"Narasumber kamu hari ini orang yang hebat." Ungkap Azof pada Yuna di ruang tv sembari menyantap camilan.
"Hebat apanya? Kita juga punya perjuangan semacam itu. Karena Ayah kita bukanlah orang yang bertanggung jawab."
"Hei !! Bukankah yang berjuang selama ini itu Ibu ?" Cetus Almira.
"Ya kami setelah Ibu." Yuna terlihat amat kesal.
"Apa kakak tahu? Dia orang yang sangat sombong. Bicara pun hanya sedikit. Dia pikir dia orang yang paling unggul, karena itulah dia sangat sombong." Yuna menghela nafas. "Kalau aku lihat, dia seperti menghindar dari wanita.. Apa mungkin dia punya trauma dengan wanita?? Hh. Rasanya tidak mungkin. Dia tidak pernah punya pacar.. Jangankan pacar, teman wanita saja dia tidak punya."
Azof menimpali. "Kau memang pandai mengarang cerita.."
"Bukan begitu.. Aku hampir minta nomor ponselnya."
Seketika Azof dan Almira yang tengah minum terkejut.
"Apa??" Tanya mereka bersamaan.
"Kenapa?"
"Apa kau serius? Kau tak pernah mau bicara dengan laki-laki. Bahkan Demy yang sudah mencintaimu dari dulu pun kau abaikan."
"Ishh.. Kakak ini. Maksud aku bukan seperti itu. Aku hanya ingin tahu tentang dia. Tapi nyatanya dia malah menolak." Memasang wajah kesal. "Dia malah menyuruhku melihatnya saja di tv. Dia sungguh laki-laki yang tidak waras."
Dua orang disampingnya hanya melongo tak percaya apa yang baru saja mereka dengar.
Memang sejauh ini Yuna tidak pernah punya pacar. Bahkan berkenalan saja tidak mau. Padahal usianya sudah hampir berkepala tiga. Dan baru kali ini ia berinisiatif untuk mengenal laki-laki. Tapi nasib berkata lain. Ia malah diacuhkan. Hh. Malang sekali nasibnya.
....
Hari ini Azof bergegas ke Rumah Sakit. Dia seorang Dokter spesialis kanker darah atau yang biasa kita sebut Leukimia. Dia berangkat lebih awal karena hari ini dia punya jadwal khusus dengan salah satu pasiennya. Dia baru saja duduk, dan terdengarlah ketukan pintu dari luar.
'Tok!! Tok!! Tok!!'
"Masuk!" ( Terkejut melihat siapa yang datang ) "Hani? Kenapa?"
Hani adalah sahabat Yuna. Ia memang sudah lama mengagumi Azof. Sayang perjuangannya pun pelik.
"Kak Azof.. Aku membawa makan siang untukmu. Kuharap kau mau memakannya." Lalu tersenyum malu. Ia memberikan sebuah kotak makanan kepada Azof. Dan diterimalah kotak itu.
"Terima kasih."
"Aku harap kau bisa menikmatinya. Aku memasaknya khusus untuk kamu." Tersenyum lagi. "Saya permisi."
"Baiklah."
Tak lama setelah Hani keluar, masuk seorang Perawat membawa setumpukan kertas.
"Permisi Dokter. Ini daftarnya." Menyerahkan berkas di tangannya kepada Azof.
"Daftar ?" Azof terlihat bingung. "Bukankah hari ini kita punya jadwal Kemoterapi, ya?"
"Maaf Dokter. Pasien minta jadwal di undur nanti sore. Beliau tidak bisa hadir pagi ini."
"Apa? Dia memang tidak pernah mendengar kata-kata ku. Sepertinya dia tidak mau sembuh. Sebenarnya yang pasien aku atau dia ?" Azof amat kesal. Bagaimana tidak? Dia sudah meluangkan waktunya, dan janji itu dilupakan begitu saja.
"Baiklah aku akan segera keluar."
.....
"Ayo semua !!! Kita syuting adegan kita selanjutnya !! Cuaca akan hujan. Ini moment yang kita tunggu. Ayo cepatlah !!"
Semuanya bergegas. Termasuk Yuna. Dia lah lakon utama dalam ceritanya dalam film kali ini. Selain pembawa acara, dia memang handal untuk berakting. Itulah poin yang membuat dia unggul.
Disaat adegan dimulai, Hani terlihat hadir disana. Dia duduk dan menyaksikan sahabatnya bermain.
Tak lama setelah itu, adegan pun selesai. Yuna menghampirinya sambil membawa handuk untuk mengelap tubuhnya yang basah.
"Sudah lama ?"
"Baru saja." Ia meminum teh hangat milik Yuna.
