Sepasang anak yang berbeda gender masih terlelap di alam mimpi, membuat Frankie hanya bisa menggelengkan kepala melihat posisi tidur mereka yang begitu aneh. Ellios tidur dengan telungkup, kepalanya yang berambut maroon terjulur dari tempat tidur, sementara kaki-kakinya terbuka ke sembarang arah. Di sisi lain, Ran tidur terlentang dengan satu kakinya bertumpu di atas punggung Ellios, tanpa peduli pada keadaan sekitarnya.
Frankie menarik gorden kamar dengan pelan, membiarkan cahaya matahari pagi masuk dan menerpa wajah kedua anak yang sedang tertidur pulas. Cahaya terang itu membuat mereka mengernyitkan mata, terganggu oleh sinarnya yang mendadak menyentuh kulit mereka.
Keduanya perlahan menggeliat, terbangun dari tidur mereka yang nyenyak. Tiba-tiba, sebuah tendangan mendarat telak pada punggung Ellios, membuatnya terjatuh dari ranjang dan terpaksa meninggalkan mimpinya yang indah.
"Adduh!" Ellios mengeluh, sambil menatap Ran dengan tatapan sengit. Dengan kesal, ia bangkit dan menarik selimut yang membungkus Ran.
"Bisakah kau tidak menendangku?" makinya sambil menyeret selimut itu, mencoba membungkus Ran kembali.
Ran yang masih setengah terjaga hanya mengucek matanya dan menjawab tanpa dosa, "Hoaamm... Selamat pagi, Kak Elli. Aku pikir tadi menendang guling." Ia menguap lebar, membuat Ellios mendengus kesal.
"Guling kepalamu," umpat Ellios, kesal, yang langsung mendapatkan jeweran manis dari Frankie.
"Ouch! Ayah!" seru Ellios kesakitan, mencoba melepaskan diri dari jari telunjuk Frankie yang mencengkram telinganya.
"Ellios, mulutmu harus dijaga. Jangan mengumpat di depan nona, nanti kau bisa mendapat masalah," kata Frankie tegas, matanya menatap tajam. Ellios hanya bisa merengut, memohon agar pria paruh baya itu melepaskan tangannya dari telinganya.
"Iya, Ayah. Maaf... Tolong lepaskan tanganmu dari telingaku," jawab Ellios malas, meskipun suaranya terdengar sedikit mengeluh karena masih merasa sakit.
Ran, yang melihat kejadian itu, segera membela kakaknya, "Tidak apa-apa, paman. Aku menganggap Kak Elli sebagai kakakku. Tolong jangan marahi dia."
Frankie akhirnya melepaskan jeweran pada telinga Ellios dan menatap Ran dengan lembut. "Nona, hari ini tuan Damian akan datang. Mohon Anda bersiap." Ucapnya dengan nada lebih lembut, memberi peringatan pada Ran yang tampak bingung.
"Tuan Damian? Siapa dia?" tanya Ran dengan penuh kebingungan, berusaha mengingat sesuatu yang mungkin terlewatkan.
"Nanti Anda akan tahu. Sebaiknya Anda segera bersiap," jawab Frankie singkat, sambil menarik Ellios yang sibuk mengusap telinganya agar keluar dari kamar Ran.
Ran menatap mereka yang pergi dengan penuh rasa penasaran, namun dalam hati dia merasa ada yang aneh. Dia tidak pernah mendengar tentang kakeknya atau keluarga ibunya, kecuali Joshua. Sejak kecil, Ran hanya mengenal paman Joshua yang memberinya boneka teddy bear merah-hitam sebagai kenang-kenangan pada ulang tahunnya yang keempat. Boneka itu adalah satu-satunya kenang-kenangan yang dia miliki.
"Sudahlah, mungkin dia orang yang tidak penting," gumam Ran dengan santai sambil bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia berusaha menepis rasa penasaran yang mulai muncul di hatinya, meskipun dia tidak tahu bahwa jika Damian mendengar gumaman itu, dia pasti akan menangis darah, mengetahui bahwa salah satu cucunya tidak mengenalnya sama sekali.
