Terima Kasih Iwan

Episode 04

Beberapa menit kemudian Arna membuka pelan matanya menatap sinar silau dari langit-langit. Ia memegang ubun-ubunnya yang masih terasa pusing, tanpa sadar tangannya terpasang jarum infus ia kaget dimanakah ia berbaring antara puskesmas atau ruang rumah sakit. Mas udin masuk keruang dan segera mendekati Arna yang sudah sadar.

"Dik.." Ucap mas udin cemas

"Mas Aku dimana?" Tanya Arna yang masih berbaring diranjang.

"Kamu dirumah sakit" Jawab mas udin.

Arna menengok tulisan ditengah pintu rumah sakit ternyata ia berada diruang UGD. Kedua sahabatnya tak terlihat diruangan, mas udin memberi tahu mereka sudah pulang duluan.

"Sebelum mereka pulang, mereka sampaikan salam dan doa semoga kamu cepat pulih seperti biasa. Mereka pulang duluan karena kamu pingsan sudah satu setengah jam. Mereka akan membesuk kamu nantinya."

"Kenapa aku harus dibawa kesini mas.. Tau kan rumah sakit tidak sedikit biaya yang dikeluarkan. Aku mau pulang" Arna memelas dengan mata ber kaca-kaca.

"Kamu terlalu lemah dik, kata dokter tensi kamu rendah. Jadi kamu dirawat beberapa hari saja. Sabar ya"

"Kalau biaya perawatan rumah sakit ini mahal, bagaimana mas." Tanya Arna berusaha bangkit perlahan dan menyandarkan punggungnya.

"Alhamdulillah ada seseorang yang tanggung seluruh biayanya dia juga yang membopong dan mengantar kamu kesini, jadi kamu tidak usah khawatir ya dik. Lebih baik kamu istirahat dulu." Tutur mas udin sambil mengelus kepala Arna.

"Siapa dia mas"

"Terus terang mas juga tidak kenal. Dia mungkin pelanggan yang baru saja masuk." Jawab mas udin dan duduk di kursi dekat dengan ranjang.

"Maaf ya mas, gara-gara aku semua pelanggan mas pada bubar" Kata Arna dengan ekspresi sedih

"Huss.. Kamu tidak salah, walaupun semua berhamburan mereka tetap membayar. Kecuali laki-laki yang membopong kamu dia gak jadi memesan."

Pintu diketuk oleh seseorang lalu masuk rupanya ibu. Ibu dengan cepat menghampiri Arna dengan ekspresi cemas

"Ya Allah nak, apa sudah baik-baik sekarang?" Tanya ibu cemas sambil memijat-mijat pelan kaki Arna.

Sebetulnya Arna tak ingin ibunya membesuk dan tak perlu diberitahu karena Arna jarang mengeluhkan apapun kejadian yang menimpanya, bahkan walau setetes air mata pun Arna jarang menampakkannya pada ibu.

Mas udin menyalami telapak tangan ibu dan menjelaskan keterangan dokter tentang kondisi Arna.

"Tensi Arna rendah bu, Arna terdeteksi cukup lesu dan dehidrasi. Jadi saran dokter dik Arna dirawat untuk beberapa hari"

"Ya Allah. Terus berapa biayanya kata dokter" Tanya ibu sambil mengelus dada.

"Saya tidak tahu bu, tapi sudah ada orang baik yang menanggung biayanya. Jadi tidak perlu khawatir."

Ibu pun bersyukur mendengarnya. Mas udin pamit untuk pulang. Arna masih membayangi siapa gerangan yang mengangkatnya saat masih terkapar dilantai. Matanya sekilas melihat hanya bagian leher pria itu memakai hoodie coklat walau pandangannya kabur seketika dan terpejam. Ibu masuk membawa mangkuk dengan uap-uap yang keluar.

"Makan dulu, nak. Ini bubur ayam" Ibu mengaduk-aduk mangkuk berisi bubur yang masing hangat.

