Tok tok tok
"Permisi pak Hasan."
Seorang gadis melangkah hati-hati masuk ke dalam ruangan pimpinan perusahaan tempatnya bekerja. Baru saja ia mendapatkan telpon untuk segera menghadap sang atasan.
"Oh..Venus, silahkan duduk!" Mengikuti perintah atasannya, dengan ragu gadis itu duduk di kursi yang sudah tersedia di depan meja kerja lelaki paruh baya yang tadi dipanggilnya dengan sebutan pak Hasan.
Gadis manis berperawakan kecil khas perempuan Asia pada umumnya itu meremas cemas kedua tangannya yang bertautan di atas pangkuannya.
"Maaf pak, ada apa yah memanggil saya ke sini?" Dengan ragu Venus memberanikan diri menyuarakan isi kepalanya yang sejak tadi berputar-putar seperti gasing sejak pertama dirinya diberi tahu oleh sekertaris pimpinan perusahaan untuk segera menghadap.
Bukan karena apa, masalahnya, ini adalah pertama kali baginya dipanggil secara pribadi menghadap pimpinan selama hampir 4 tahun dirinya mengabdi di perusahaan tempatnya bekerja.
"Apa sekertaris saya belum memberitahu kamu maksud saya memanggil kamu ke sini?" Tanya pak Hasal yang mata dan tangannya masih fokus pada layar 11 inch di hadapannya.
Venus menggeleng.
Pak Hasan kemudian menghentikan kesibukannya dan membuka kacamatanya memilih fokus pada Venus.
"Baiklah... ini..." Sebuah amplop coklat disodorkan ke hadapan Venus.
"Mulai minggu depan kamu akan bergabung dengan kantor pusat, jadi persiapkan diri kamu sesegera mungkin karena 2 hari lagi kamu akan diberangkatkan ke Jakarta. Itu adalah surat penugasan kamu!" Ucap pak Hasan menjelaskan.
"Ma..maksud bapak saya dimutasi? Ke..ke Jakarta, pak?" Venus masih shock mendengar penuturan atasannya itu.
Jakarta.. satu nama kota yang sudah lama ia kubur di dalam memorinya bersamaan saat langkahnya meninggalkan kota tersebut.
"Iya, kenapa? Apa kamu keberatan? Bukankah semua karyawan seperti kalian ini punya cita-cita yang sama yaitu bekerja di ibukota negara ini?" Tanya pak Hasan mengerutkan kedua alisnya. Tampak jelas raut keberatan di wajah Venus.
Venus menggeleng.
"Baik pak, akan saya pertimbangkan."
Brakkkk... pak Hasan langsung menggebrak meja.
"Venus Aerglo Sanjaya! Ini perintah, bukan tawaran yang bisa kamu pertimbangkan!" Geram pak Hasan. Ia tidak mau menerima kata penolakan karena penugasan Venus ke kantor pusat adalah perintah langsung oleh pimpinan tertinggi perusahaan ini. Ia tidak ingin dianggap tidak mampu menangani satu orang karyawannya jika sampai Venus menolak.
"Baik pak, baik. Sesuai perintah saya akan segera bersiap-siap!"
Tak ada perlawanan lagi dari mulut Venus. Ia sadar akan tugas dan kewajibannya sebagai karyawan di perusahaan ini.
Mungkin sudah jalan takdirnya seperti ini. Sekuat apa dirinya menolak untuk kembali ke kota itu namun takdir justru mendorongnya dengan keras agar segera kembali ke sana.
*****
"Apa kamu sudah siap, sayang?"
Tanya seorang perempuan paruh baya yang telah menggantikan peran ibu dan ayahku kurang lebih 15 tahun terakhir ini. Meskipun usianya telah termakan waktu, namun gurat kecantikannya masih tercetak sempurna menghiasi wajah teduhnya, pancaran kasih sayang dari tatapannya begitu menghangatkan.
"Iya bunda, InsyaaAllah aku udah siap. Terima kasih untuk segalanya selama ini!"
Ah, aku selalu tidak bisa menahan laju air mataku setiap kali mengingat kebaikan perempuan yang ada di dalam pelukanku saat ini. Beliau telah membaktikan seluruh jiwa raganya untuk melindungi dan membesarkan anak sahabatnya yang telah sebatang kara ini.