🐾
Ran keluar dari kamar dengan tampilan yang lebih segar. Gadis kecil itu mengenakan dress sederhana berwarna biru muda yang menonjolkan beberapa helai rambut biru cerahnya. Rambutnya disisir rapi dan dibiarkan terurai tanpa hiasan, membuatnya terlihat cantik dalam kesederhanaannya.
Ia segera menuju ruang makan, namun begitu sampai di sana, ia tidak menemukan anggota keluarganya dan meja makan pun kosong tanpa hidangan. Ran hanya bisa menghela napas pasrah, lalu melangkah ke dapur. Sesampainya di sana, ia mengamati sekeliling sebelum membuka kulkas untuk mengambil selembar roti dan sekotak susu. Namun, suara seorang pria dewasa tiba-tiba mengejutkannya.
"Anda mau sarapan, nona?"
Ran segera berbalik dan melihat Alex berdiri dengan ekspresi wajah sangar. Gadis kecil itu langsung menundukkan kepalanya, takut, dan mengangguk dengan gerakan patah-patah. Kejadian kemarin masih membekas di ingatannya. Sementara Albert, yang menyamar menjadi Alex, menahan diri untuk tidak memeluknya.
"Siapa nama Anda, nona?" tanya Alex dengan suara ramah.
"Namaku Ran, Paman. Hanya Ran saja, tanpa nama panjang," jawab Ran dengan suara pelan sambil menunduk. Alex mengernyitkan dahinya mendengar jawaban itu.
"Boleh Paman tambahkan namamu?" tawar Alex dengan senyum lembut.
"Sungguh?" Ran mendongak, matanya penuh harap.
"Tentu. Kirania Revalina itu nama panjangmu. Apa kau suka?" jawab Alex, memberikan nama baru untuk gadis itu.
"Aku suka, Paman. Itu nama yang indah," kata Ran dengan ceria.
"Tapi jangan sampai mereka tahu nama panjangmu, ya? Nanti Paman bisa dihukum sama mereka."
"Tentu saja, Paman. Aku janji," jawab Ran dengan tulus.
"Mau ikut sarapan bersama aku?" tanya Alex lagi, melihat kondisi Ran yang terlihat kurus.
"Jangan khawatir, saya tidak akan menyakitimu. Kau belum sarapan, kan?" bujuk Alex sambil tersenyum. Namun, senyumnya malah terlihat menyeramkan bagi Ran. Albert ingin sekali melepaskan wajah palsu yang menempel di wajahnya.
Ran berpikir sejenak dan menunjukkan roti serta susu yang baru saja diambilnya. "Maaf, Paman. Aku sarapan dengan ini saja."
Alex memperhatikan roti yang dipegang Ran. Warnanya berbeda dan baunya tidak sedap. "Boleh saya melihatnya?" tanya Alex, menunjuk roti dan susu yang dipegang oleh Ran.
Ran segera menyodorkan roti dan susu itu, dan Alex segera memeriksanya. Ternyata susu itu sudah kadaluwarsa, dan roti itu sudah mulai berjamur.
"Ran, susu ini sudah basi dan roti ini sudah berjamur. Tidak baik mengonsumsinya, nanti kamu bisa sakit perut," jelas Alex panjang lebar, matanya penuh dengan kekhawatiran. Hatinya sangat sedih melihat kondisi putrinya.
"Tapi aku sudah biasa memakan makanan ini, Paman. Lagipula, ayah dan ibu tidak pernah mengajakku makan bersama atau menyisakan sedikit makanan untukku," jawab Ran polos, yang membuat Alex tercengang.
Di balik kehidupan keluarga Anderson yang tampak bahagia dan bergelimang harta, ternyata ada kehidupan seorang anak yang begitu menderita dan terlupakan. Albert, yang menyamar sebagai Alex, tidak habis pikir dengan perlakuan keluarga Anderson yang begitu pilih kasih.
