Bab 5. Welcome Kakak

"Mama, ayah!" Nindy masuk ke dalam rumah sambil berteriak memanggil orang tuanya.

"Eh, anak gadis kenapa teriak-teriak?" Fardhan keluar dari arah dapur.

"Ayah." Nindy langsung menghambur ke dalam pelukan sang ayah. Menyesap aroma favorit tubuh ayahnya. Menurutnya, aroma ayahnya seperti aroma mawar di pagi hari.

Fardhan membalas pelukan putri kesayangannya dan mengecup sayang pucuk kepala Nindy.

"Mama mana ayah?" tanya Nindy sambil mengurai pelukannya.

"Mama sedang pamitan dengan tetangga kanan kiri." Fardhan mendaratkan tubuhnya di kursi kayu yang sudah tua namun tetap kokoh.

Nindy tertunduk mendengar ucapan sang ayah. Timbul rasa bersalah di dalam benak Nindy. Gadis kecil itu menyalahkan dirinya karena menjadi penyebab mereka harus hengkang dari kota kelahirannya sendiri.

"Kamu sudah pulang, Nin?"

Nindy menoleh ke belakang saat mendengar suara sang mama yang baru saja masuk ke dalam rumah. Gadis cantik itu langsung menghambur ke pelukan sang mama.

"Maafkan Nindy, ma." Suara sedikit bergetar. Dia menahan tangis yang ingin menyeruak keluar dari netra indahnya.

"Kenapa anak mama harus minta maaf?" Nora mengurai pelukan dan menatap lekat wajah cantik putrinya. "Nindy tidak salah apa pun. Ini semua salah paham." Nora menenangkan putri semata wayangnya.

Raga dan perasaan putrinya telah terluka kemarin. Sakit di raga tak sesakit perasaan lembut Nindy yang sangat terluka.

Dari kecil, Nora merawat Nindy dengan penuh kasih sayang. Tidak pernah sekali pun dia melakukan tindak kekerasan terhadap putrinya. Nora sangat kecewa pada dirinya sendiri yang tidak bisa melindungi putri tercintanya kemarin.

Status rendah yang dimilikinya tak mampu membuat Nora melindungi Nindy. Kali ini dia bertekad, tidak akan ada orang lain lagi yang bisa menyentuh putrinya.

"Kita berangkat sekarang! Nanti ketinggalan pesawat." Nora berjalan masuk ke kamar mengambil tiga koper yang sudah disiapkan olehnya.

"Ya, disuruh tunggu dulu, ma." Fardhan berkata sambil berjalan merangkul Nindy.

Nindy hanya tersenyum melihat tingkah lucu ayah dan mamanya yang selalu ribut dengan hal-hal kecil.

Lima jam kemudian mereka telah tiba di Bandar Udara Supadio Pontianak. Waktu yang diperlukan dari Jakarta-Pontianak hanya satu jam lebih tiga puluh menit. Mereka bertiga tiba lebih awal di Bandar Udara Soetta agar tidak ketinggalan pesawat. Jalanan ibu kota negara Indonesia tidak bisa ditebak. Kadang ramai lancar, kadang macet, bahkan sepi.

"Ini kota kelahiran ayah?" Nindy menikmati pemandangan di sepanjang jalan dari balik jendela mobil.

"Iya ini kampung halaman ayah," jawab Fardhan sambil membalikkan tubuh dari kursi depan.

Fardhan senang melihat wajah putrinya yang tersenyum menikmati perjalanan mereka. Seolah Nindy melupakan kejadian pahit yang dialaminya kemarin.

"Ini sih bukan kampung, yah!" seru Nindy sambil menyandarkan punggung di sandaran kursi mobil.

"Loh! Kalau bukan kampung, namanya apa?" Fardhan bingung dengan pertanyaan yang diajukan Nindy.

"Kota, ayah. Tadi saja kita melawati Transmart. Nah, sekarang kita melewati Ayani Megamall." Nindy menunjuk keluar jendela samping kiri saat mobil melaju.

"Iya juga ya."

Sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Fardhan, Nindy tak henti-hentinya mengagumi tempat-tempat yang dilihatnya cukup unik. Terutama sungai. Tinggal di ibu kota sangat jauh dari pemandangan sungai dan pantai.

Mobil taxi yang mereka tumpangi mulai memasuki jalan raya yang sedikit kecil dengan lebar kurang lebih tiga meter.

Nora menyadari wajah Fardhan yang terlihat kaku dan tegang. Wajar jika pria paruh baya itu merasa demikian. Fardhan tidak kembali sekitar delapan belas tahun.

Mobil berbelok ke kanan memasuki komplek perumahan. Mobil masuk perlahan melewati tiga buah rumah di deretan kiri, kemudian berhenti tepat di rumah yang ke empat.

Fardhan menarik napas pelan sebelum membuka pintu mobil. Nora dapat melihat kegundahan yang terpancar dari wajah Fardhan. Dia hanya bisa berdoa agar pertemuan ini berjalan baik.

Lain halnya dengan gadis remaja berusia tujuh belas tahun itu. Dia terlihat sangat antusias untuk bertemu dengan keluarga besar ayahnya. Artinya, Nindy tidak akan sendiri lagi. Dia pasti memiliki beberapa sepupu. Minimal satu pun tidak masalah, yang penting dia memiliki teman.

Pintu rumah bercat abu-abu muda itu telah terbuka lebar seolah siap menyambut kedatangan mereka. Seorang balita laki-laki berlari keluar. Bocah kecil berwajah tampan dan berkulit putih.

"Sudah datang. Sudah datang Oma!" teriak bocah kecil itu sambil melompat-lompat senang.

Nindy tertawa melihat kelakuan bocah itu. Dia tersenyum dan segera membuka pintu mobil.

Kaki putih jenjang Nindy mendarat terlebih dahulu. Kemudian menampilkan sosok gadis remaja dengan rambut cokelat tergerai.

Beberapa orang mulai berdesakan keluar dari rumah. Mereka berebutan ingin melihat sosok anak, kakak, dan paman yang telah lama tidak kembali ke kampung halaman.

"Kakak cantik," ucap balita laki-laki yang tadi berteriak saat melihat taxi yang mereka tumpangi berhenti di depan pagar. Meski masih bocah, balita itu sangat tampan. Kulitnya putih bersih.

"Gendong kakak!" pinta bocah itu pada Nindy.

Nindy tersenyum dan meraih tubuh mungilnya hingga terangkat ke atas.

"Namanya siapa?" tanya Nindy sambil mencubit pelan pipi gembul balita itu.

"Nazmi," jawab balita itu sambil tertawa.

"Nazmi, turun nak! Kasihan kakaknya baru sampai udah harus gendong Nazmi." teriak seorang wanita sambil berjalan menghampiri Nindy. Dia terlihat tidak enak dengan tingkah putranya yang langsung minta digendong setiap kali bertemu gadis cantik.

"Tidak mau, Uma." Nazmi semakin mengeratkan pelukannya di leher Nindy.

"Tidak apa-apa Tante." Tentu saja Nindy tidak keberatan. Dia justru senang disambut hangat oleh keluarga ayahnya meski yang menyambutnya yang pertama kali adalah pangeran kecil yang tampan dan lucu.

"Mak," suara Fardhan sedikit bergetar saat menyebut wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.

Nindy melihat seorang wanita tua yang berdiri di ambang pintu sambil tersenyum.

"Adan sudah pulang, nak?" ucap wanita tua itu.

"Iya Mak. Adan pulang." Fardhan langsung menghambur ke pelukan emaknya yang sudah lama sangat dirindukannya. Suasana yang tadinya ceria kini mengharu biru karena pertemuan ibu dan anak yang sudah belasan tahun tidak bertemu.

Sejak kejadian belasan tahun lalu, Fardhan tidak berani pulang ke rumah. Dia memutuskan mengadu nasib ke Jakarta. Namun, dia tetap menghubungi emaknya melalui sambungan ponsel biasa.

Wajar saja jika saat ini kepulangan Fardhan ke kampung halaman disambut dengan hangat. Nora bersyukur karena hal buruk yang dikhawatirkannya tidak terjadi. Dia melihat abang sulung Fardhan tersenyum melihat adik ketiganya kembali.

Ayah Fardhan telah lama meninggal dunia saat Fardhan masih berusia tujuh tahun. Jadi, si abang sulung lah yang bertugas menggantikan kedudukan sang ayah untuk merawat dan mendidik adik-adiknya. Kepergian Fardhan tak lain karena di usir oleh si abang karena mulai bertingkah gemulai seperti seorang wanita.

"Itu cucu emak?" tanya wanita tua itu saat pelukan mereka terurai. Dia tersenyum melihat ke arah Nindy dan Nora.

"Nindy, beri salam pada nenek!"

"Iya ayah." jawab Nindy sambil berjalan ke arah neneknya. Dia menyalami sang nenek dan memeluk erat nenek yang selama ini dia rindukan tapi tidak pernah melihat wajahnya secara langsung.

"Cantik. Siapa namamu sayang?"

"Nindy nek." jawab Nindy sambil tersenyum.

"Nama yang cantik," ucapnya sambil mengelus surai cokelat Nindy. Kemudian dia menatap ke arah Nora. "Dia pasti menantuku," ucap Bu Siska sambil tersenyum pada Nora.

Nora segera menghampiri ibu mertuanya dan menyalaminya penuh khidmat.

"Pantas jak anak pak Ngah cantek. Emaknye pon cantek (pantas saja anak paman cantik. Mamanya juga cantik)" ucap seorang gadis dari belakang Bu Siska.

"Rani, salaman dolok dengan pak ngah, Mak Ngah dan Nindy (Rani, salaman dulu dengan paman, bibi, dan Nindy)!" perintah ibunya.

Gadis cilik itu dengan girang melangkahkan kakinya ke depan. Dia menyalami paman, bibi, dan kakak sepupunya.

"Wel-wel Kakak," ucap Rani sambil mengedipkan sebelah mata. Mereka tertawa melihat tingkah centil Rani yang sok ke barat-baratan tapi salah menyebutkan kata yang dimaksud.

"Welcome Rani." ucap sang nenek memperbaiki.

"Ups, salah ya nek?" tanya gadis cilik itu sambil tertawa.

Terpopuler

Comments

smoochyzz

smoochyzz

semangat thorrr

2022-08-24

1

Ika Oktafiana

Ika Oktafiana

owalaah, ini ceritanya si Fardhan dulu adalah Farah🤔

2022-08-23

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!