*Kelak kamu akan merasa bahwa bermodalkan cinta saja tidak cukup untuk hidup bersama*.
***
Di ruang rapat yang terdiri dari beberapa klien dan beberapa pemegang saham. Rapat sore ini di pimpin oleh Ismail.
"Dari hasil yang bisa saya katakan, bahwa proyek kerja sama dengan perusahaan yang berada di Sulawesi merupakan satu-satunya proyek terbesar di Indonesia, jadi saya memutuskan untuk memperluas wilayah di sana." jelas Ismail dalam sesi rapatnya sore ini.
"Benarkah kalau di sana termasuk daerah proyek terbesar, Pak Ismail? Kau ingin memperluas wilayah?" tanya Faisal yang merupakan salah satu pemegang saham sekaligus paman Zaskia.
"Ya. Selain itu, kita bisa membangun cabang perusahaan baru di sana. Dengan adanya banyak sumber daya, kita bahkan bisa menambah kuantitas produksi." tukas Ismail dengan mantap.
"Tunggu. Lalu bagaimana dengan penduduk setempat yang sudah pasti memerlukan sumber daya yang ada?" balas Faisal merasa kurang setuju.
"Pertanyaan bagus, Pak Faisal. Anda jngan khawatir soal ini. Kita membuat rencana ini juga dengan mempertimbangkan banyak hal, jadi saya juga sudah punya solusi." sahut Ismail dengan berani. Menjeda dengan menghela nafas terlebih dahulu.
"Untuk mengisi pekerja di perusahaan cabang baru, kita memerlukan banyak orang. Jadi solusinya adalah membuka lapangan pekerjaan khusus untuk penduduk sekitar. Otomatis, kita saling memerlukan, kita memerlukan mereka dan begitu pula sebaliknya." tambahnya.
"Tunggu. Ini masalahnya, Pak Ismail. Bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki riwayat pendidikan? Apa anda mengira bisa semua orang dengan mudahnya masuk. Jika masyarakat setempat kebanyakan orang yang tidak mendapat pendidikan, tidakkah menurutmu mereka terima begitu saja menjadi buruh, apalagi orang yang sudah tua renta." sanggah Faisal.
"Ya, kita perlu membahasnya juga. Emm ... " kilah Ismail mendadak bingung.
"Jadi, apa menurutmu ini sebuah proyek jangka panjang yang baik? Kita orang Indonesia, Pak Ismail. Yang berada di budaya yang berbeda dan pola pikir yang berbeda. Jika perusahaan asing membuka perusahaan tanpa memikirkan warga negara kita. Harusnya kita sebagai penduduk tanah air lebih memikirkan saudara setanah air pula." tolak Faisal secara halus.
"Begini, Pak Faisal. Jika bukan kita yang memulai, apakah anda ingin melihat perusahaan asing yang membangun di sana?" emosi Ismail mulai tersulut.
"Baik. Apa Zaskia tahu soal rancangan proyek ini?" tanya Faisal.
"Tidak! Aku nggak tahu apa-apa soal proyek yang dia ajukan!" sanggah Zaskia saat dirinya saja tiba di ruangan khusus rapat tersebut.
Seketika hawa ruang rapat terasa mencekam. Menyadari itu, Faisal pun membubarkan rapat. Pihak lain merasa kurang puas karena pulang tanpa kejelasan.
"Paman, aku benar-benar minta maaf karena aku memang nggak tau akan ada presentasi tentang proyek baru hari ini dari pihak kita. Yang aku tau soal memperpanjang kontrak kerja sama. Kalau aku tau seperti ini jadinya, aku akan membatalkan semua janjiku dengan yang lain dan fokus dengan rapat ini." jelas Kia kepada Faisal.
"Tidak apa-apa, Kia. Dari sudut pandangku proyek yang di kemukakan oleh Ismail sudah bagus, hanya saja dia terlalu ambisius dan kurang pemahaman lebih untuk menangani suatu masalah." keluh Faisal kepada Kia.
"Ya. Benar sekali, Paman. Itu sebabnya, bolehkah Paman memberiki waktu untuk memperbaiki proposalnya lalu aku akan meminta pendapatmu lagi?" Kia meyakinkan. Bagaimanapun juga perusahaan ini adalah tanggung jawabnya.
"Kia, oh Kia. Jika bukan karena menghargai kebaikan mendiang ayahmu, aku tidak akan mentoleransi. Namun karena banyak bantuan yang beliau berikan padaku, aku akan membayarnya dengan membantumu." Faisal menyambut permintaan Kia.
Kia mengangguk, "Terima kasih, Paman. Aku berjanji akan membuat proyek yang benar dan segera mewujudkannya."
"Sudahlah, dia terlihat sangat marah sekarang. Bujuk dia agar masalah tidak semakin bertambah panjang." saran Faisal saat melihat Ismail yang terus memijat pelipis sementara tangan lainnya mengepal kuat.
"Tidak apa-apa. Dia akan baik-baik saja." Kia menampik.
"Baiklah kalau begitu. Aku ada janji lain yang mengharuskan untuk pergi. Setelah memperbaiki proposalnya, ingat hubungi aku. Aku pergi dulu." Faisal pun pamit.
"Baik, Paman. Be careful." Kia memandang pamannya pergi setelah itu segera masuk ke dalam ruangan Ismail dengan rasa emosi.
"Ismail!" teriak Kia tanpa memandang sekeliling yang menatapnya dengan takut.
"Ada apa denganmu hah? Kenapa kamu melakukan presentasi tanpaku? Apa kamu tau, proyek ini penting untukku! Kamu pikir aku hanya pajangan di perusahaan ini?" hardiknya. Emosi Kia yang sudah pada puncaknya.
"Kenapa aku yang salah? Aku sudah mengingatkanmu 'kan, kamu yang nggak dengar." sela Ismail tak terima di salahkan.
"Kapan? Aku pasti ingat kalau kamu bilang ada rapat. Kalau aku tau, aku mungkin akan membatalkan janji dengan yang lain. Sekarang, sampai aku yang harus memperbaiki semuanya. Ide yang nggak masuk akal pun kamu presentasikan!" dalih Kia merasa tak mendengar, padahal sebelumnya Ismail memang sudah mengingatkannya.
"Oh, begitu rupanya. Tidak masuk akal, ya?" Ismail bangkit dari tempat duduknya lalu menghentakkan kaki dan membanting pintu menjauhi Zaskia.
"Ismail!" teriak Kia tapi tak di hiraukan, terus saja Ismail melangkahkan kakinya ingin pergi menenangkah hatinya yang tidak baik-baik saja.
"Ismail! Aku ini lagi bicara denganmu!" pekik Kia sambil mengejar.
"Apa!" Ismail berbalik dan balas membentak Kia.
"Dasar orang sok pintar, tidak tahu malu. Lain kali, tanyakan pendapat orang lain terlebih dahulu. Mengerti? Ini bukan perusahaanmu. Ini perusahaan ayahku, aku CEO-nya di sini, jadi jangan bersikap semaunya!" sindir Kia, yang lupa diri bahwa dirinya juga bersalah.
Perdebatan itu pun mengundang partisipasi pemilik mata dan telinga dalam ruangan tersebut hingga menjadi tontonan gratis seluruh penghuni seisi kantor.
"Hahaha. Jadi begini caramu memperlakukanku di depan banyak orang? Kamu lupa, aku ini suamimu!" tantang Ismail sambil menggelengkan kepala tak mengerti sikap istrinya itu. Dia pun meninggalkan Kia yang masih mengendalikan amarah.
"Setelah ini. Jangan lakukan apapun sendirian!" teriak Kia walau Ismail sudak tidak terlihat lagi.
Devita yang baru saja tiba di kantor pun melihat dua orang yang sedang bertengkar hebat itu. Bingung antara membujuk Ismail atau Kia karena dua-duanya sama-sama orang penting dalam hidupnya. Mereka yang bersahabat semenjak masuk kuliah hingga sekarang.
"Dan kalian, jangan ikut-ikutan memberi ide apapun untuk perusahaan, kecuali aku yang memberi dan menyetujui." cetus Kia dan di angguki oleh mereka yang mendengar.
"Hari ini kalian semua harus lembur untuk memperbaiki proposal tadi. Mengerti semua?" titah Kia tanpa memikirkan karyawannya yang juga punya urusan pribadi di luar sana.
"Mengerti, Ibu Kia." sahut mereka patuh, takut mendapat amukkan dari atasannya itu.
Kia masuk ke dalam ruangannya dengan dada yang masih naik turun karen emosinya belum mereda. Hingga Devita masuk pun, Kia tak begitu menghiraukannya. Sungguh, kegiatan yang menguras tenaga.
Kia adalah seorang pemimpin yang tidak suka jika bawahan melakukan sesuatu tanpa persetujuan darinya. Namun dia juga tidak sadar akan sifatnya yang suka lalai dalam banyak hal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Farida Handayani
Jadi emosi sama dua dua nyaa ihhh mau tak Geprek
2022-08-27
1