3.

"Diaz?!"

Alden mengumpat dalam hati saat menemukan Rania tengah tersenyum lebar menatapnya.

Rasa marah yang sempat dirasakannya tadi karena gadis itu, kini muncul kembali ke permukaan.

Alden menatap tajam kearah Rania tanpa berniat untuk memasang topeng ramah lagi pada gadis itu.

Dia menyipitkan mata penuh kemarahan pada gadis itu yang kini membeku melihat mata kejam yang tak sangka akan di lihatnya dari pria ramah di kereta tadi.

Rania sontak tergagap dan mundur dengan gemetar.

"Kau baik-baik saja? Apa ada sesuatu yang salah?" tanya Rania hati-hati.

Alden mengangkat alis dengan seringai sinis di bibirnya.

"Ya. Tentu saja ada yang salah. Berkat kau semua hal terjadi dengan sangat salah." jawab Alden dingin.

Rania terbelalak terkejut dan bingung mendengar ucapan pria yang dia tahu bernama Diaz itu.

"A...apa maksudmu? Apa yang sudah kulakukan memangnya? Apa aku menyulitkanmu?" Rania bertanya dengan gugup dan bingung sama sekali.

"Kau harusnya sudah habis tadi." ucapnya datar

Rania tampak terkesiap dengan wajah gusar.

Alden terkekeh pelan dan melangkah mendekati Rania yang kini tampak pucat dan ketakutan.

"Kenapa wajahmu? Kau takut padaku?" tanya Alden datar

Rania membatu dengan lidah kelu. Dia merutuki kecerobohnnya. Dia begitu terpesona dengan keramahan pria tampan itu sebelumnya hingga mengabaikan fakta bahwa mungkin saja orang itu adalah penjahat yang berpura-pura baik untuk menarik korbannya.

Rania meremas bajunya gelisah. Dia berniat lari. Tapi situasinya yang ada ditengah keramaian tentu akan mempersulit niatnya.

Dan kemungkinan untuk Diaz menangkapnya jauh lebih mudah tentu saja.

"Ka..kau mau apa?" tanya Rania dengan suara bergetar.

Karena terlalu takut, kedua mata gadis itu berkaca-kaca dan mulai terisak pelan.

Alden mendengus kesal melihat gadis pembawa sialnya kini malah menangis di depannya.

Rania menangis semakin kencang. Kepanikan membuat gadis itu bahkan tak melihat tempat dan situasi di sekelilingnya.

"Jangan membuatku takuuut!" Rania menangis setengah histeris dengan tangan tak berhenti menarik-narik bajunya.

Alden membelalak panik melihatnya. Gadis itu menangis dengan suara keras yang cukup menjengkelkan.

Pria itu tak habis fikir, wanita ini msnangis seperti bocah.

Benar-benar membuat emosinya makin melesat ke ubun-ubun.

Alden menggertakkan giginya menahan marah, lalu dia melihat sekeliling dan mendapati orang-orang mulai menaruh perhatian dan tatapan menuduh kearahnya.

Brengsek!

Gadis sialan!

Alden tampak gelisah saat semakin banyak orang yang menatap gadis yang tengah meraung di depannya itu.

Tak punya pilihan, Alden lantas berjalan cepat kearah Rania dan merengkuhnya kedalam pelukan untuk menutupinya dari tatapan orang-orang.

Rania meronta dan histeris mencoba melepaskan diri dari pria itu.

Dia mulai memukul dan mendorong tubuh besar Alden yang melingkupinya.

Rania ketakutan. Dia jadi yakin pria itu bukan orang baik, dan dia sudah terkecoh sebelumnya.

Alden menggertakkan gigi menahan marahnya pada gadis itu. Dia mengeratkan pelukannya lebih karena kesal pada gadis itu.

"Apa gadis itu baik-baik saja?" tiba-tiba seorang wanita paruh baya bertanya dengan nada khawatir padanya.

Alden benar-benar kesal sekarang dan harus mati-matian menahannya.

Dengan terpaksa dia memutuskan untuk bersandiwara lagi.

"Ya. Kami sedang bertengkar, Mam. Tunanganku sedikit salah paham tentang seorang gadis." Alden menjawab wanita itu dengan wajah sendu yang sangat meyakinkan.

Si wanita mengangguk-ngangguk paham.

