Ayunda memsukan kunci rumahnya ke lubang dan kemudian membuka pintu rumahnya. Tanpa Ayunda meminta Samudra untuk masuk, Samudra sudah mengikutinya, bahkkan Samudra bersiap mengikutinya ke dalam kamarnya…
Samudra melihat kamar Ayunda yang terlihat sangat luas, meskipun tergabung bersama ruang kerjanya.
“Kau tidak perlu menungguku berkemas,” ujar Ayunda sembari menatap dengan waswas ke belakang, kemudian ia menggantungkan lukisan tersebut di dinding kamarnya di dekar meja kerja ya.
Samudra mengangguk, ia tetap masuk ke dalam kamar Ayunda, dan menunggu Ayunda membereskan barang-barangnya “Aku tidak keberatan. Aku akan membawa tasmu turun.” ucap Samudra sambil berjalan ke arah jendela kamar Ayunda.
Bagus sekali. “Terserah.”
Pipi Ayunda merona mendengar perhatian Samudra, namun ia mencoba untuk tidak tergoda pada perhatian yang Samudra berikan kepadanya, ia tidak ingin berada dekat-dekat dengan Samudra, dan tidak ingin memberi Samudra kesempatan.
Ayunda tidak ingin terbujuk untuk mengambil keputusan yang bukan miliknya, karena ketika Ayunda mulai mengupayakan perceraian, tujuannya hanya untuk memutuskan hubungan.
Mereka berdua telah menetapkan kehidupan mereka masing-masing, dan menurut pendapatnya, tidak ada gunanya menuntut sebagian aset yang tidak ia perlukan menjelang perceraian.
Ayunda tidak membutuhkan Samudra. Tidak membutuhkan apa pun dari pria itu. Tidak ada lagi pengorbanan, kewajiban, atau utang yang harus dibayar. Samudra telah memberinya lebih dari cukup, malah terlampau banyak.
Namun ketika pria itu mengangkat masalah kebijaksanaan dari situasi ini, Ayunda mengakui kepicikannya dalam memandang masalah ini. Dan ia juga akan mencoba memperbaikinya sebelum si bren*sek itu mencetuskan ancaman terakhir soal galerinya dan akan mengikatnya selama sisa hidupnya.
Ayunda mengembuskan napas dengan gusar dan membanting pintu lemari. Blus, rok, celana, dan gaun tergantung di palang gantungan pendek, tersusun dengan rapi menurut jenis dan kegunaannya. Ayunda mengumpulkan semuanya menjadi satu tumpukan, lalu berbalik dan melemparnya ke tempat tidur, dan kembali menuju lemari untuk mengambil koper yang ia simpan di bagian atas lemari. Ayunda sudah memimpikan hari liburnya tanpa galeri, namun kini di kacaukan oleh Samudra.
Setelah melepas gantungan baju dari atasan berbahan sutra, ia melirik ke arah Samudra saat pria itu mengusap bahunya sendiri. Bahu yang dulu sering dipijat Ayunda hampir di setiap malam panjangnya bersama Samudra.
Kini ia tidak suka berada sedekat ini dengan Samudra. Ia sama sekali tidak ingin bertemu dengan pria itu. Tidak ingin mengetahui apa yang telah berubah pada pria yang pernah sangat ia cintai setelah bertahun-tahun ini. Ia melihat berita. Mendengar rumor. Membenci kenyataan bahwa ternyata Samudra bisa begitu berbeda. Namun, di sini dan saat ini, sebagian dari dirinya berharap semua yang ia baca memang benar. Bahwa pria yang dulu ia kenal kini telah pergi dan yang tersisa hanyalah sesosok tubuh yang samar-samar mengingatkannya pada seseorang yang pernah ia kenal. Akan jauh lebih mudah menjaga hati yang telah dengan susah payah ia pulihkan.
Dua puluh menit kemudian, Samudra berdiri di jendela, menatap pusat kota Jogja, punggungnya bersandar di latar belakang hiruk pikuk yang tampak di belakangnya.
“Tidak, kau tidak salah dengar,” ucap Ayunda di ponsel yang terjepit di antara bahu dan telinganya. “Nindyra, aku minta maaf sudah melakukan ini kepadamu.”
Ya, Samudra mengerti. Dengan kesibukan Ayunda, ia merasa justru telah merepotkan Ayunda dan mengambil waktu liburnya, tapi bagaimanapun juga, Ayundalah yang memulainya semuanya dengan surat pengajuan perceraian itu.
