Jadilah sabar saat orang lain mengeluh padamu. Walau, hidupmu tidak lebih indah dan dirimu tidak lebih kuat dari mereka.
***
Tokk ... Tokk ... Tokk ...
Devita mengetuk pintu ruangan Kia. Tanpa di persilahkan, dia langsung masuk begitu saja untuk menemui Kia yang emosinya masih meradang.
"Aku cuma mau memberitahumu. Jangan lupa untuk menjemput Zayn nanti sore ya, Kia." pinta Devita yang sebenarnya merasa tidak enak. Tapi ini adalah janji yang dia sudah ucapkan pada putra nya tadi pagi.
"Apa kamu sibuk?" tanya Kia menatap Vita.
"Enggak, kok. Ada apa, Kia?" Vita balas bertanya.
"Temani aku istirahat sebentar, yuk." pinta Kia yang mulai mereda emosinya.
"Baik, ayo berangkat." ajak Vita.
Mereka pun berangkat menuju cafe terdekat dari perusahaan. Sesampainya di sana, Kia dan Vita memesan dua gelas coklat panas kesukaan mereka berdua.
"Bagaimana aku nggak marah Vit. Dia mengutarakan pemikirannya sesuka hati. Mengatakan ini dan itu tanpa mempertimbangkan apa yang akan terjadi ke depannya. Itu seperti cara awal merusak citra perusahaanku tau tidak?" ungkap Kia setelah menyesap minuman favoritnya itu.
"Perusahaanmu? Bukannya itu milik kalian bersama?" tegur Vita.
"Ya, memang perusahaanku lah. Kan perusahaan itu milik mendiang ayahku. Ya sudah sewajarnya kalau itu menjadi milikku. Apalagi aku ini anak tunggal." Kia menyela.
"Begini, Kia. Dia itu partner di rumah tangga dan dunia kerjamu. Bukannya dia punya hak untuk memberi masukkan dan pendapat pada urusan perusahaanmu?" ujar Vita berusaha membenarkan jalan pikiran Kia.
"Ya harusnya dia tanya pendapatku dulu dong. Kalau dia benar, ya lanjut tapi kalau salah kan bisa di perbaiki. Daripada nanti malah di anggap lelucon sama klien 'kan nggak lucu." keluh Kia yang tak dapat menahan emosi.
"Tapi cara menegurmu tadi salah, Kia. Seharusnya kamu menegurnya jangan di hadapan orang. Itu sama aja kamu mempermalukan dia di depan umum." lirih Vita sambil mengaduk minumannya dengan sedotan.
"Dia malu, lalu bagaimana denganku? Bagaimana dengan martabat dan harga diriku sebagai pemimpin? Apa kamu kira aku tenang memarahi suamiku di depan orang? Aku berusaha tenang, tapi memang dia yang suka memprovokasiku. Harusnya dia bersyukur, bisa bekerja di perusahaanku tanpa persyaratan apapun, bahkan bisa memegang saham atas namanya sendiri. Dan kamu lihat, dia seperti menganggap perusahaan ini seperti miliknya." jelas Kia panjang lebar mengeluarkan isi hatinya.
"Baik. Aku mengerti. Maaf karena terlalu ikut campur." ujar Vita memijit pelan pelipisnya. Tak akan ada habisnya jika memberi Kia nasehat, yang ada malah mendapat sanggahan.
"Tidak apa-apa. Aku justru malah takut, kamu akan menganggapku banyak bicara. Ya, kamu tau kan kalau aku sedang emosi, aku akan banyak bicara untuk mengurangi beban di hatiku." tutur Kia, jujur.
Vita hanya menanggapi dengan tersenyum, lalu beberapa saat kembali bersuara. "Setelah pulang nanti, ingatlah untuk menghiburnya. Terlalu banyak masalah yang terjadi diantara kalian. Seburuk apapun sifatnya, ingat dia itu tetap suamimu. Nggak mau kan di laknat sama malaikat karena mendzolimi suami sendiri?" Vita memberi nasihat dan di angguki oleh Kia walau dia benci dengan dalil yang mengatakan tunduk pada suami.
Kia hanya tak suka pada argumen orang banyak yang mengatakan walau suami yang membuat masalah, istri harus tetap tunduk dan tak memperpanjang masalah. Baginya, perempuan dan laki-laki itu sederajat, tidak perduli dari segi manapun bahkan dalam rumah tangga.
***
Hari sudah sangat sore, sementara di sekolah seorang anak laki-laki sedang menunggu jemputan yang tak kunjung datang.
Zayn duduk di depan pagar sekolah dengan memeluk lututnya. Ada rasa lelah yang tak bisa dia tahan hingga tak terasa matanya mulai mengembun.
Tak lama kemudian, sebuah mobil putih berhenti tepat di depannya. Awalnya Zayn tersenyum namun segera merengut saat wanita yang ada di hadapannya bukan lah orang yang di inginkannya.
"Maaf, aunty terlambat jemput Zayn hari ini." Vita hendak mengelus pucuk kepala Zayn, namun langsung di tepis oleh Zayn.
"Mama mana? Bukannya Mama tadi janji akan menjemput Zayn dan makan es krim bersama?" tanya Zayn dengan raut wajah kecewa.
"Maaf, Zayn. Mama lagi sibuk banget hari ini. Kerjaan kantor menumpuk katanya. Jadi nggak bisa jemput Zayn deh. Tapi Aunty kan lagi nggak sibuk, biar Aunty yang traktir makan es krim." Devita membujuk Zayn.
"Mama pembohong!" Zayn berdiri kemudian masuk ke dalam mobil dengan kasar dia membanting pintu mobil. Terlihat sekali bagaimana kecewanya Zayn.
Devita menghela nafas, ikut masuk ke dalam mobil dan mulai memacu mobilnya menuju rumah Zayn. Berusaha membujuk pun tak ada gunanya jika Zayn sudah marah dan kecewa pada orang tuanya.
Sesampainya di rumah, Zayn berlari meninggalkan Devita yang berusaha mengejarnya karena tas ransel milik Zayn tertinggal dalam mobil.
"Assalamualaikum." Vita memberi salam sebelum masuk. Tak ada jawaban dari pemilik rumah membuatnya canggung lalu menaruh tas di gagang pintu.
Ketika hendak meninggalkan, Ismail baru saja datang dan langsung bertanya, "Di mana Zayn? Apa dia sudah pulang?" tanyanya karena tidak melihat Zayn bersamanya.
"Oh, Zayn sudah masuk. Mungkin sekarang lagi ada di kamarnya." sahut Vita.
"Oh, tumben nggak masuk sama-sama. Apa dia lagi bermasalah?" tanya Ismail lagi, tanpa mempersilahkan Vita untuk masuk.
"Enggak. Dia lagi kesal aja dengan mamanya. Soalnya Kia nggak jadi jemput Zayn, padahal Zayn pengen banget makan es krim sama Kia. Tapi ya mau gimana lagi, Kia sibuk di kantor katanya lagi banyak kerjaan dan membuat proposal." jelas Vita sambil menunduk tak enak.
"Sepertinya kejadian tadi itu memang salahku." Ismail menghela nafas, pandangannya menerawang jauh di angkasa. Ada terbesit rasa lelah dalam hatinya.
Devita merasa bingung, ingin menghibur Ismail namun dirinya sadar akan posisinya di sini sebagai tamu. Dan Ismail adalah suami sahabatnya, Kia.
"Oh iya, kalau kamu nggak sibuk, ajak Zayn makan es krim, ya. Kasihan dia sudah di beri janji tapi di abaikan. Kalau bukan Kia, siapa lagi kalau bukan kamu yang membawanya." usul Vita kemudian berbalik akan pergi.
"Tunggu, Vita. Aku ingin bicara sebentar." Ismail menahan kepergian Vita.
"Ya, silahkan. Katakan sekarang, aku lelah berdiri." sindir Vita membuat Ismail menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Maaf, silahkan duduk." Ismail mempersilahkan Via duduk di kursi teras rumahnya.
"Jadi begini, mengenai apa yang kamu lihat di kantor, aku harap kamu ... " belum sempat menyelesaikan perkataannya, Vita memotong terlebih dahulu.
"Mail, nggak usah menganggapku seperti itu. Aku paham apa yang terjadi. Bukannya Kia orangnya memang begitu, 'kan? Justru aku yang harusnya bilang ke kamu. Apapun yang terjadi, Kia tetap istrimu. Maklumi segala sifatnya dia." Vita memberi nasihat.
"Memaklumi, katamu? Mau sampai kapan, Vit? Dia nggak akan pernah berubah. Sudah berkali-kali dia memperlakukan aku sesuka hatinya. Dia nggak pernah menghormatiku sebagai suami." keluh Ismail.
"Aku cuma bisa memberi saran. Sisanya, kalian diskusikan dengan kepala dingin. Kalau begitu, aku pergi dulu." Vita memutuskan untuk pamit dan di angguki oleh Ismail yang moodnya belum membaik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Siti Sarfiah
waduh bingung dengan kehidupan mereka
2022-08-14
7