"Itu teh ku." Kesalnya.
"Aku butuh yang hangat. Lagipula sikap Kakakmu masih begitu dingin."
"Aku sudah pernah mengatakan padamu. Tapi kau tidak pernah mendengarkan aku." Ia berhenti.
"Tapi aku bersyukur Kakakku seperti itu." Dia tersenyum.
"Apa?"
"Iya. Rasanya akan canggung jika suatu hari nanti kau akan menjadi kakak ipar ku."
"Apa kau benar-benar tidak merestuiku? Kau memang bukan sahabatku yang baik."
"Kau tahu? Sahabatku dari dulu hanyalah buku naskah dan kamera. Kau hanya datang karena kakakku bukan?"
"Ish.. Kau sungguh menyebalkan. Padahal jika aku tidak ada, kau bahkan tidak punya teman. Harusnya kau bersyukur."
"Sayangnya aku tidak mau."
..............
Hari libur !!
Yeayy !!!
Hari yang bahagia. Terbebas dari jepretan kamera atau naskah yang selalu ia baca.
Yuna memilih berolahraga di Taman Kota. Tentunya dengan kacamata hitam dan topi penyamarannya. Tapi diluar dugaan. Ternyata Jian pun ada disana.
"Hei, Mr. Jian."
Jian menoleh. "Ya? Apa kita saling mengenal ?"
Yuna membuka kacamatanya. "Ini aku, Yuna, Kamu ingat?"
"Oh. Kamu." Betapa cueknya dia.
"Kenapa kau ini? Apa kau selalu seperti ini?"
"Apa kau ingin wawancara lagi?"
"Aku bukan hanya sekedar pembawa acara. Aku ini Aktris terkenal. Apa kau tidak pernah menonton televisi?"
"Apa urusanmu?" Ia hendak pergi.
"Eitss.. Kau mau kemana? Terakhir kali kau meninggalkanku tanpa pamit. Dan kau akan mengulangi hal itu lagi?"
"Apa ada hal penting?"
"Apa kau mau berjalan di Taman bersamaku?"
"Apa untungnya bagiku?" Dan dia pergi lagi. Dia memang selalu seperti itu. Yuna pun memandanginya dengan kesal.
"Kamu benar-benar tidak menghargai orang lain. Hh." Yuna mengumpat kesal.
"Tidak ada pilihan. Sekarang atau tidak sama sekali." Ia juga berlalu. Menyusul Jian yang berlari lebih dulu.
Aneh memang. Yuna tidak pernah seperti ini pada laki-laki manapun. Tapi kali ini sungguh berbeda. Yuna begitu keras ingin mengetahui siapa itu Jian.
..........
Sementara di ruangannya, Azof tengah duduk memandangi sebuah kertas di tangannya. Raut mukanya cemas pun agak kesal. Sepertinya dia agak khawatir dengan suatu hal.
Almira tiba-tiba saja datang tanpa mengetuk pintu. Bergegas Azof menyembunyikan berkasnya di tumpukkan buku paling bawah.
"Azof, Ibu bawakan makan siang untukmu. Ayo kita makan!"
"Harusnya ibu tetap dirumah. Tidak perlu kesini."
"Apa katamu? Ibu tahu kau lapar, jadi Ibu kesini."
"Aku sudah kenyang ibu."
"Apa kau sudah makan? Apa Hani yang membawakan makanan untukmu?"
Azof hanya mengangguk.
"Lagi? Hhh. Dia pikir bisa mengambil hati putraku dengan membawakannya makanan ?" Dia kesal. "Baiklah. Ibu akan makan sendiri." Duduk di sofa.
"Tidak Ibu. Kau harus pulang. Makanlah di rumah."
Azof mengusirnya tanpa berpikir. Bahkan saat Almira sudah keluar dan memanggil namanya, ia acuh. Ia malah menutup dan mengunci pintunya. Sepertinya dia sedang dihadapkan oleh masalah yang besar.
"Azof !!! Buka pintunya !!!!"
.......
"Kenapa kau mengikuti aku?" Tanyanya tanpa menoleh.
"Kenapa? Apa tidak boleh?"
Jian hendak pergi. Namun lagi-lagi Yuna mencegatnya.
"Tunggu !!"
Jian berhenti dan berbalik.
"Kenapa lagi?"
"Apa salah jika aku ingin mengenalimu?"
tanyanya dengan nafas terpenggal-penggal. Hampir habis nafasnya mengejar si acuh itu. Tapi entahlah. Hal serendah ini rela dia lakukan untuk Jian. Iya. Hanya Jian.
"Kau tak perlu mengenalku. Lagipula aku tidak mau mengenalmu."