“Mereka sudah mendapatkan instruksi tentang pameran di Jakarta bulan depan, dan Andre pun juga sudah dapat dokumen asuransinya…”
Sudut mulut Samudra terangkat, ini adalah pembicaraan soal bisnis galeri Ayunda yang telah di bicarakannya selama bermenit-menit. Sesudah tiga telepon yang masuk selama Samudra masuk ke dalam kediaman Ayunda. Ayunda sangat terikat dengan pekerjaannya, dan mencintai setiap menitnya.
Ayunda sungguh cakap, tegas, profesional dan sangat berwibawa. Sikap tersebut tidak ada ketika dulu mereka bersama.
Hilang sudah sosok putri cantik yang sedikit manja dan sangat manis yang pernah Samudra genggam tangannya untuk menjaganya.
Ayunda begitu berbeda.
Dengan perhatian Ayunda yang terpecah antara Nindyra dan berkemas, Samudra membiarkan tatapannya perlahan mengikuti lekuk tubuh Ayunda. Dari rambut hitam halus yang terurai, sampai ke sweater ketat dengan bahan yang terlalu tipis dan berwarna biru cerah. Lalu lekuk pinggang ramping dan rok tipis yang menutupi pinggul dan kaki, setiap lekuk dan bentuk yang pernah sangat Samudra kenal tapi kini hanya bisa membayangkannya, dari yang terlihat di balik bahan pakaiannya. Kemudian Samudra menatap pergelangan kaki Ayunda yang ramping, berbalut sepatu branded yang pernah ia lihat.
Hak yang terlalu tinggi untuk bisa dengan aman melangkah mantap di jalanan pusat kota.
Ayunda membungkuk di atas tempat tidur, satu kaki menjejak lantai, kaki lainnya terlipat di lutut, ibu jari kaki mengarah ke karpet, tumitnya berputar-putar pelan.
Samudra menelan ludah, mulutnya tiba-tiba kering, dadanya sesak. Terlalu banyak yang ia lihat di tubuh Ayunda.
Samudra memikirkan tumit itu menempel di punggungnya, atau bagaimana rasanya ketika kaki itu saat melingkari pinggulnya atau di atas bahunya.
Tatapan Samudra naik lagi, mengikuti lekuk pergelangan kaki Ayunda, lekuk betisnya yang sesekali terangkat dengan menggoda di balik ujung rok yang bergerak-gerak. Lalu ke pinggul yang membulat dan punggung mulus yang membungkuk membentuk lengkungan lembut saat Ayunda mengulurkan tangannya mengemasi barang-barangnya.
"Kendalikan dirimu, Samudra," batinnya.
Bunyi gantungan baju di atas tempat tidur menyentak perhatian Samudra kembali ke percakapan yang sedang berlangsung antara Ayunda dan Nindyra via telepon“…seminggu dia bilang, untuk menyelesaikan semua pekerjaan itu?"
“Kenapa?” desis napas Ayunda terdengar, suara Ayunda memelan, seolah-olah ia tak ingin Samudra mengetahuinya. “Aku ingin masalah ini selesai.” Ayunda menutup handphonenya.
"Nindyra, sedang sibuk mengurus galeri, ia tidak ikut bersama kita,"
"Lagi pula siapa juga yang ingin mengajaknya, urusanku hanya denganmu." Samudra yersenyum penuh kemenangan, semakin sedikit gangguan semakin baik. Dan mungkin Samudra menginginkan Ayunda untuk dirinya sendiri.
Bukan untuk mengajaknya ke ranjang. Tidak!!! Samudra memiliki quality time bersama Ayunda. Meskipun sebenarnya masih sah-sah saja baginya untuk mengajak Ayunda ke ranjang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
ㅤㅤㅤ ㅤ🍃⃝⃟𝟰ˢ𝐀⃝🥀✰͜͡v᭄ʰᶦᵃᵗ
hmmm JD melihat tubuh yg woooww Ayunda engga kuat lngsng tegak dan berdiri🤭🤭🤭
mngkn saja d hati samudera masih ada sisa2 cinta nya buat Ayunda.
2022-09-13
1
yuni kazandozi
yaaaah namanya juga laki,liat yang mlehoe mlehoe pasti langsung tegak tuh pisang nya,apalagi ini liat istrinya,jelas samudra ga tahan lah,langsung dah mriang efek tegang anu nya😀
2022-09-12
1
ѴἶὉ
Wajarlah Samudra traveling melihat lekuk tubuh Ayunda, karena mereka suami istri, jadi tahu dan pernah merasakan semuanya yang ada pada diri Ayu.
2022-09-05
8