"Ah! Tentu saja. Haha.. Kurasa pantas kalau dia semarah itu padamu." jawab wanita itu sambil menepuk-nepuk pundak Alden yang masih memeluk Rania dengan sangat erat dengan maklum.

Alden tersenyum tak enak kearah wanita itu.

Setelah wanita itu pergi, dia menundukkan kepalanya dan berbisik pelan di telinga Rania.

"Diamlah! Atau kau kubunuh detik ini juga." desis Alden dengan tajam di telinganya.

Rania terkesiap dan terisak dengan suara tertahan. Tangannya yang gemetar mencengkram jaket hitam pria itu dengan erat.

Alden tersenyum sinis sekilas.

Tiba-tiba dia merasakan kedua tangan gadis itu bergerak perlahan.

Alden menyipit penuh antisipasi merasakan pergerakan gadis dalam dekapannya.

Dia bersiap-siap menerima serangan lagi dari gadis itu dan berniat akan langsung menghabisinya kalau dia berulah.

Namun gadis itu membuat Alden terkejut dan bingung saat merasakan tangan kecil gemetar itu kini justru melingkar di punggungnya perlahan-lahan.

Rania memeluknya dengan erat seakan tak mau terlepas dari dekapan Alden.

Alden tertegun dan merasakan seluruh tubuhnya meremang tiba-tiba.

Dia terdiam dan ikut tak bergerak saat Rania makin erat memeluknya.

"Kalau begitu, bisakah kau buat aku mati tanpa harus merasa terlalu sakit?" bisik gadis itu dengan suara gemetar.

Alden tersentak mendengar permintaan lirih gadis itu.

Gadis gila!

Alden melepas pelukannya dan mengangkat wajah Rania dengan kedua tangannya.

Dia melihat Rania yang tengah menatap kosong kearahnya.

Alden menatapnya lama dengan tatapan yang sedikit terlihat bingung.

"Kau harusnya memang sudah mati, perempuan sialan!" ucap Alden pelan namun tajam dan penuh emosi.

Rania tersenyum tipis kearahnya.

"Kalau begitu, kenapa aku masih bernafas?" tanya Rania pelan.

Alden tersenyum sinis kearahnya.

"Aku memang sangat ingin membunuhmu. Tapi sayangnya itu bukan tugasku." jawab Alden penuh penekanan.

Rania menatapnya dengan wajah mengernyit bingung.

Mereka masih berdiri berhadapan layaknya sepasang kekasih yang tengah membicarakan sesuatu yang pribadi tentang mereka.

Orang lain mungkin hanya akan berfikir bahwa si pria tengah membujuk wanitanya yang tengah merajuk. Padahal dua orang itu kini tengah berbincang serius tentang kematian si wanita.

Begitu pun Arial yang melihat sepupunya dengan murka karena malah terlihat sangat mesra dengan buruannya.

"Abraham sialan! Kau mau main kotor denganku?" geramnya.

Diamatinya lagi dua orang yang tengah berdekatan itu.

Tiba-tiba sebuah dugaan melintas di fikirannya.

"Ah! Tentu saja! Apa gadis itu milikmu?

"... Ini akan jadi perburuan yang menarik sepertinya." gumam Arial dengan mata licik dan sumringah.

***

Rania menatap bingung pada Alden.

"Bukan tugasmu? Apa ada orang lain?" tanya Rania pelan.

Alden terkekeh dengan binar kejam di matanya.

"Kau pasti mati." Alden menekankan.

Dia tersenyum sinis kearah gadis itu, sebelum melepaskan tangannya dari wajah Rania yang masih terdiam kaku.

Alden beranjak pergi dari hadapan gadis itu tanpa berniat menoleh lagi.

Baru saja beberapa langkah, sebuah tangan terasa menarik jaketnya.

Alden menoleh dan menaikkan alisnya dengan tatapan bertanya pada gadis itu.

"Apa?" tanyanya datar

"Bisakah kau saja yang membunuhku?" tanya Rania dengan mantap.

Alden sontak terbelalak. Dia tergagap beberapa detik sebelum kembali memasang wajah dingin di depan gadis itu.

Gadis gila!

"Apa kau sedang bersandiwara, Nona? Aku yakin setelah aku pergi kau akan lari terbirit-birit ke kantor polisi untuk meminta perlindungan" ejek Alden dengan sinis.

Rania menggeleng pelan.

"Tidak, kau bisa membawaku pergi kalau takut aku melapor. Atau kau bisa membunuhku disini secepatnya." jawab Rania ragu-ragu.

Alden terperangah mendengarnya. Baru kali ini dia bertemu orang yang malah terlihat pasrah dan justru senang saat mendengar dirinya akan dibunuh.

Alden menghentakkan tangannya yang dipegang Rania dan pergi tanpa memedulikan gadis itu lagi.

***

Alden masih berjalan saat melihat Arial berjalan melewatinya dari arah yang berlawanan dengan senyum sinis nan licik mengembang di wajahnya.

Sepupunya itu menoleh lalu menyeringai geli kearahnya.

Alden berhenti melangkah. Dia tertegun dan berdiri kaku.

Dengan sedikit tak yakin, dia berbalik untuk melihat arah tujuan sepupunya yang sudah jelas.

Dilihatnya Arial akan menghampiri gadis gila tadi yang kini masih berdiri dengan wajah sembab dan tatapan bingung.

Jantungnya berdebar cepat secara tiba-tiba saat melihat Arial mengeluarkan sesuatu dari jaketnya.

Alden tahu benda itu. Benda beracun sejenis dengan jarum kecil yang terjatuh di kereta tadi.

Tiba-tiba sekelebat rasa panik menyerangnya. Alden berdiri kaku dengan mata berkilat misterius.

Dia menatap Rania yang kini mendongak dan balik memandang kearahnya.

Lalu gadis itu tersenyum hampa kearahnya.

Hentakkan keras serasa memukul jantungnya saat Alden berfikir itu akan jadi senyum terakhir gadis itu setelah Arial berhasil membunuhnya kelak.

Sontak tubuhnya bergerak otomatis. Alden tiba-tiba saja setengah berlari dan mendorong Arial kearah samping hingga membentur tiang tembok di sebelahnya.

Arial terkesiap kaget saat merasakan dirinya terlempar dari arah tujuan seharusnya.

Dilihatnya Alden yang kini melihatnya dengan tatapan linglung sebelum melihat kearah gadis buruannya lagi.

Alden menggeram saat melihat Arial masih melihat kearah Rania dengan mata penuh rencana.

Pria itu lalu melangkah cepat dan menarik tangan Rania membawanya lari dari tempat itu tanpa berfikir.

Gadis itu ikut berlari dengan bingung. Ditatapnya tangan Alden yang menggenggam erat dan menarik tangannya tadi.

"Kenapa kita lari?" tanya Rania dengan nafas terengah-engah.

"Diamlah!" bentak Alden karena dia sendiri saja bingung kenapa membawa gadis yang seharusnya mati itu lari.

"Kau akan membawaku kemana?"

Alden melirik kesal kearahnya.

Benar, mereka akan kemana sebetulnya?

Fikiran pria yang selalu cerdas itu entah kenapa terasa buntu begitu saja saat ini.

Dia bahkan semakin kesal dan kebingungan kenapa dia malah membawa gadis ini lari dari kematian yang mungkin sudah dirancang saudaranya.

"Kau punya tujuan?" tanya Alden akhirnya.

Rania menggeleng lalu melihat kedepan.

"Bawa aku kemanapun kau mau." jawab gadis itu dengan napas yang putus-putus.

Alden menoleh cepat kearah gadis itu.

Fikirannya semakin kosong dan aneh saat ini. Bahkan niatnya untuk memikirkan rencana untuk membunuh targetnya malah jadi tak di ingatnya sama sekali.

Saat ini yang ada di kepalanya hanya bagaimana cara untuk membuat gadis sialan yang di genggamnya itu tidak mati hari ini.

"Kau bodoh. Bisa saja aku seorang pembunuh." ucap Alden bingung.

Rania tertawa pelan.

"Tak masalah. Berarti takdirku untuk mati ditanganmu." jawabnya tak peduli.

Alden terdiam menatap gadis itu dengan mata tak terbaca.

"Dasar gadis gila!" umpatnya marah.

Rania terbahak pelan, lalu mengangguk.

"Ya, mungkin saja. Dan kau sudah membawa gadis gila ini untuk lari bersamamu."

Tbc...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!