Yuna duduk di sofa dan menyalakan televisi. Rasanya sunyi karena ia terbiasa tinggal bersama keluarganya.
"Apa aku harus ??" Ia berpikir sejenak.
"Aku harus mencobanya."
Dia meraih ponsel dan berusaha untuk mengirim pesan pada seseorang. Tak lama kemudian, ponselnya akhirnya berdering. Orang itu membalasnya.
Dia berjingkrak. Seolah anak kecil yang menang perlombaan dan sebentar lagi ia akan mendapatkan medali. Berteriaklah dia kegirangan. Jika ada yang mendengar pasti mengira ia sedang kerasukan atau mungkin dia memang orang gila.
Tiba tiba ponselnya kembali berdering. Datanglah sebuah pesan.
'Jangan berjingkrak !! Ataupun berteriak !!
Kau bisa merusak fasilitas mu sendiri.'
What?? Dia ambruk. Terlelap tak berdaya. Rasanya ingin pingsan saja !!
Andai dia tahu. Wajahnya benar-benar merah padam. Untung dia sedang sendirian. Huhh!!!
Apa jatuh cinta bisa secepat itu? Aku pasti hanya mengaguminya saja. Tidak lebih.. Lagipula misiku hanya ingin membuatnya berhenti merasa angkuh saja. Tidak ada maksud lain. Percayalah..
Entahlah.
....
Sedari tadi Yuna selalu mencuri pandang terhadap Jian. Dia hadir untuk mengisi acara yang sama lagi setelah ia menghadirinya sebulan lalu.
Jujur saja. Entah sejak kapan Jian menjadi setampan itu.
'Aaaaa... Aku tidak tahu. Aku malu sendiri saat memikirkannya.'
Huhh!!
"Aku menawarkanmu teh." Basa-basi ia keluarkan sebagai jurus penghilang rasa grogi nya. Tapi sayang. Jian tak merespon.
"Lihatlah, Jian. Cuaca di luar sangat dingin. Kau bisa meminumnya untuk menghangatkan badanmu."
"Aku tidak minum teh."
"Kenapa? Ini tidak terlalu manis."
"Tidak." Tolaknya. "Aku harus pergi sekarang." Ia beranjak dari kursi.
"Apa kau mau pulang? Bolehkah aku ikut bersamamu?" Apa aku senaif itu?
"Pulanglah dengan mobilmu. Aku masih punya urusan."
Dan pergi.
Agak kesal memang. Apa dia benar-benar tidak melihatku? Apa wajah yang cantik dan mulus ini benar-benar tidak ada menariknya? Mungkin memang tidak ada harganya bagi pria searogan itu. Hh.
Laki-laki yang aneh. Sebenci itukah dia dengan wanita? Seharusnya masih ada setidaknya satu wanita saja yang bisa membuatnya jatuh cinta. Tapi nyatanya, dia sama sekali tidak pernah memandang wanita. Dari segi manapun.
Yuna pun berakhir pulang dan membaringkan tubuhnya di sofa.
"Urusan kemana lagi? Apa pengusaha akan sesibuk itu?"
Dia bangkit merubah posisinya menjadi duduk tegap.
"Apa saat ini dia sudah pulang?" Dia terlihat cemas. "Apa-apaan ini? Kenapa otakku selalu ingat dia. Kenapa aku cemas? Biarkan saja dia tidak pulang. Itukan bukan urusanku."
Dia mondar-mandir. Apa yang sebenarnya tengah berputar di kepalanya itu? Dia semakin stress.
Pukul 22.43.
'Cklek' Ia perlahan membuka pintu. Berjalan tanpa suara dan berhenti di depan pintu Apartemen Jian.
Dia letakkan kupingnya disana, dan mencoba mendengar apa sudah ada orang di dalam. Lama dia mendengar, terdengarlah langkah kaki yang semakin dekat.
Ia berpikir suara itu berasal dari dalam ruangan. Tapi ternyata Jian telah mengejutkannya dari belakang.
