Yuna tengah berdiri di pinggir jalan menunggu taksi yang lewat. Agak menyusahkan memang. Tapi hari ini Yuna hanya ingin seperti itu. Ia tidak mau merepotkan dirinya sendiri.
Ia melambaikan tangan dan taksi pun berhenti. Yuna membuka pintu taksi.
Duaarrrrr !!!
Betapa terkejutnya melihat seseorang di dalamnya.
"Jian kau lagi?" Ia bingung apa yang harus ia ekspresikan. "Kenapa kau disini?"
"Aku yang pesan lebih dulu. Jadi kau bisa mencari yang lain." Tanpa menoleh sedikitpun.
"Apa? Kenapa? Aku bisa duduk bersamamu. Lagipula ini tidak terlalu sempit."
"Tapi aku tidak mau." Masih dengan hal yang sama.
"Apa-apaan kau ini? Apa kau yang punya peraturan? Setahuku tidak ada larangan taksi membawa dua penumpang."
"Tapi aku yang lebih dulu naik. Kau mengerti?" Barulah ia menoleh.
"Aku tidak mau."
Buru-buru Yuna mengambil langkah jitu. Didorongnya Jian dari posisi semula. Langsung saja ia masuk dan mengunci pintu taksi. Kemudian menoleh.
"Lagi-lagi aku yang menang." Tersenyum licik.
"Kalian mau kemana?"
"Tempat syuting." Jawab mereka bersamaan.
"Apa? Kenapa kau selalu mengikutiku?" Yuna terlihat begitu ekspresif.
"Apa tidak salah? Bukankah yang sebenarnya sering menguntit itu kamu?"
"Hei!! Mengaku saja! Kenapa kau pergi ke lokasi syuting kalau bukan untuk menguntit?"
"Aku.."
"Aaaa sudahlah. Aku benar-benar terlambat karena kau. Ayo cepat pak!!"
Suasana terdiam agak lama. Hingga akhirnya sebuah telepon masuk pada ponsel Jian. Iapun mengangkatnya.
"Saya dalam perjalanan kesana. Maaf agak terlambat. Saya punya sedikit masalah. Baik." Dan menutupnya kemudian.
"Siapa itu?"
"Apa urusanmu?"
Mencari topik untuk ia jadikan alasan baru.
Jujur saja, Yuna sudah jatuh cinta pada Jian kala itu. Tapi dia tidak mau mengakuinya.
"Kenapa kau mau ke lokasi syuting?"
"Diam!!" Berhenti sejenak. "Kau terlalu berisik."
"Kenapa kalau aku berisik? Hah?!!" Ia sengaja berteriak tepat di kuping Jian.
Jian pun mulai merasa tidak aman. Dia menyingkir agak jauh dari Yuna. Tapi Yuna malah mendekatinya lagi.
"Hush!! Hushh!!" Ucapnya mengusir dengan gaya yang agak mengejek kurasa.
"Pergi sana!!"
"Apa maksudmu? Apa kau pikir aku binatang ternakmu? Seenaknya saja!!" Dia berhenti kemudian berpikir. "Oh.. Aku tahu. Kau pasti datang ke lokasi syuting karena kau ingin mencoba menjadi aktor bukan?"
Jian terdiam bingung.
'Aktor? Dasar wanita gila!!'
"Iya, kan? Coba jawab aku?? Aku benar, kan?"
"Tidak.. Aku.."
"Kenapa kau melakukan itu? Apa perusahaanmu bangkrut? Sampai akhirnya kau ingin beradu akting denganku?" Membuang nafasnya kasar. "Tidak ku sangka kau melambung hanya sekejap. Setelah itu tiba-tiba.. Wushhh.. angin menerpa hidupmu." Berkedip dan amat menghayati ejekannya, "kau terombang-ambing kesana kemari tak tentu arah. Dan akhirnya jatuh juga. Aaaaa.. Aku jatuh." Aktingnya selesai.
Yuna menoleh dan tersenyum sinis.
"Tapi aku suka."
Jian akhirnya bingung juga. Apa yang sedang dilakukan wanita gila ini sebenarnya?
"Dengan begitu kau tidak bisa lagi menyombongkan dirimu. Kau tidak akan acuh padaku lagi"
"Aku.." Lagi-lagi ucapannya disekat.
"Oh apa mungkin mobilmu juga disita pihak terkait karena kau punya hutang?Kau punya hutang yang besar dan kau tidak bisa melunasinya? Itu tepat. Sangat tepat. Pantas saja kau memilih naik taksi. Hhh. Miris sekali hidupmu?"
Panjang lebar ia mengarang cerita. Pada akhirnya memang Jian yang harus mengalah.
"Terserah."
Beberapa menit kemudian, mereka pun telah sampai. Jian hendak mengulurkan uangnya, namun ditepis oleh Yuna.
"Tidak apa-apa. Aku saja yang membayarnya. Lihatlah dirimu. Aku sungguh kasihan melihat nasibmu saat ini."
Memberikan upah pada si supir.
"Tak ku sangka uangmu habis hanya karena kau membelikan aku empat porsi bakmi hari itu. Aku kira kau benar-benar pengusaha yang kaya raya." Ucapnya sambil turun dari taksi.
Jian yang kebingungan hanya diam dan mengikuti langkah kaki Yuna. Yuna berhenti, dia pun berhenti.
Yuna menoleh dan membuka kacamatanya.
"Apa yang kau tunggu? Ikutlah denganku! Akan aku perkenalkan dirimu dengan sutradaraku. Aku bisa memintanya memberimu peran yang bagus. Jadi nanti berterima kasihlah padaku saat kau telah bebas dari masalah keuanganmu. Oke?"
Jian hendak berbicara, tapi Yuna sudah lebih dulu pergi. Ia pun hanya bisa mengekorinya di belakang.
"Silahkan, Mr." Semua orang terlihat menyapa. Tapi Yuna sungguh tidak mengerti akan hal itu.
"Hallo sutradara Lim ?" Melambaikan tangan dan menghampirinya. Laki-laki itu menoleh. "Kenapa?"
"Begini, pak. Temanku sedang butuh peran. Apa kau bisa membantunya?"
Sutradara Lim menatap siapa yang dia maksud.
"Tidak mungkin, Yuna.."
Yuna langsung berbisik.
"Tolong bantulah dia. Dia sedang tidak punya uang sekarang. Dia ingin menjadi aktor. Dia sangat membutuhkannya." Menatap pak Lim dengan memelas. "Ayolah, kumohon !"
"Yuna dengarkan aku.."
"Aku tahu pak tokoh dalam cerita kita sudah habis. Tapi biarkan dia mencobanya dulu. Dia hanya ingin mencoba beradu akting denganku. Setelah itu kau bisa membayarnya. Dia pasti akan segera pergi saat itu." Tersenyum polos.
"Yuna, diam !!" Sutradara Lim agak kesal, "mana mungkin dia butuh peran atau pun uang. Dia saja sudah menjadi produser di film kita."
"Apa?" Terkejut bukan main.
"Apa kau serius?" Ia menoleh dan memandang Jian yang tengah melipat kedua tangannya, bersandar di tembok Cafe.
"Untuk apa aku bercanda? Dia saja sudah menyiapkan propertinya untuk film kita. Mana mungkin dia bangkrut. Hh. Kau sungguh memalukan." Sutradara Lim berlalu pergi.
Yuna yang bingung pun hanya melongo. Dia menghampiri Jian yang masih dalam satu posisi. Agak jauh darinya.
Berdiri dan menatapnya. Agak susah memang. Postur tubuh Jian yang tinggi semampai. Sedangkan Yuna yang terlihat setinggi bahu dengan tubuh yang kecil. Iapun hanya bisa mendongak kala ingin menatap wajah itu.
"Kau tidak bicara apapun padaku tadi."
"Kau yang selalu menyekat perkataan ku."
Yuna menutup seluruh wajahnya.
"Kenapa kau ini ?"
"Aku sungguh malu."
Jian tertawa kecil melihat tingkah laku gadis ini.
"Kenapa kau malu ?"
"Kenapa kau hanya diam? Kenapa kau tidak bicara padaku tentang itu?"
"Tentang apa ?"
"Kau sudah tahu. Kenapa kau malah bertanya padaku." Membuka tangan dan menunjukkan wajahnya. Saat seperti ini rasanya sangat menggemaskan.
"Bacalah naskahmu, sana !!"
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau juga naik taksi untuk datang kesini? Memangnya dimana mobilmu?"
Membuang nafas kasar.
"Aku sengaja tidak naik mobil sendiri karena rasanya agak malas. Jadi aku tidak mau merepotkan diriku."
Yuna diam saja. Mungkin rasa malunya sudah sampai ubun-ubun.
"Ada lagi yang ingin kau tanyakan?"
"Tidak." Suaranya mendadak lirih.
"Kau tidak mau minta maaf padaku karena sudah sangat mengejekku pagi ini ?"
"Minta maaf ? Aku tidak merasa bersalah." Ia memalingkan wajahnya, "salahkan saja dirimu sendiri, kenapa harus aku. Hh." Berlalu pergi dengan angkuhnya. Jian hanya memandang dan tersenyum kecil.
Lagi-lagi wanita itu membuatnya geli.
Yuna menggeleng-gelengan kepalanya berharap itu tak nyata. Memukuli kepalanya.
"Apa-apaan Yuna. Kau memang bodoh dan tidak tahu malu!!"
Pikirannya kacau. Oh My God!!!
.......
"Azof, aku sungguh bahagia atas keputusanmu."
"Aku sudah tahu itu." Tersenyum.
Azof mengunyah makanannya. Ini suapan yang terakhir.
"Kak Azof."
"Kenapa?"
"Aku.. Aku ingin.. Kau serius terhadapku."
"Maksudnya ?"
"Usiaku sudah tiga puluh lima tahun. Kau bahkan hampir berkepala empat. Apa tidak ada keinginan menikah di kepalamu?"
Azof tersenyum. Makannya telah usai.
"Aku tahu kita baru saja berpacaran. Tapi alangkah lebih baiknya jika orang tuaku tahu tentang dirimu."
Azof minum segelas air.
"Jika kau mau, kenapa tidak ?" Tersenyum lagi.
Hani yang sedari tadi cemas pun mulai bernafas lega.
Tak lama. Almira datang dari luar.
"Hani? Kenapa kau disini? Ada apa ini, Azof ?" Ia terlihat begitu kesal.
"Tante Mira." Berusaha menjabat tangan Mira, tapi malah ditepis.
"Jangan sentuh saya !!"
"Ibu. Jangan berlebihan."
"Apanya yang berlebihan." Dia menatap Azof tajam.
"Apa kau tidak pernah memberinya peringatan untuk tidak mendatangimu ??"
"Ibu tolong dengarkan kami." Menarik nafasnya panjang dan mengeluarkannya kembali. Ia sudah yakin.
"Kami berdua sudah resmi berpacaran."
Deg !! Jantung Almira rasanya berhenti berdetak. Ada rasa sakit yang tak bisa dia ungkapkan di dalam sana.
"Apa?" Tatapannya bertambah tajam.
"Iya. Dan kami sepakat untuk menikah."
"Menikah? Apa maksudmu? Apa kau gila? Kenapa harus wanita ini? Kenapa harus dia?"
"Ibu, bukankah ibu selalu berkata padaku bahwa kau ingin segera punya menantu. Aku akan menikahinya. Apa itu salah?"
"Jelas kamu salah Azof !! Yang aku mau itu bukan dia. Cari wanita lain. Jangan dia !!"
"Kenapa? Kami saling mencintai,ibu."
"Dengar Azof !! Andaikan kalian hanya berteman pun, aku pasti akan memisahkan kalian berdua."
"Ibu, yang terpenting dalam pernikahan adalah saling mencintai, Bu."
"Cinta itu boleh, Azof. Tapi jangan sampai kamu buta karena cinta!!"
Almira berlalu pergi. Dengan membanting pintu tentunya. Sepertinya amarah yang selalu dia pendam sendiri meledak begitu saja. Dia teramat sakit.
Hani yang sedari tadi terdiam pun tak kuasa menahan air matanya. Azof bergegas menenangkan kekasihnya.
Mereka mungkin sudah tahu sebagian masalahnya. Tapi mereka belum tahu masih ada apa lagi kejutan yang akan mereka dapatkan, setelah Masalah ini usai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
Putra Al - Bantani
kreeenn kak...
jangan lupa mampir juga ya kak ke karya saya
2023-06-03
2