"Paman akan memasak makanan enak untukmu," ucap Alex sambil berjongkok untuk sejajar dengan Ran, kemudian mengelus kepala gadis kecil itu dengan lembut. Ia ingin sekali menyebut dirinya sebagai ayah, namun ia menahan diri agar tidak merusak segalanya.
Ran mengangguk semangat dan segera membantu mempersiapkan sarapan, meskipun lebih banyak hanya menonton Alex yang sibuk menyiapkan bahan-bahan masakan.
Alex mengambil beberapa bahan dari kulkas dan mulai mencincangnya. Setelah itu, ia menyiapkan wajan dan mulai menumis bahan-bahan itu. Bau harum nasi goreng sosis segera memenuhi dapur, membuat cacing di perut Ran menari minta diisi.
Ellios, yang kebetulan melewati dapur, tidak sengaja mencium aroma masakan itu. Ia segera mendekat dan menghampiri mereka. "Paman masak apa? Baunya harum sekali."
"Hari ini aku masak nasi goreng sosis. Mau ikut sarapan bersama?" tawar Alex, sambil menyajikan nasi goreng sosis di atas piring dan menatanya dengan rapi.
"Apa boleh?" tanya Ellios dengan ragu.
"Tentu saja. Mari kita sarapan bersama."
Ketiganya pun sarapan bersama dengan tenang, hanya terdengar suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Setelah selesai, mereka membersihkan peralatan makan dan melanjutkan aktivitas masing-masing.
Sementara itu, Damian tiba di kediaman Anderson bersama Joshua. Keluarga Anderson menyambut mereka dengan ramah, namun Damian tampak bingung. Ia memperhatikan cucu-cucunya, tetapi tidak melihat Ran di antara mereka.
"Dimana Ran?" tanya Damian, yang membuat seluruh keluarga Anderson gugup.
"Ran? Dia sedang di belakang," jawab Helena dengan nada ambigu, yang semakin membuat Damian curiga.
"Sepertinya kau tidak tahu nama putrimu sendiri. Kalian punya berapa anak sebenarnya?" tanya Damian dengan tajam, matanya menatap sepasang suami-istri itu dengan penuh kecurigaan.
Namun, suara cempreng khas anak-anak tiba-tiba menarik perhatian mereka. Terlihat seorang gadis kecil berambut hitam legam dengan beberapa helai rambut biru cerah berlari sambil membawa sebuah kemoceng. Ia mengejar seorang anak laki-laki berambut maroon yang menenteng sebuah kepala boneka.
"Ampuni aku, Ran!! Aku tidak sengaja!!"
Di belakang mereka, Alex tampak frustasi mencoba menghentikan mereka.
"Kak Elli, berhenti!! Kembalikan bonekaku!!" teriak Kirania, suaranya memenuhi ruangan.
"Nona! Elli! Tolong berhenti! Tuan Damian sedang berkunjung! Jangan bertengkar di sini!" seru Alex, namun mereka tampaknya tidak mendengarnya dan terus berlarian.
"Aku tidak mengenalnya, Paman! Bonekaku lebih penting daripada orang yang bernama Damian!" ujar Kirania dengan enteng, tanpa menghentikan kejarannya. Alex hanya bisa mendengus kesal.
Damian yang mendengar ucapan Kirania langsung tertegun. Sepertinya cucunya itu tidak mengetahui kedatangannya.
"Sepertinya kau dilupakan, Pak Tua," ejek Joshua sambil tertawa terbahak-bahak.
"Diam, kau!" bentak Damian, membuat Joshua semakin terpingkal-pingkal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Regina Putry
kapan dewasa nya
cerita anak kecil..hmmmb
2024-12-13
0
Erni Sari
wkwk
2022-10-03
1
Hanum Anindya
Ran gadis yang baik
2022-10-03
1