"Bunda yang berterima kasih, hmmm." Selalu seperti itu katanya setiap kali aku berterima kasih kepadanya. Entah sedekat dan sekuat apa hubungannya dengan ayah dan ibuku di masa lalu hingga beliau bisa memberiku cinta dan kasih sayang yang begitu besar semenjak hidup tanpa kedua orang tuaku.
Aku hanya bisa kembali mengeratkan pelukanku di tubuhnya, mengeja setiap aksara yang terbaca dari setiap dekapan kasih sayangnya.
"Apa bunda yakin tidak ingin ikut bersamaku? Aku takut jika harus sendiri di sana." Tanyaku lagi setelah mengurai pelukan kami. Rasanya berat meninggalkannya setelah begitu banyak hal yang beliau korbankan untukku sehingga bisa seperti sekarang ini.
Bunda Aisyah menggeleng lalu menyeka air mata yang sedari tadi menganak sungai di pipinya.
"Tugas bunda sudah selesai, sayang. Kini sudah waktunya kamu kembali mengambil kehidupan kamu yang telah mereka rampas dengan paksa. Ini bukan tentang balas dendam, tapi ini adalah tentang mengembalikan sesuatu pada tempat yang seharusnya. Apa kamu mengerti?" Ada cairan bening yang menggenangi wajah keriputnya.
Aku mengangguk pasti, sudah menjadi tugas dan kewajibanku untuk mengambil kembali apa yang telah menjadi hakku. Sudah terlalu lama aku bersembunyi di sini. Dan sekarang sudah waktunya untuk kembali setelah berjuang bertahun-tahun mendapatkan kepercayaaan dari kantor cabang tempatku bekerja untuk terpilih menjadi satu yang beruntung ditarik ke kantor pusat, tempat di mana diriku seharusnya berada. Bukan sebagai karyawan biasa, akan tetapi sebagai pemilik perusahaan tersebut.
"Iya bunda, aku mengerti. Doakan aku agar jalannya terbuka dan apa yang kita rencanakan menemui hasil yang sebagaimana kita semua harapkan."
"Aamiin... doa bunda selalu menyertai setiap langkahmu. Ingat, kamu harus berhati-hati, jangan gegabah mengambil langkah. Pelan-pelan saja, kenali musuh kamu secara mendalam. Meski informasi dari informan kita di sana sudah detail, akan tetapi kita harus tetap menyisakan ruang ketidak pastian agar selalu waspada."
Betul apa yang dikatakan bunda Aisyah, belajar dari kesalahan ayah di masa lalu, terlalu percaya diri, terlalu percaya dengan orang-orang yang ada di sisinya hingga beliau menutup mata terhadap kesalahan orang-orang terdekatnya. Berprasangka baik kepada semua orang itu memang perlu, tetapi bukan berarti kita abai dengan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa kapan saja menghampiri.
"Dan satu lagi..." bunda Aisyah kembali bersuara, "Samudera Biru masih dinyatakan hilang ingatan hingga detik ini, dia sama sekali tidak bisa mengingat semua kejadian sebelum tragedi bet bola pimpong itu, jadi jangan sampai rasa bersalahmu kepadanya merusak semua rencana kita. Karena melalui dirinyalah kamu akan bertemu dengan musuhmu yang sesungguhnya."
Aku mengangguk paham.
"Aku akan melakukan yang terbaik semampuku, bunda. Demi ayah dan ibuku. Aku berjanji akan memberikan keadilan buat mereka." Tegas tanpa ragu, janji itu selalu terpatri di setiap helaan nafasku.
"Ini sudah larut, istirahatlah."
"Iya, ini tinggal dikit lagi kok, bunda!" Ucapku sembari merapikan beberapa barang-barang ke dalam koper yang akan kubawa pergi ke Jakarta.
Tak banyak barang bawaanku, hanya beberapa pasang pakaian kantor dan rumah juga semua berkas-berkas penting yang akan menunjang pekerjaan dan tunjanku berada di sana.
Aku memang hanya perlu membawa diriku saja ke sana, karena dari informasi yang kudapatkan di kantor, semua fasilitas kehidupanku di sana akan ditanggung oleh perusahaan, mulai dari tempat tinggal, kendaraan operasional dan termasuk biaya hidup.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Dewi Puspita Sari
okke....masih permulaan...lanjuuuut....
2022-10-21
0