"Apa kau sejahat itu? Kupikir kau hebat, karena telah menginspirasi orang lain dengan kisah hidupmu. Tapi ternyata kau angkuh." Ia berhenti. "Dan mungkin andai dulu ada waktu aku bisa berjumpa denganmu saat kau masih susah, kau mungkin belum seangkuh ini."
"Kenapa kau bicara seperti itu?"
"Hidup itu bukan soal uang Mr. Jian yang terhormat. Hidup itu tentang bagaimana kita bersikap dengan orang lain. Tak ada gunanya kamu punya uang banyak jika kau tak pernah menghargai orang lain." Sejenak ia mengambil nafas.
"Berpikirlah! Kau bisa hidup tanpa uang. Tapi tanpa orang lain, kau bukan apa-apa. Kau bisa terkenal seperti ini karena banyak dari rekanmu yang mengakui kehebatanmu dalam berbisnis."
Berhenti lagi. Rasanya agak lelah memarahi orang dengan nafas yang membara.
"Kau pikir siapa dirimu? Orang lain pun bisa berjuang seperti kamu. Kau mengecewakanku, Mr. Tadinya aku bangga bisa wawancara denganmu di acaraku. Tapi nyatanya kau sama saja. Tak punya perasaan."
Yuna berlalu pergi.
Jian terdiam. Meresapi perkataan Yuna. Baru kali ini ada seorang wanita berani menghardiknya di depan umum. Tapi akhirnya dia bisa merasakan sesuatu dalam hati kecilnya.
........
Hari menjelang sore. Jian yang sudah menggunakan jaketnya hendak pergi ke sebuah Rumah Makan.
Tapi ia tak menduga kalau Yuna pun tengah berada disana. Ia punya dua pemikiran. Mendekat, minta maaf atau acuh saja berusaha seolah-olah ia tidak tahu ada Yuna di sana. Hh.
"Aku mau nasi saja." Ucapnya pada pelayan yang berhasil di tangkap oleh telinga Yuna.
"Jian."
Spontan Yuna memanggilnya. Apa? Mungkin dia lupa betapa kesalnya dia pagi ini, atau memang dia tidak punya harga diri?
Jian pun hanya menoleh. Bagaimana ini? Mendekat rasanya canggung karena kejadian tadi pagi. Jika tidak, pasti Yuna akan menganggapnya Si Angkuh lagi.
Jian pun membuat keputusan. Dia akhirnya mendekat dan duduk di sana.
"Kenapa?"
"Makanlah disini. Lagipula aku juga baru datang. Aku bahkan belum menyentuh sup nya."
"Oh. Baiklah."
"Mana makananmu?"
Pelayan datang membawa sepiring nasi dan sayur bayam.
"Kau hanya makan itu?"
"Iya."
"Kau pasti sedang diet. Maaf untuk soalan pagi ini. Aku sangat kesal kau tidak mau berkenalan denganku. Aku hanya ingin berteman denganmu. Rasanya lelah sekali mengejarmu."
Mereka akhirnya makan berdua disana.
Secepat kilat acara makan bersama pun usai. Jian membayar semua makanannya di kasir dan berlalu pergi. Yuna mengekorinya.
"Kau tahu? Aku tidak pernah ingin tahu soal laki-laki sebelumnya."
"Kenapa?"
"Entahlah." Yuna mengangkat bahunya.
"Rasanya masih takut saja untuk dekat dengan laki-laki. Tapi kali ini aku ingin mengenalmu. Aku ingin menjadi temanmu. Kau mau?"
"Aku juga tidak punya teman karena selalu menyendiri. Urusanku hanya datang dan pergi karena pekerjaan."
"Kau payah! Hidup itu jangan kau sia-siakan hanya untuk bekerja. Lagipula kau butuh teman yang bisa menemanimu bukan. Aku juga punya Hani dan Demy untuk ku ajak bicara. Rasanya melelahkan saja tiap hari harus bicara dengan naskah." Dia berhenti. "Dimana rumahmu? Apa kau tinggal di Apartemen?"
"Iya."
"Aku juga di sana. Kebetulan."
" Oh ya? Rasanya aku tidak pernah melihatmu?"
Yuna bingung harus menjawab apa. Dia memang punya unit di sana. Tapi kosong. Tidak berpenghuni. Rasanya agak horor saja menempati tempat itu sendirian.
"Oh itu... Aku, kan seorang aktris. Jadwalku padat dan aku jarang pulang kesana." Dia tersenyum nyengir.
"Boleh aku meminta nomor ponselmu?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
rintik hujan
ada apa dengan yuna, ya??
2022-12-23
1