeri. Ia anak tunggal yang sangat berprestasi. Walau menjadi anak tunggal dari orang tua yang hebat, ia tetap memilih hidup sederhana.
Saat kuliah, ia memilih jurusan kedokteran dan berhasil menyelesaikan gelar kedokterannya di kampus terkemuka dengan tepat waktu. Tidak puas begitu saja, ia ingin cita-citanya menjadi dokter spesialis terwujud. Ia meminta restu ke orang tuanya untuk melanjutkan sekolah spesialis di Jepang.
Setelah Kaba menyelesaikan gelar spesialisnya, ia kembali ke Indonesia dan mulai bekerja di beberapa rumah sakit terkemuka.
Hingga saat ini, Kaba belum juga menikah. Alasannya, karena hubungannya pernah tidak direstui oleh orang tuanya. Wanita yang dulunya satu fakultas dengan Kaba itu, memilih hijrah dengan mengenakan pakaian syar'i dan berniqab. Namun, latar belakang ilmu agamanya yang tidak sejalan membuat restu itu tak didapatkannya dari Umi Salamah.
Sampai Kaba belum menikah, Allah berkehendak lain. Kaba harus berpisah dengan Abanya. Abanya berpulang di saat Kaba belum bertemu dengan jodohnya.
Depan rumah Kaba
"Alhamdulillah, sampai rumah." Ucap Umi Salamah.
Umi Salamah yang tak lagi muda itu menuruni motor dengan sangat perlahan. Kaba memegangi tangan Uminya agar keseimbangannya tetap terjaga.
Setelah melihat Uminya turun, Kaba pun memarkirkan motornya.
Seperti biasa, ia tak langsung masuk ke dalam rumah. Masih bersantai duduk di kursi yang ada di depan rumahnya. Diletakkannya tas yang ia bawa di meja. Ia membuka resleting tas dan mengambil ponselnya.
“Loh, Gus Lafi telpon gak terangkat.” Ucapnya dalam hati.
Kaba pun menelpon balik Gus Lafi.
Tuuuuutt...
“Assalamu’alaikum.. Gus, maaf tadi masih ada jam praktik. Ada apa ya?”
“Wa’alaikumsalam. Iya mau ngobrol dikit sama Kaba, bisa?” suara Gus Lafi dari seberang telpon.
“Gini, saya dulu pernah menawarkan kamu untuk dijodohkan bukan? Apakah saat ini masih bersedia untuk dijodohkan?” tanya Gus Lafi.
“Hmm.. InsyaAllah Gus, boleh tau dengan siapa ya?”
“Hari kamis malam bisa datang ke rumah saya? Tadi saya sudah sampaikan ke anaknya, untuk datang ke rumah saya hari kamis. Saya temukan kalian, mungkin untuk pertama kalinya.”
"Baik, Gus. Nanti saya akan sampaikan ke Umi."
"Ya sudah, mudah-mudahan kamu bisa terima dia nantinya ya. Assalamu'alaikum." Ucap Gus Lafi.
"Njih Gus. Wa'alaikumsalam." Jawab Kaba.
Tut.. tut.. tut..
"Dijodohkan. Ya mungkin ini jalan yang terbaik. Pasti Gus Lafi juga gak mungkin sembarangan memilihkan orang. Ingat umur juga Kaba.. Udah 35 ini gimana gak nikah-nikah. Hehe."
Suara lirih Kaba dengan menertawakan dirinya sendiri.
Kemudian, Kaba mulai mengemas tas yang ada di meja dan masuk ke dalam rumah.
Ia membuka pintu kamarnya dan terhenti seketika.
"Lah ya Kaba. Coba udah nikah gitu kan enak. Datang ada nyambut, nyiapin teh hangat. (Senyum tipis)".
Kaba yang sedang melamun itu dikejutkan oleh suara seorang perempuan yang tak lagi muda.
"Heh. Baru datang kok senyum-senyum sendiri." Ucap Umi Salamah.
"Hehe, enggak Mi."
Kaba hanya tersipu malu sembari menggaruk kepalanya.
"Duduk situ yuk, Mi. Ada yang mau Kaba bicarakan." Ucap Kaba.
Kaba menuntun Uminya berjalan menuju kursi di ruang tengah.
"Jadi gini, tadi Gus Lafi telpon. Beliau bilang, besok malam Kaba diminta datang ke rumahnya untuk dipertemukan dengan calon Kaba. Pilihan Gus Lafi." Terang Kaba.
"Iya bagus. Dulu Gus Lafi juga pernah bilang ke Aba sama Umi. Itu dari jaman Abinya Gus Lafi dan Aba masih hidup. Minta kamu untuk dijodohkan saja."
"Jadi, Aba Umi sudah tau? Kok gak bilang dari jaman Aba masih ada?" Protes Kaba.
"Sengaja, nunggu kamu siap dulu. Umi sendiri juga belum tau dijodohkannya sama siapa." Jawab Umi Salamah.
Mendengar jawaban Uminya, Kaba semakin penasaran ia akan dijodohkan dengan siapa.
"Ya sudah Umi, besok Umi temani Kaba ya ke rumah Gus Lafi." Pinta Kaba.
"Iya, biar Umi juga tau siapa calon menantu Umi. Hehe."
Terlihat senyum bahagia terpancar dari wajah Umi Salamah. Kemudian, beliau meninggalkan Kaba duduk sendirian di ruang tengah.
"Ya sudah, bersih-bersih dulu sana." Pinta Umi Salamah.
Kaba mengiyakan perintah Uminya dan segera pergi ke kamarnya.
Setelah itu, Kaba bergegas menuju kamar mandi dan membersihkan diri setelah seharian ia praktik di 2 rumah sakit.
Kaba tak menyangka, jika ia akan dipertemukan dengan calonnya di waktu yang secepat ini. Ia masih teringat di kala hatinya dipatahkan karena restu, hingga ia memilih untuk tidak menikah.
Seusai Kaba menyelesaikan mandinya, ia pun merebahkan badan pada kasur yang tak berukuran besar itu.
Bagaimana mungkin aku dijodohkan. Hehe. Gak nyangka ya Allah, ternyata rencana-Mu seperti ini. Setelah ngambek bertahun-tahun, ujung-ujungnya dijodohkan. Bismillah saya bisa menyayanginya dengan tulus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments