Pennsylvania Station, New York
Alden melirik jam ditangannya untuk kesekian kali dengan wajah nyaris bosan.
Dilihatnya lalu lalang manusia yang padat di stasiun itu sedikit banyak menyulitkan tujuannya hari ini. Jelas saja, Penn Stasiun termasuk yang tersibuk di Amerika. Konon katanya jumlah penumpang stasiun itu hingga mencapai seribu orang per 90 detik. Jadi bisa dibayangkan bagaimana akan sulitnya tugas Alden ditempat itu.
Pria itu mendesah pelan saat menyadari objek tak diundang tampak menghampirinya.
Alden mendengus lalu melirik tajam kearah seorang pria seusianya yang tiba-tiba saja duduk di kursi di sebelah.
Dengan santai dia bertingkah seolah tak saling mengenal dengan orang yang kini duduk didekatnya.
"Kenapa kau ada disini?"tanya pria tampan itu tanpa menoleh kearah lawan bicaranya.
Alden tersenyum sinis dengan mata tetap mengawasi pintu stasiun.
"Bukan urusanmu!" jawab Alden datar.
Pria itu mendesis kesal mendengar jawaban Alden, lalu menoleh dan tersenyum miring kearah Alden.
"Kurasa tujuan kita ditempat ini tak jauh beda."
Alden diam tampak tak peduli.
Pria itu tampak menghela nafas kesal lalu terkekeh pelan.
"Siapa targetmu?" Bisiknya pelan dengan mata berkilat jahil dan licik.
Alden melirik sinis kearahnya.
"Kau ini berisik sekali, Arial!" desis pria itu.
Arial terkekeh pelan. Dia melirik ponsel, lalu beranjak begitu saja menjauh dari Alden tanpa bicara apapun.
Alden mendelik dan hanya melirik sepupunya sekilas. Perhatiannya kini tercurah kearah rombongan orang yang memasukin stasiun.
Dia tersenyum dingin melihat targetnya tengah berjalan kearahnya.
Lalu dia berdiri sambil berpura-pura melihat ponselnya.
Saat rombongan itu melewatinya, dengan gesit Alden merapat dan ikut berjalan bersama mereka tanpa terlihat mencurigakan sedikitpun.
Dipasangnya ekspresi ramah saat berbaur bersama orang lain seperti yang selama ini dilakukannya.
Andrew Douglass terdengar tertawa akrab bersama para wartawan yang menyertainya.
Alden memperhatikan baik-baik target buruannya kali ini.
Seorang pria paruh baya berwajah ramah dan terkenal sebagai pengacara yang memperjuangkan hak-hak orang tertindas.
Seorang pensiunan jaksa yang kini beralih jadi pengabdi masyarakat sejati.
Disebelah Andrew berdiri istrinya Lindsay Douglass, seorang dokter anak yang juga cukup dihormati dan dikenal juga sebagai aktivis yang konsisten memperjuangkan anak-anak korban kekerasan keluarga.
Lalu putranya Marvin, seorang remaja genius Matematika yang dua hari lagi akan berusia genap empat belas tahun.
Alden ikut memasuki kereta bersama rombongan itu.
Dia belum akan membunuh targetnya hari ini.
Hanya melihat dan menyerap informasi yang dinilainnya perlu dari targetnya.
Steve memang sudah memberikan data yang cukup lengkap tentang mereka.
Tapi Alden memiliki kebiasaan melihat terlebih dulu targetnya sebelum beraksi.
Mungkin seperti berusaha melihat tipe dan kepribadian para korbannya terlebih dahulu.
Alden duduk beberapa meter dari rombongan targetnya didalam kereta.
Disampingnya duduk seorang wanita kulit hitam yang beberapa kali meliriknya dengan tatapan kagum.
Dengan ahli dia tersenyum hangat dan mengangguk ramah kearah wanita itu yang lantas tersipu saat tertangkap basah menatapnya.
***
Alden mengamati targetnya dengan mahir. Dia terlihat seolah jadi salah satu masyarakat yang tampak tertarik dan penasaran pada salah satu tokoh yang di sebut-sebut akan jadi calon pemimpin dikota itu
Dia duduk bersebrangan dengan rombongan targetnya yang kini tampak tengah berbincang hangat dengan para pers.
Saat sedang fokus mengamati objek buruannya yang masih saja sibuk berbincang, Alden di kejutkan oleh benturan keras dan suara pekikan pelan seorang wanita.
'Brugh!!
Alden terlonjak kaget melihat seorang gadis berambut coklat gelap yang kini mendarat dengan sukses dipangkuannya.
Tubuh gadis itu tersungkur tengkurap dengan cara aneh dan sama sekk tak anggun tepat diatasnya.
Bagian belakang pakaiannya tersingkap dan sedikit menampakkan sesuatu yang cantik berwarna merah muda bermotif bunga daisy dibaliknya.
Si gadis kini masih tersungkur dan terdengar mengerang kesakitan diatas tubuhnya.