Jian berdehem keras. Yuna yang memang sedari awal orang yang penakut langsung saja terkejut dan memeluk Jian.
'Dag !!! Dig !!! Dug !!!'
Suara jantung berdetak kencang. Membuat seluruh badannya bergetar hebat. Tak ada respon darinya selain diam dan menunggu Yuna sadar dari tangisnya.
Seluruh tubuhnya panas. Bergetar tak karuan. Membuat peluhnya keluar bercucuran membasahi seluruh tubuh. Hampir saja ia merespon. Tapi mendadak tangannya kaku. Lidahnya kelu. Bahkan dia tak sanggup mengucap sepatah katapun.
Yuna terbelalak mengetahui siapa yang tengah dipeluknya. Sekitar lima menit hal itu terjadi. Dia akhirnya melepaskan pelukannya.
Dia sibuk membenarkan rambut dan mengusap air matanya.
"Kamu jahat." Dia memukul dada Jian sekuat tenaga. Berkali kali. Walau akhirnya kedua tangannya dapat direngkuh pula oleh Jian.
Dia merasa lelah dan akhirnya berhenti.
"Kenapa kau mengejutkanku ?" Nadanya menjadi tinggi dan emosi.
"Sssstttt !!!!!" Jian mengisyaratkannya untuk tidak berisik.
"Kamu jahat !! Untung aku masih selamat. Kalau sampai jantungku ada apa-apa, kau harus bertanggung jawab."
'Justru kau yang harus bertanggung jawab telah membuat jantungku semacam ini,' benaknya.
"Kenapa kau baru pulang ??" Nadanya marah lagi. Membuat Jian merasa tidak aman. Bergegas ia membuka pintu dan masuk dengan menggandeng tangan gadis itu kedalam. Pintu dikunci.
"Jelaskan padaku. Kau pulang selarut ini. Memangnya kau dari mana saja?"
Jian mendekat.
"Kenapa kau menungguku dan berharap cemas padaku?"
"Ak.. Aku.. Aku hanya.." Bingung apa yang harus dia jawab, iapun memilih diam.
"Kenapa kau tidak menjawabnya?" Menatap Yuna datar. "Kenapa kau menungguku di depan pintu?"
"Aku.. Aku hanya.. Tidak berani sendiri. Biasanya Hani akan datang menemaniku. Tapi malam ini dia tidak datang.Jadi aku memutuskan untuk pergi ke tempatmu." Dia menjawabnya dengan kikuk. "Aku hanya mendengarkan saja apa kau sudah di dalam atau masih belum pulang."
Jian datar saja.
"Kembalilah ke tempatmu,"
Yuna memanyunkan bibirnya. Rasanya memang menggemaskan.
"Apa kau mengusirku ?" Dan sedih.
"Aku berhak atas rumahku."
"Tapi aku takut."
"Aku tidak peduli."
"Tolonglah !!!" Ia memelas lagi. "Izinkan aku tidur disini."
"Kau sudah gila. Bagaimana mungkin kau bisa tidur disini ? Pulanglah."
"Kalau aku tidak mau ?"
"Aku akan memaksamu."
mendorong tubuh mungil Yuna itu keluar. Tapi saat di ambang pintu, Yuna malah berbalik. Membuat dua wajah itu saling berhadapan. Dua pasang bibir itu hampir saja menyatu. Rasa itu muncul lagi.
'Aku hanya ingin bicara sejujurnya, sejak awal bibirnya memang sangat manis. Itulah kenapa aku tidak pernah mau makan yang manis didepannya. Aku takut rasanya menjadi bertambah.'
'Aku tidak tahu.. Tapi aku mungkin hanya mengaguminya saja.. Tidak lebih dari itu'
Lama mereka bertatap muka, sadarlah mereka dari lamunan. Jian menarik tangannya dari pintu dan kemudian mundur dua langkah.
"Kau memang tengah berusaha menggodaku, kan?"
Jian terbelalak meski matanya yang sipit itu rasanya amat sulit terbuka.
"Hahh?? Menggodamu? Apa aku tidak salah dengar? Bukankah kau yang mendatangiku? Sudah jelas kau yang menguntitku. Aku tidak akan pernah menggodamu meski kau inginkan itu."
Dia berjalan kearah pintu dan membukanya. Yuna menatap sedih.
"Keluar!" Nadanya halus tapi penuh makna.
"Jian." Berusaha membujuk.
"Keluar!!" Kali ini sedikit tinggi.
Yuna memilih keluar.
........
Azof lagi-lagi memandangi berkas itu. Mungkin itu hasil CT scan dari salah satu pasiennya.
Dia membuang nafas kasar.
"Kau semakin parah."
Mengusap wajahnya dan meletakkan berkas tersebut di tempat semula.
Dia bersandar di kursi sambil menggoyangkannya.
"Tapi kau tak pernah mendengarkan aku."
'Cklek'
Suara pintu dibuka. Masuklah Hani.
"Aku sudah tahu itu kau."
Hani tersenyum. "Kau biasa datang di jam ini." Melihat jam di tangannya.
"Biasanya dua menit lagi."
Keduanya tersenyum.
"Kau masih mau mencoba masakanku?"
Azof membalas dengan tersenyum.
"Tentu saja aku mau."
Mereka berdua duduk. Hani membuka kotak makanannya dan memberikannya pada Azof. Segera ia membenarkan tasnya dan hendak bangkit dari duduknya.
Azof mencegat. "Kau mau kemana?"
"Mau pulang" Sambil memandang Azof yang tengah meletakkan makanannya dan kemudian mendekat.
"Kali ini kau harus menemaniku makan!"
Tentu saja Hani terkejut.
"Apa?"
"Kenapa? Kau tidak mau?"
"Bukan begitu.."
"Kalau begitu mari kita duduk dan makanlah masakanmu."
Menggandeng Hani untuk duduk.
"Kau juga harus mencicipi lezatnya masakanmu. Kau hanya memasak untukku.Bagaimana bisa kau tidak mau memakannya?"
Hani tersenyum. Baru saja hendak mengembang senyumnya, Azof menyuapinya dan menyuruhnya membuka mulut.
"Ayo makanlah. Buka mulutmu."
Hani hanya menurut saja. Dilumatnya satu suapan dari Azof dan itu cukup membuatnya merasa bahagia. Air mata tiba-tiba menetes.
"Kau menangis?"
Hani hanya mengangguk dan mengusap air matanya. Azof meraihnya. Dan beralih mengusap lembut wajah Hani.
"Jangan terlalu kasar bila menyentuh wajahmu. Dan jangan pernah menangis lagi dihadapanku."
Hani hendak menjawab. Tangan Azof beralih menyentuh bibirnya. Membuatnya diam.
"Aku mencintaimu Hani."
Memandangnya dengan lembut.
"Aku amat mencintaimu."
Pecah sudah tangis Hani. Perjuangan mengambil hati si Dokter tampan yang dingin dan ambisius akhirnya berbuah bahagia.
Tapi nyatanya bukan itu akhir ceritanya. Dia sukses membuat kata bahagia di awal perjalananya. Dia bahkan tak tahu bukan itu inti sebuah persoalan..
Yang jelas, cinta itu sebuah perjalanan yang rumit.
"Jangan pernah menangis untukku."
Menatap Hani lekat. "Aku tidak ingin kau membuang air matamu hanya untuk menangisi diriku."
"Aku amat mencintaimu. Bahkan sebelum aku tahu kau ternyata Kakak dari sahabatku."
"Maafkan aku yang terlambat menyadarinya."
"Tidak ada kata terlambat bagiku untuk menerimamu. Bahkan jika kau mengungkapkannya sepuluh atau dua puluh tahun lagi aku pasti bersedia menunggumu."
"Terima kasih untuk penantianmu selama ini. Aku berharap kamu satu satunya milikku dan tidak ada lagi perjalanan cintaku yang lain."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments