Rumah Gus Lafi
Suasana pekarangan rumah yang asri dengan tatanan bunga-bunga di samping pagar. Rumah yang berdiri megah di dalam sebuah gang perkampungan yang cukup besar. Dibalut warna putih dengan tiang-tiang rumah dari kayu jati yang sangat kokoh. Ya, inilah rumah Gus Lafi.
Hanafi yang baru saja sampai di depan pagar, langsung mematikan mesin motornya dan melepas helm. Terlihat ada seorang perempuan paruh baya yang sedang menyapu pekarangan rumah tersebut.
“Assalamu’alaikum..” ucap Hanafi yang masih berdiri di depan pagar.
Perempuan paruh baya tersebut membalikkan badan mencari asal suara tersebut.
“Wa’alaikumsalam.. Eehh,, ada Den Hanafi. Monggo, masuk.” Ucap Bi Ina.
Bi Ina meletakkan sapu kemudian menghampiri Hanafi. Beliau membukakan pagar rumah dengan perlahan.
“Gus Lafi ada, Bi?” tanya Hanafi.
“Ada, Den. Mari masuk.”
Hanafi membantu Bi Ina untuk menutup pagar. Setelahnya ia berjalan mengikuti langkah Bi Ina menuju ruang tamu.
Sesampainya di depan pintu rumah, Hanafi berdiam menunggu Bi Ina memanggilkan Gus Lafi. Dilihat-lihatnya setiap sudut pekarangan rumah sore itu yang mulai dingin. Rumah ini penuh kenangan di saat Hanafi kecil ikut Abinya untuk menemui Aba Gus Lafi semasa hidup.
“Ada apa, Han?” suara berat itu mengejutkan Hanafi.
“Masuk sini loh. Kok malah ngelamun di situ. Duduk sini.”
Hanafi pun memasuki rumah dengan langkah kecil. Terlihat Gus Lafi sudah lebih dulu duduk, maka ia pun duduk di kursi yang berseberangan.
Setelah sedikit berbasa-basi, Hanafi langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Gus Lafi menyimak setiap ucapan Hanafi dan kemudian memberikan tanggapan.
“Iya, saya pernah bilang toh, kalo mau ngejodohin Afsheen sama Kaba. Kalo menurut nasab ya gak apa-apa. InsyaAllah Umi mu merestui kalo Afsheen sama Kaba.” Ujar Gus Lafi.
Belum selesai Gus Lafi berbicara, datanglah Bi Ina dengan membawakan 2 cangkir teh hangat. Setelah meletakkan cangkir di atas meja, Bi Ina pamit kembali ke belakang.
Gus Lafi mengangkat cangkir dan meminum teh yang dibawakan Bi Ina tadi.
Sruuupp…
“Gini, Han. Afsheen itu orangnya sulit membuka hati toh? Jadi, nanti dipertemukan di sini saja dulu. Setelah itu biar mereka pendekatan dan saling bertukar nomor handphone.”
“Oh iya, Gus. Boleh. Kira-kira kapan waktu untuk mempertemukan mereka?” jawab Hanafi.
Setelah itu, Gus Lafi menentukan hari untuk mempertemukan Afsheen dan Kaba.
“Hari kamis depan bisa? Mungkin setelah sholat isya’. Karena menentukan jadwal praktiknya Kaba. Kebetulan kalo kamis praktiknya sampai sore setahu saya. Nanti biar saya yang hubungi Kaba.” Ucap Gus Lafi.
“Baik, Gus. Nanti coba saya sampaikan ke Umi dan Afsheen.”
Gus Lafi hanya menganggukkan kepala, mengiyakan ucapan Hanafi barusan.
“Diminum dulu, Han.” Pinta Gus Lafi.
Seusai Hanafi meminum teh tersebut, ia pamit pulang.
“Kalo begitu saya pamit pulang Gus.” Ucap Hanafi sembari menjabat tangan Gus Lafi. “Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati, Han.” Jawab Gus Lafi.
Hanafi pun menganggukkan kepala. Kemudian, membalikkan badan dan berjalan menuju sepeda motor yang ia sendiri tak menyadari jika masih terparkir di depan pagar. Dilihatnya tak lagi ada Bi Ina di pekarangan rumah, Hanafi pun langsung membuka dan menutup pagar sendiri.
Setelah itu, ia menghidupkan mesin motornya dan meninggalkan rumah Gus Lafi. Tujuannya langsung pergi ke rumah Uminya.
Rumah Umi
“Assalamu’alaikum..” ucap salam dari Hanafi.
Hanafi langsung berjalan menuju ruang makan, dilihatnya Umi Tsuroyah sedang duduk menikmati bakwan goreng yang ada di meja makan.