Alden berusaha bereaksi sewajar mungkin. Karena saat melihat sekeliling mendapati dirinya dan si gadis kini jadi pusat perhatian dalam kereta yang tengah berjalan itu.
"Aw! Maafkan aku," ucap gadis sambil bergerak-gerak berusaha menumpukan tangannya ke lutut Alden berusaha bangun.
Si gadis cepat-cepat bangkit dari tubuh pria yang ditimpanya. Dia melirik tak enak kearah Alden yang masih terlihat kaget.
"Maaf, sepertinya hak sepatuku patah. Jadi aku hilang keseimbangan. Maafkan aku." ucap si gadis gugup tampak panik dan malu.
Alden melihat kearah gadis itu dan berusaha memasang wajah sesantai mungkin meski sebenarnya dia sebenarnya sangat jengkel saat ini.
Gadis itu mengganggunya yang tengah fokus tadi. Membuyarkan seluruh rencana pengamatan yang hampir tersusun diotaknya.
Benar-benar menyebalkan bagi Alden yang terbiasa melakukan apapun dengan terencana dan perfeksionis.
Alden tersenyum tipis,berusaha keras bersikap baik.
"Tak masalah. Apa kau baik-baik saja?" tanya Alden ramah dan terdengar tulus.
Gadis itu sejenak terlihat mengerjap konyol melihat wajah rupawan yang ada didepannya.
Pipinya merona seketika. Tangannya terangkat otomatis menyelipkan rambut kearah telinga .
Dia terlihat gugup dan sedikit salah tingkah.
Khas wanita yang tertarik melihat lawan jenis yang memukaunya.
Alden mendengus sebal dalam hati. Sebal
Gadis itu terlihat berusaha menguasai dirinya terlebih dahulu sebelum menjawab.
"Hm.. Iya. Aku tidak apa-apa. Maaf. Kau pasti terkejut tadi." ucapnya lembut dengan senyum menyesal.
Alden mengumpat marah dalam hati. Kesal karena harus membuang waktu untuk basa-basi yang memuakkan
Tapi hebatnya wajah tampan dan mata birunya menunjukan ekspresi ramah penuh pengertian pada gadis itu.
Dia tersenyum tipis membuat si gadis cukup terpana melihatnya.
"Tak apa. Jika tadi kau tidak terjatuh kearahku, kau pasti terluka." Jawab Alden terdengar tulus.
Sigadis tersipu malu mendengarnya. Dia melirik kearah bangku disebelah kiri Alden yang kosong.Tampak jelas binar senang dimatanya.
Alden memaki dalam hati saat mengerti gadis itu akan duduk di sebelahnya.
"Duduklah!" Alden menepuk kursi disampingnya dengan menahan marah serapat mungkin.
"Ehm... Aku Rania."
Alden menoleh kearah suara gugup di sebelahnya.
'Apa peduliku? Sialan!'
Alden mengumpat dalam hati.
Sebenarnya saat ini saking marahnya, dia sangat ingin mencekik atau menembak gadis yang kini ada disebelahnya itu.
Karena gara-gara kekacauannya, Alden tak mungkin bisa melanjutkan pengamatannya saat dia sudah cukup menarik perhatian orang banyak tadi.
"Alden Diaz!" jawab Alden memperkenalkan diri seraya menjabat tangan gadis itu yang terasa kecil dan kurus.
Rania mengangguk dan tersenyum manis.Lesung pipit kecil terlihat di pipinya.
Membuat Alden mengangkat alis sedikit menunjukkan apresiasi melihatnya.
***
Drrrrrttt.... Drrtttt..
Ponsel Alden bergetar disakunya. Dia melihat sebuah pesan baru saja masuk.
From: Arial
[Menjauh darinya! Dia targetku.]
Alden membeku.
Jelas merasa terkejut membaca isi pesan sepupu sekaligus saingannya yang tiba-tiba itu.
Diliriknya gadis yang kini tengah berusaha mematahkan hak sepatunya yang bengkok dan menggantung menyedihkan.
Gadis itu jelas bertubuh mungil, dengan dress motif bunga matahari berwarna kuning cerah membungkus tubuhnya.
Rambutnya coklat gelap tergerai lembut sampai ke punggung dengan poni yang agak panjang terselip disebelah telinganya.
Wajahnya tampak segar dan muda. Berkulit putih berwajah campuran barat dan sedikit nuansa asia yang membuatnya cantik.
Matanya coklat terang sewarna caramel.
Hidungnya cukup mancung tapi terlihat kecil dan pas diwajahnya.
Bibirnya merah muda yang agak pucat dan terlihat kenyal saat gadis itu beberapa kali menggigit kecil bibirnya.
Alden agak sedikit tertarik melihatnya, lalu mengernyit saat ingat pesan yang baru saja di terimanya.
To : Arial
Kau yakin dia targetmu? Cukup mengejutkan karena dia bahkan belum terlihat tergores sedikitpun.
Alden tersenyum puas setelah mengirim pesan setengah mengejek pada Arial.
From: Arial
Menjauh darinya! Brengsek!
Alden terkekeh puas membaca pesan Arial.
"Apa kau baik-baik saja?"
Alden menoleh kearah suara lembut didekatnya.
Dilihatnya gadis bernama Rania itu tengah menatap penasaran kearahnya.
Dia tersenyum ramah.
"Ya, tentu. Hanya saudaraku mengatakan hal yang lucu dalam pesannya." jawab Alden asal dengan sorot yang tampak sedikit geli.
***
Penumpang yang hendak turun cukup berdesakan di pintu kereta.
Mungkin kehadiran sang calon walikota dan rombongannya sedikit banyak menambah jumlah orang ditempat itu
Termasuk Alden dan Rania yang berdiri bersisian saat mengantri ke pintu keluar.
Alden melihat Arial mendekat dari sudut matanya.
Dan menilik tempat dan situasi dimana mereka berada, hanya butuh waktu sedetik bagi Alden mengetahui kalau Arial membawa senjata berupa jarum kecil beracun mematikan yang akan dipakai pada targetnya.
Alat mematikan yang sekilas tak nampak berbahaya.
Dan saat tertusuk pun hanya akan terasa seperti sengatan kecil serangga atau tusukan jarum peniti.
Padahal siapapun yang tertusuk jarum itu, dipastikan tewas tak lama setelahnya.
Jarum kecil itu tersimpan di jam tangan yang dipakai semua klan utama Zenoz.
Alden juga sama memakainya. Karena semua anggota Zenoz di bekali alat yang sama sebagai bekal dasar
Selain senjata tajam dan puluhan pistol, para Zenoz juga akan di bekali alat- alat mematikan lainnya dengan jenis dan jumlah yang sama yang dipilih sesuai kebutuhan.
Tak ada yang dibedakan satupun.
Jadi semua tingkat keberhasilan para pembunuh Zenoz benar-benar ditentukan oleh bakat, kecerdasan dan strategi anggotanya dalam menjalankan tugas membunuh mereka.
Alden sedikit mundur untuk memberi celah untuk Arial membunuh buruan didepannya.
Meski bersaing, pantangan utama mereka adalah berusaha berbuat curang dengan menggagalkan misi siapapun saingannya.
Sialnya saat Arial hendak beraksi, ada dorongan tak sabar dari arah belakang Alden karena banyaknya orang distasiun itu.
Hingga tubuh Alden sedikit terhuyung ke depan dan membentur punggung Rania dengan cukup keras.
Lalu jarum kecil yang dimiliki Arial sontak terjatuh ke lantai kereta dan tak terlihat lagi setelahnya
Alden terbelalak dengan tubuh yang sontak kaku karena terlalu terkejut.
Dengan ngeri dia menyadari telah melalukan pelanggaran fatal.
Yaitu tak sengaja menggagalkan misi Arial kedua kalinya.
Meski mereka bersaing, tapi mereka tak pernah saling mengganggu misi yang lainnya.
Terutama bagi Alden sebagai orang yang dikenal paling kompeten di antara semuanya.
Arial tertegun dan menatap kearahnya dengan marah
Dia perlahan berpindah dan mencari jalan secepat mungkin keluar dari sana.
Alden meliriknya sekilas dengan wajah gusar dan marah.
'Wanita sialan!'
Hatinya mengutuk gadis kurus itu dengan kesal.
Dia tak mau Arial berfikir bahwa dia berniat curang dengan berusaha menggagalkan misi sepupunya itu.
Dilihatnya Rania yang berdiri sambil menjinjing sepatu hak tingginya dengan wajah polos tak tahu apa-apa.
Alden sontak mengepalkan tangan dengan keras menahan dorongan untuk membunuh gadis yang mengacaukan harinya itu.
***
Alden sedikit menghembuskan nafas lega saat sudah menjauh dari kereta. Dia mengeluarkan ponselnya dan melihat sebuah panggilan tak terjawab dari timnya.
"Ada apa Steve?" tanya Alden datar
"Andrew dan keluarganya akan mengunjungi temannya di LA dua hari lagi. Mereka dijadwalkan berangkat pada pagi hari, Mr. Alden." tutur steve
Alden terdiam dan tampak berfikir keras.
"Bukankah hari itu ulang tahun putranya?" tanya Alden
"Iya, benar." jawab Steve
Alden tersenyum tipis.
"Kita bereskan hari itu juga." Alden berkata dengan mantap.
"Baik, Mr. Alden. Saya siapkan beberapa alat sesuai rencana yang anda susun."
"ya. Good job, Steve." puji Alden lalu menutup telponnya.
Alden masih terdiam saat sebuah tepukan pelan terasa di punggungnya.
"Diaz?"
Alden membeku kesal mendengar suara lembut bernada ceria itu.
'Brengsek!'
Tbc...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments