4.

Mereka berhenti berlari saat terdengar napas terengah dari Rania. Keduanya lalu berdiam diri di samping sebuah kedai makanan cepat saji tak jauh dari stasiun tadi.

Untungnya sisi gedung yang mereka pilih cukup sepi karena tepat di sisi tempat sampah besar milik bangunan itu.

Hanya terlihat beberapa pria berseragam merah berlogo restoran yang tengah mengikat kantong plastik besar di hadapannya. Dan dua ekor anjing liar yang tampak berusaha naik dan melongok ke dalam bak sampah yang tutupnya sedang diangkat salah satu dari pria tadi.

Alden terdiam dengan tangan mengepal kencang di sisi tubuhnya.

"Sebaiknya kau pergi."

Rania menoleh dengan wajah bingung ke arahnya.

"Pergi kemana?" tanyanya.

Alden mendelik kesal. Kesabarannya benar-benar diuji saat ini.

"Bukan urusanku. Pergi saja ke tempat yang aman menurutmu."

Rania tampak gelisah dengan fikirannya. Beberapa kali keningnya tampak mengernyit dengan tatapan menerawang.

"Bagaimana kau tahu tentang orang yang berniat membunuhku tadi?" tanya Rania hati-hati.

Alden tak menoleh sedikitpun membuat Rania dilanda rasa penasaran yang lebih besar.

"Hei... Tolong jawab aku." pintanya lembut.

Alden menoleh sekilas kearahnya.

"Diamlah!"

Rania menggigit bibirnya tampak tak nyaman.

"Kau tahu siapa kira-kira yang ingin kau mati?" tanya Alden datar.

Rania mengangguk tak yakin.

"Ya. Kurasa aku tahu. Bahkan aku juga tahu alasan orang itu." jawabnya ragu-ragu.

Alden menipiskan bibirnya tersenyum sinis.

"Kau tidak terlihat takut." itu bukan pertanyaan.

Rania tertawa pelan lalu menggeleng.

"Tentu saja aku takut. Nyawaku terancam setiap saat. Bahkan aku tidak bisa berteman dengan siapapun demi keselamatan mereka." jawab Rania sendu

Alden mengerutkan keningnya tampak tertarik.

"Maksudmu... Kejadian ini bukan yang pertama?" tanya Alden.

Rania mengangguk yakin.

"Begitulah. Aku pernah hampir ditabrak truk besar dan selamat karena kakiku tersandung batu, lalu hampir mati diracun tapi selamat karena kucingku memakan makananku lebih dulu, terakhir kali aku hampir mati didorong dari atap sekolah tempatku bekerja."

Alden sedikit terbelalak mendengar cerita yang dituturkan gadis itu dengan lancar dan santai itu.

'Siapa gadis ini?'

Alden mengamati lekat sosok gadis cantik di sebelahnya. Dia benar-benar terlihat lembut,lemah bahkan tubuhnya saja cukup mungil.

Lalu apa yang membuatnya dipandang begitu berbahaya hingga dia harus cepat mati?

"Sepertinya keberuntunganmu selalu bagus menyangkut kematian. Hari ini kau selamat karena kebodohanku." Alden terkekeh karena ucapannya sendiri.

Rania meringis dan tersenyum sedih.

"Di stasiun tadi kau bilang ingin membunuhku, apa kau juga..." Rania ragu-ragu dan sedikit ketakutan untuk melanjutkan pertanyaannya.

Alden menegang kaku. Dia akhirnya menyadari kesalahan fatalnya yang dilakukan di stasiun tadi.Karena terdorong rasa marah pada gadis itu.

Dia berani mengancam gadis itu karena sebelumnya Alden berfikir gadis itu akan segera mati hingga tak mungkin menimbulkan masalah untuknya.

Dan tentu saja dengan bodohnya dia nyaris membongkar kedoknya sendiri. Batinnya berkali-kali mengutuk kecerobohannya yang diluar nalar.

"Bukan. " jawab Alden tajam.

Rania menghembuskan nafas lega.

"Lalu bagaimana kau tahu kalau ada yang berniat membunuhku tadi?" tanyanya heran.

Alden berfikir secepat mungkin untuk menjawab pertanyaan itu.

"Aku hanya berfikir orang itu mencurigakan. Itu saja." jawab pria bermata biru itu berusaha meyakinkan dengan menyelipkan senyum disela jawabannya.

Rania tampak memicing tak percaya. Entahlah, sepertinya gadis itu tidak selemah dan sesederhana yang terlihat.

"Tapi tadi kau bilang, bukan tugasmu untuk membunuhku? Itu...

"Tentu saja bukan tugasku. Aku bukan orang jahat.Yang benar saja!" Sergah pria yang kini tampak menatap sinis ke arahnya.

"Lagipula sudah terbukti kan? Ada orang lain yang ingin kau mati." Tambahnya lagi.

Rania terdiam dengan ekspresi putus asa.

Dia menghela nafas panjang berkali-kali.

"Berapa usiamu?" tanya Alden penasaran

"Dua bulan lagi 20 tahun." jawabnya singkat.