“Wa’alaikumsalam.. Dari mana ini? Kok sendirian.” Jawab Umi Tsuroyah.
Dengan suara pelan Hanafi menyampaikan kepada Uminya setiap pesan yang disampaikan Gus Lafi.
“Jadi, nanti Afsheen dipertemukan dulu di rumah Gus Lafi? Terus lamarannya kapan?”
“Ih, Umi. Jangan tergesa-gesa gitu. Hehe. Biarkan mereka saling kenal. Ya walau masih saudara kan mereka hampir gak pernah ketemu.” Ujar Hanafi.
Umi pun hanya tersenyum tipis.
“Afsheen di kamarnya, Mi? Hanafi mau sampaikan ini dulu ke Afsheen.”
“Ada, Ya sudah, sana.”
Tok.. tok.. tok..
Afsheen yang sedang berbaring di kasurnya mendengar ada yang mengetuk pintu.
Hanafi berbeda dengan Farhan, ia lebih suka asal masuk ke kamar Afsheen.
“Ada apa, kak? Mbak Mey mana?” tanya Afsheen yang kemudian bangun dan duduk di kasurnya.
“Aku bawain kabar baik nih.” Jawab Hanafi.
“Kabar baik bagi kakak belum tentu baik buat aku kan? Haha. Ya sudah, apa kabar baiknya?” ucap Afsheen dengan sedikit penasaran.
Kemudian, Hanafi menjelaskan pada Afsheen, bahwa ia baru saja dari rumah Gus Lafi. Ia menyampaikan jika Gus Lafi bersedia menjadi perantara Afsheen dengan calonnya. Hanafi masih merahasiakan siapa laki-laki itu dari Afsheen.
“Jadi, nanti itu aku dipertemukan dulu sama laki-laki itu? Gak langsung dilamar kan, kak?”
“Enggak, nanti kalian boleh bertukar nomor hp, boleh kenalan dulu. Nanti kalo emang gak cocok ya gak apa-apa.” Ujar Hanafi. “Tapi, aku yakin kamu cocok sama dia.” Lanjut Hanafi dengan tatapan jail.
“Deg deg an aku. Hehe. Mana 2 hari lagi hari kamis itu, kak.”
“Santai saja. Sudah ya, aku tak pulang dulu. Kasihan Mey sendiri di rumah.” Ucap Hanafi.
Hanafi pun beranjak meninggalkan kamar bernuasa krem itu. Disusul Afsheen yang masih melemparkan beberapa pertanyaan pada kakaknya.
“Terus, aku ke sana sama siapa aja?” tanya Afsheen.
“Ya sama aku sama Umi. Mungkin Kak Farhan bisa ikut ya biar sekalian ikut.”
“Waduh, kok macam pertemuan keluarga gini sih.”
Sampai di perbatasan ruang tengah, mereka menghampiri Uminya yang sedang duduk di ruang tamu.
“Hanafi langsung pulang ya, Mi.” menjabat tangan Umi Tsuroyah dan diciumnya dengan penuh kasih.
“Ya sudah, hati-hati di jalan ya.”
“Iya, Umi.” Jawab Hanafi sembari mencium tangan Uminya.
Setelah Hanafi menyampaikan pesan dari Gus Lafi tadi, Afsheen terlihat melamun lagi. Umi yang masih di samping Afsheen pun mengajaknya berbicara.
“Sini duduk, nak.” Pinta Umi Tsuroyah.
Afsheen berjalan memasuki rumah dan duduk di samping Uminya.
“Menurut Umi, alangkah baiknya Afsheen turuti keinginan Gus Lafi untuk bertemu laki-laki itu.”
“Emangnya Umi setuju?” tanya Afsheen dengan tatapan mata yang masih melamun.
“Yaa, kalo pilihan Gus Lafi Umi ya setuju aja.” Jawab Umi Tsuroyah dengan senyuman jail.
Melihat Afsheen yang masih melamun, Umi Tsuroyah pun meninggalkannya, memberi Afsheen waktu untuk menyendiri.
Di sini Afsheen terlihat sangat gugup. Ia tak tau apa yang harus dipersiapkan untuk bertemu dengan laki-laki yang akan dijodohkan dengannya. Tak ingin melamun di ruang tamu terlalu lama, akhirnya ia kembali menuju kamarnya.
Afsheen duduk di depan kaca rias yang ada di kamarnya, menanyakan kesiapan pada dirinya sendiri.
“Hei Afsheen.. Kamu yakin dengan perjodohan ini? Sumpah kok jadi takut kalo sampe laki-laki itu berekspektasi tinggi tentang aku ya. Padahal, aku ya begini saja orangnya. Huft.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments