Tatapan mata Samudra berhasil menembus pertahanan diri Ayunda, padahal sebelumnya Ayunda yakin sekali telah berhasil melupakan Samudra. Sehingga ia mengajukan surat gugatan cerai tanpa obrolan dan pemberitahuan kepada Samudra.
Selain itu Ayunda juga menolak bekerja sama dengan Samudra, bahkan setelah Samudra dengan murah hati menawarkan pertemuan untuk membahas rumah tangganya, Ayunda memilih untuk pergi jauh ke Eropa untuk menghindari pembicaraan dengannya.
Ayunda mengibaskan rambut di bahunya dengan gerakan ringan dan santai. Satu hal yang selalu Samudra sukai, helaian rambut panjangnya yang diikat dan tersampir sehalus sutra hitam di punggungnya, sangat kontras dengan kulitnya yang terang.
Ayunda yang manis, lembut, dan seksi.
Ayunda adalah semua yang Samudra inginkan, dan pernah menjadi miliknya. Perasaan Samudra tidak pernah sangat membara seperti ini kepada seorang wanita sebelum atau sesuadah mengenal Ayunda. Namun kini hubungannya dengan Ayunda telah hancur dan sulit untuk diperbaiki.
Ayunda sudah hancur. Mereka telah mengambil jalan masing-masing dan prioritas hidup Samudra pun telah berubah. Akhirnya ia menjadi lebih terbiasa berpisah ketimbang bersama.
Samudra telah melanjutkan hidupnya. Dan berusaha sangat keras untuk itu. Namun, ketika kembali melihat Ayunda... wanita itu sungguh terlalu cantik, dan senyuman itu begitu manis.
“Kamu mau membawaku pulang?” tanya Ayunda.
Samudra membuka mulut untuk mengklarifikasi, tapi lalu menyeringai ketika Ayunda terlihat jelas menunggu tanggapannya.
“Apa kau sudah gila? atau sedang dibawah pengaruh obat? atau minuman? Aku tidak mau pergi bersamamu.”
“Tenang, Ayunda. Maksudku, kita duduk bersama untuk berunding. Tentang penyelesaian yang dapat diterima. Karena tidak mungkin kita berpisah begitu saja," ucap Samudra.
Terkadang Samudra sudah muak dengan keengganan Ayunda untuk mempertimbangkan sudut pandang apa pun selain pendapat dirinya sendiri.
Ayunda sudah banyak membuang buang waktu. Waktu milik pengacara mereka, waktu miliknya. Dan kini Samudra sudah tidak ingin hanya duduk diam sementara Ayunda terus menjauhinya. Ia ingin adanya penyelesaian sehingga ia bisa melanjutkan hidup dengan tenang.
Sambil melipat tangan di dadanya dengan gerakan lambat, mantap, dan tegas, Ayunda melotot ke arahnya. “Tidak mungkin berpisah begitu saja?”
Samudra mempertegas sikapnya, menampilkan ekspresi senatural mungkin untuk menunjukkan kalau dirinya tidak ingin bicara omong kosong. “Ya, kita memang tidak akan berpisah begitu saja."
Ayunda berdiri menatap Samudra, matanya melebar begitu menyadari bahwa ia tidak tertarik untuk bermain-main. Atau mungkin bukan begitu, karena kemudian mata lebar itu mulai memicing seperti sedang menilai sesuatu dengan tajam.
Ayunda mendekat ke arah Samudra dan menatapnya. “Aku ingin cerai, aku tidak membutuhkan izinmu untuk melakukan apa pun, Samudra. Aku sudah tidak membutuhkannya selama bertahun-tahun. Mungkin kau ketinggalan berita, tapi kini aku seorang profesional mandiri yang membangun karier sukses dengan pikiranku sendiri. Aku tahu apa yang kuinginkan. Aku tahu apa yang kubutuhkan. Sama seperti aku tahu apa yang tidak kubutuhkan.”
Ayunda biarkan makna ucapannya menggantung, hantaman kata-kata itu mengenai sasaran tanpa perlu diucapkan.
“Ya, selamat atas pemikiran mandiri itu, Ayunda, kau berhasil membangun galeri di Jogja, tapi aku tidak peduli."
"Dengar, aku tahu kau belum pernah menggunakan rekening bersama kita sejak kau menyelesaikan pendidikanmu, dan semua yang telah kau capai bersama galeri itu adalah hasil usahamu. Dibutuh kan banyak akal dan kepintaran untuk melakukan apa yang telah kau lakukan. Tapi kau tidak menggunakan akal itu dalam masalah kita."
Tatapan Ayunda berubah menjadi sangat fokus, Samudra berhasil menarik perhatiannya. “Kau menghasilkan pendapatan yang lebih besar dari yang diharapkan. Mendapatkan laba yang tinggi, tapi coba pikirkan fluktuasi ekonomi. Pikirkan hidupmu sendiri kalau kau ingat seberapa cepat kejadian tak terduga dapat mengubah semuanya. Bukankah kau pernah mengalaminya, Ayunda”
“Aku akan pulih. Atau memulainya lagi. Aku pernah melakukannya. Dan kalaupun aku tidak bisa, itu bukan urusanmu.” ucap Ayunda.
Itulah letak kekurangan Ayunda. Samudra mungkin tidak tahu cara menjadi suami yang Ayunda butuhkan, tapi ia yakin sekali ia tahu apa itu tanggung jawab dan kewajiban. Karena itulah ia tidak akan membiarkan masalah ini terus ada. “Bagaimana kalau ini bukan semata-mata masalah bisnis? Bagaimana kalau kau menikah lagi, punya anak? Bagaimana kalau orang yang kau cintai membutuhkan lebih dari sekadar kemandirian yang bisa kau berikan? Ini bukan tentang kau dan aku. Ini tentang kepraktisan. Melakukan hal yang cerdas.”
Ayunda meringis mendengar penjelasan tentang masa lalu mereka. Namun bahkan tidak berkedip ketika Samudra menyebutkan tentang ancaman bagi keluarga di masa depannya. Seolah-olah masa lalu itu tidak pernah ada sebelumnya.
“Baiklah, bagaimana kalau kau tidak menikah lagi dan sesuatu terjadi padamu? Apa kau ingin meneleponku dari kasur rumah sakit untuk meminta bantuan?” Samudra tahu jawabannya tidak.
Sama seperti Ayunda yang tahu bahwa tak peduli berapa tahun yang telah mereka lewati, jika ia membutuhkan apa pun, yang akan ia lakukan adalah meminta bantuannya dan Samudra pasti akan selalu memenuhinya. Masalahnya adalah, Ayunda tidak akan pernah meminta. Jadi Samudra ingin agar Ayunda mengambil uangnya sekarang.
Ayunda beranjak dari tempat duduknya, ia melihat Djiwa masih menunggunya di luar pagar rumahnya.
Hei, apakah Ayunda ingin mengusirnya dan melanjukan kencannya dengan pria itu? Persetan dengan itu.
“Uang itu juga milikmu, Ayunda, dan kau akan mendapatkannya. Karena jika tidak, kau harus melupakan semua rencana yang kau miliki untuk lepas dariku. Pengacaraku akan membuat tetap terikat di pengadilan selamanya.”
Samudra akan kesulitan untuk masalah yang satu ini. Namun ia sudah kepalang basah. Ia pernah mengecewakan Ayunda, tapi ia tidak akan gagal dalam hal ini. Tak peduli seberapa ingin Ayunda berseteru, Ayunda akan mengambil uang itu. “Dan pengacaraku juga akan mempermasalahkan galerimu.”
Tubuh Ayunda menjadi kaku dan perlahan-lahan ia berbalik menghadap Samudra. “Dasar baj*ngan.”
“Ya, memang,” Samudra menyetujui itu dengan pasrah. “Tapi aku seorang baj*ngan yang memikirkan kebaikanmu. Ayolah, Ayunda, jangan melawanku dalam masalah ini.”
Ayunda mengembuskan napas panjang dan merapikan pakaiannya. “Sepertinya aku tidak punya banyak pilihan, kan?”
“Tidak.” Namun Samudra pun sama. Tidak setelah apa yang ia lakukan. Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa tidak peduli seberapa besar keberuntungannya, itu masih tidak akan cukup bagi Ayunda.
Samudra mengembuskan napas berat. “Aku tidak ingin bertengkar denganmu, Ayunda. Dulu kita saling mencintai dan bergandengan tangan bukan? Bahkan di akhir kebersamaan kita.”
Samudra ingin masalah ini selesai dengan cepat. Ia tidak akan menyia-nyiakan alasan yang didapatkan dari gertakan soal galeri tadi. “Waktunya tepat. Kau punya waktu luang selama seminggu yang kebetulan bertepatan dengan jeda di jadwal syutingku. Kita bisa mendapatkan penyelesaian sebelum hari Jumat depan. Siapa tahu, kalau kita bersungguh-sungguh."
“Ini adalah waktuku untuk libur setelah satu tahun aku bekerja keras di galeri, jadi kau jangan mengacaukannya."
Samudra meraih lengan Ayunda, tapi Ayunda menghindari sentuhannya. Wanita itu kembali menyibukkan diri dengan tasnya, meskipun tampak jelas tidak ada yang ia cari. Ketika mendongak, ada tatapan serius di hadapannya. “Aku ingin perceraian ini setenang pernikahan kita dulu.”
“Tentu saja.” Samudrasudah berusaha keras membuat Ayunda terhindar dari media. Sudah cukup beruntung hubungan mereka lolos dari pengamatan sejak awal, tapi setelah stahun ini, Samudra tidak lagi melindungi privasinya, Ia tidak akan mempertaruhkan soal itu sekarang.
“Itu berarti kau tidak boleh secara terbuka menyebutku sebagai istrimu.”
“Aku tidak suka orang itu.”ucap Samudra mengarah ke Djiwa.
Ayunda tersenyum. “Tidak suka?”
"Kau suruhlah dia segera pergi dari sini, dia terlalu berbahaya untukmu."
“Hei kau tidak perlu mengkhawatirkanku.”
Mengapa Samudra tiba-tiba saja berubah menjadi protektif? padahal jelas Ayunda bukanlah seorang wanita yang tidak bisa menjaga diri.
Jadi kalau sikap Samudra bukanlah protektif pastilah itu posesif.
Dan itu gila.
Samudra memasukan kedua tangannya ke dalam saku, “Ayo bereskan masalah ini,"
Tak ada pilihan lain, Ayunda akhirnya meminta Djiwa untuk pulang dari kediamannya, tak lupa ia pun mengambil lukisan yang tadi ia beli di kaki lima Malioboro.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
ㅤㅤㅤ ㅤ🍃⃝⃟𝟰ˢ𝐀⃝🥀✰͜͡v᭄ʰᶦᵃᵗ
kalau masih cinta dan syg knp harus berakhir sprti itu JD penasaran
2022-09-13
1
yuni kazandozi
kayaknya masalah antara ayunda dan samudra ruwet ,Samudra kekeh mempertahankan rumah tangga nya,ayunda kekeh ingin bercerai,atau kah ayunda juga suka djiwa,makanya ingin csrsi dari samudra
2022-09-11
1
🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜
Apakah di sini Ayunda yang terlalu mengejar karier... masih penuh tanda tanya🤔
2022-08-29
1