Alden mendengus pelan.

Mereka saling terdiam dengan fikirannya masing-masing.

"Aku harus mati sebelum usiaku tepat 20 tahun."

Alden menoleh cepat kearahnya.

Rania balas menatapnya dengan senyum miris terselip di bibirnya.

"Kenapa?" tanya Alden.

Rania menggeleng tanpa bermaksud menjawabnya.

"Hidupku akan menghancurkan orang lain."

Alden menatapnya tak mengerti.

"Siapa?"

Hening.

Gadis diam tak menjawab.

Malah kini tampak tengah tersenyum sedih sambil memperhatikan  langit yang mulai meredup dan merayap menuju malam.

Gadis yang  menyedihkan.

Alden terperangah dengan pikirannya sendiri.

***

Ponsel Alden berdering nyaring menyentak dua orang yang sejak tadi sibuk dengan fikirannya masing-masing.

Alden menegang melihat nama Arial di layar ponselnya yang berkedip.

"Ya... Ada apa?" suara datar tak bersahabat Alden pada lawan bicaranya di telpon membuat Rania sedikit bergidik tak nyaman.

"Brengsek! Apa yang kau lakukan? Caramu benar-benar kotor jika tujuanmu untuk mempertahankan rekormu!" 

Arial memakinya keras di sebrang sana.

Jelas saja Arial begitu marah dengan kelakuan Alden yang menggagalkan tugasnya, bahkan hingga tiga kali berturut-turut.

Alden menutup matanya frustasi dan menyesal karena tindakan aneh dan sembrononya hingga tak sengaja menyelamatkan gadis itu.

"Kau tahu aku bukan orang seperti itu." Alden mengetatkan rahangnya terlihat emosi.

"Lalu apa maksudmu brengsek?!!" Arial berteriak marah di sebrang sana.

Alden memutar otak untuk mencari jawaban untuk sepupunya yang tengah mengamuk itu.

Lalu diingatnya keberadaan CCTV tak jauh dari tempat gadis itu berdiri ketika di stasiun.

"Kau ceroboh." jawab Alden.

Hening. Namun sepersekian detik terdengar helaan nafas kasar dari lawan bicaranya.

Sepertinya saat itu karena terlalu kesal dan fokus pada targetnya, Arial sedikit melupakan kondisi sekelilingnya.

Padahal hal itu termasuk komponen dasar yang harus mereka perhatikan setiap beroperasi.

Setiap dari mereka harus mengenal medan tempur mereka sendiri dengan baik supaya tak membawa masalah apapun pada mereka semua.

Dan berkat keteledoran kecil Arial sendiri, akhirnya membuat Alden terlepas dari kebuntuannya dalam memberi alasan atas tindakan konyolnya waktu itu.

"Apa maksudmu, sialan?!" Arial terdengar tak terima dengan penilaian sepupu sekaligus rivalnya itu.

Alden mendengus kecil. Dia hendak menjawab saat melihat kini Rania tengah memperhatikannya dengan tertarik.

"Kita lanjutkan nanti." Alden menutup telponnya sepihak.

***

"Bukannya kau sudah kusuruh untuk pergi?" desis pria itu kesal.

Rania mengerjap kaget saat mendengar pertanyaan setengah membentak dari pria itu.

"Iya. Menurutmu... aku harus pergi kemana?" tanyanya hati-hati.

Alden menutup mata menahan marah.

"Itu urusanmu." jawabnya tak peduli.

Rania menggeleng cemas.

"Bagaimana jika pembunuh itu masih mengincarku?" tanya Rania

Alden tersenyum sinis.

"Berarti itu memang waktumu untuk mati." jawabnya datar.

Rania menahan nafas dengan mata ketakutan, namun berusaha melempar senyum kecil meski wajahnya jelas tampak ngeri.

"Tidak bisakah aku ikut pergi denganmu, Diaz?"

Alden mengangkat alisnya dengan ekspresi terlihat mengejek.

"Maaf. Tapi aku tidak sepeduli itu padamu, Miss."

Alden pergi meninggalkan gadis itu yang kini mulai terisak dan bernafas cepat karena takut.

Tak lama, pria itu menghentikan langkahnya hanya untuk mengejek gadis itu.

"Kurasa tangisanmu di stasiun tadi sudah cukup dramatis." ejeknya.

Rania mendongak marah.

"Aku hampir mati kau tahu! Wajar saja kalau aku menangis!" teriaknya tajam.

Alden terkekeh melihat gadis yang tampak lembut dan rapuh itu kini terlihat meledak karena marah.

"Tentu. Dan kau berhenti menangis karena pelukanku tadi." celetuk Alden.

Rania teringat pelukan hangat Diaz saat dia ketakutan tadi dan sontak membuat wajahnya terasa panas.

Dia menggembungkan pipinya yang merona seraya memalingkan wajahnya terlihat malu.

Alden sedikit tertegun melihat wajah malu-malu itu.

Jantungnya perlahan memompa darahnya lebih giat yang rasanya menimbulkan desiran aneh tak nyaman ditubuhnya.

Sedikit getaran tak nyaman menyusup diam-diam. Memicu naluri aneh yang terasa asing baginya.

Secara mengejutkan, Alden merasakan dorongan  untuk meraih wajah cantik yang kini merona dan membuatnya gemas itu.

"Aku tidak butuh pelukan." gadis itu bersuara dengan lirih dan gugup melihat Alden melangkah mendekatinya lagi. Wajahnya yang masih merona menunduk dalam.

Alden bereaksi.

Kakinya melangkah cepat kearah gadis yang menunduk malu itu.

Tangannya terulur merangkum kedua pipi merah jambu yang seakan menggoda gerak tubuh dan jiwanya.

Rania mengerjap kaget dan gugup menatap Alden yang kini menatapnya begitu dekat.

"A...apa?" tanyanya begitu gugup.

Alden menatapnya dalam dengan tatapan tak terbaca.

Otak dan gerak tubuhnya seakan berhenti karena semuanya kini terpusat pada sosok didepannya.

Pertama kalinya seumur hidup, dia merasakan perasaan aneh tak masuk akal hanya karena berhadapan dengan gadis yang bahkan penampilannya saja terlihat biasa saja.

Tak ada tubuh berlekuk seksi atau wajah secantik model. Bahkan gadis itu jelas tak memakai barang mewah atau bermerek apapun di tubuhnya.

Alden semakin mendekat tanpa sadar. Dengan tak terkendali, disentuhnya bibir basah yang menarik perhatiannya itu dengan ibu jarinya.

Mereka berdua terkesiap.

Mata prianya yang tajam kini terkunci oleh sepasang mata coklat yang menyorot tenang didepannya.

'Sial! apa ini?!'

Alden menegang saat merasakan perasan membuncah dan desiran aneh yang terasa di hatinya.

Dia menarik nafas panjang karena jantungnya kini berdebar agak cepat namun membuatnya begitu merasa hangat dan gemetar?

Alden terlihat linglung saat melepaskan tangannya dari gadis itu.

"Diaz, kau baik-baik saja?" suara lembut bernada khawatir memicu kesadarannya.

Alden tersentak lalu mundur seketika dengan tatapan ngeri pada reaksinya sendiri

"Namamu tadi... Rania kan?" tanya Alden berusaha mengalihkan perhatiannya dari segala rasa aneh yang tadi mengganggunya.

Rania menganguk bingung. Wajahnya masih merona karena kedekatan mereka yang cukup menggetarkan tadi.

"Itu... Kenapa kau menyentuhku tadi?" tanya gadis itu kikuk.

"Hah? Apa?" Alden tergagap dan sedikit salah tingkah.

Pria itu mengerjap sekilas dan tampak sedikit tertegun karena tak menemukan satupun alasan yang dia mengerti hingga membuatnya tak bisa menahan diri seperti itu.

"Mungkin karena aku menginginkannya," jawabnya ragu.

Rania tersenyum kecil.

"Oh, Oke." jawabnya tak tahu harus berkata apa.

"Diaz, kurasa aku akan pulang saja. Benar katamu, jika aku ditemukan, berarti memang waktuku untuk mati." kata gadis itu sambil tersenyum pasrah.

"Lagipula aku sudah sering beruntung seperti kau bilang tadi." Ujarnya seraya tersenyum kecil.

Alden terdiam,entah kenapa dia  menegang saat membayangkan Rania terbaring mati atau terluka di benaknya.

Rasa sedikit tak rela yang datang entah dari mana menyerangnya dengan cepat.

Dia menoleh lagi dan menatap gadis itu dengan lekat.

"Ya, kau memang harusnya sudah mati." geramnya meyakinkan dirinya sendiri.

Rania tersenyum sendu lalu mengangguk.

"Mungkin kau benar." jawabnya dengan lirih.

Mereka terdiam lagi tak tahu harus saling bicara apa.

Tiba-tiba Rania mengulurkan tangannya kearah Alden.

Alden membelalak ngeri saat gadis itu kini melesak memeluknya dengan erat.

"Apa yang..."

"Aku pergi, Diaz. Semoga kita masih bisa bertemu lagi." ucapnya dengan lembut.

Alden semakin menegang kaku mendengarnya. Karena kemungkinan mereka bertemu lagi itu mungkin tidak ada lagi nantinya.

Rania melepaskan pelukannya lalu pergi setengah berlari kearah jalan raya. Dan menghilang dengan taksi yang ditumpanginya.

Alden berdiri diam dengan  perasaan aneh yang baru pertama kali dirasakannya.

Hatinya sedikit khawatir melihat Rania yang semakin jauh pergi darinya.

Dia harus menahan dirinya cukup keras agar tak mengulang kebodohan yang sama dengan mencegahnya pergi atau menyusul kemanapun gadis asing tadi menghilang.

Tangannya mengepal dengan tatapan berubah dingin nan keji.

Dimanapun gadis itu sekarang Alden berharap tak pernah berpapasan lagi dengannya

Arial harus berhasil membunuh gadis itu secepatnya, agar dia tak dituduh bersaing dengan cara kotor oleh sepupunya.

---00-----

Tbc.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!