Ibu menyuapi Arna sedikit demi sedikit. Rasa lelah, kram dan lemas menjalar ditubuh Arna. Isi kepalanya pun berputar bagai roda, terasa pusing sekali.

"Lain kali kerjanya jangan lembur-lembur sampai lupa waktu makan dan istirahat. Sejak beberapa minggu ibu mendengar suara kertas dan laptop kamu hampir tidak pernah berhenti sampai jam satu malam. Kerja penting, kesehatan lebih penting kalau gak sehat gimana bisa kerja." Ibu menegur halus sambil memasukkan sendok bubur kemulut Arna.

Arna hanya diam, sudah sepantasnya kena teguran sebab teguran adalah jam emas pengingat bagi Arna agar lebih membagi waktu antara kerja, makan dan beristirahat.

Arna berusaha konsentrasi memejamkan matanya namun belum juga bisa karena tidak terbiasa dengan yang namanya rumah sakit. Tiba-tiba terlintas dalam fikirannya, siapa pria yang membopongnya tadi.

Selang dua hari Arna dirawat di rumah sakit, ia sudah diperbolehkan pulang. Ibu membawa tas berisi pakaian sambil mengenggam tangan Arna yang masih berjalan gontai. Iwan muncul keluar dari mobil Avanza hitam menghampiri Arna dan membantu menuntun langkahnya lalu membuka pintu mobil untuk dimasuki Arna.

Sesampainya dirumah, Arna duduk di kursi sofa ruang tamu sementara iwan berdiri.

"Terima kasih ya, iwan" Ucap Arna lembut

"Sama-sama Kak. Semoga lekas pulih."

"Kamu gak pergi kerja hari ini?"

"Saya izin cuti kak. Hari ini saya pulang kampung ke cilacap buat hadir diacara pernikahan kakak saya."

Tiba-tiba ibu muncul dengan langkah tergesa-gesa membawa nampan berisi gelas teh hangat.

"Duduk dulu, minum tehnya" Ucap ibu pada iwan sambil meletakkan gelas teh diatas meja, tak lama kemudian kembali menuju dapur.

Iwan duduk disamping Arna dan meminum habis teh.

Arna melebarkan bola matanya

"Haus banget ya?" Tanya Arna.

"Hehe tidak juga kak. Saya buru-buru pulang soalnya sebentar lagi berangkat ke stasiun KRL, keluarga juga pasti sudah menunggu." Iwan menjawab sembari berdiri.

"Saya permisi dulu ya kak, Terima kasih juga sudah menyuguhkan teh." Ucap iwan hendak berpamitan

"Oh iya sekali lagi Terima kasih banyak"

Setelah menjawabnya ucapan Arna, iwan bergegas pergi dengan mobil Avanza yang ia sewa. Ibu muncul lagi membawa piring kecil berisi kue khas jawa.

"Lho kemana itu cowok tadi?" Tanya ibu bingung

"Sudah pulang bu, katanya buru-buru karena mau pulkam."

"Ohh.. Cowok itu belum pernah ibu lihat pake mata kepala ibu sendiri. Kok tumben mau jemput kita. Dia siapa sih?" Tanya ibu serius

Semalam dan hari ini Arna merasa aneh dengan sikap ibu. Maklum ibu pengennya punya mantu kan.

"Itu teman aku satu kantor. Cuman berbeda berprofesi saja." Jawab Arna santai sembari memakakan kue.

"Profesinya apa?"

"Barista"

"Oohhh" Sahut ibu sambil ikut memakan kue.

Disudut jendela ruang tamu. Arna termenung membayangi siapa jodohnya yang sebenarnya atau minimal siapakah yang tertarik padanya. Belum ada lelaki yang tertarik atau mengutarakan cinta pada Arna wajar jika belum ada karena hatinya belum siap mencari pendamping dan tidak menaruh harapan agar ada lelaki tertarik kepadanya. tapi untuk kali ini harus memaksakan diri untuk siap demi membahagiakan ibunya yang memiliki harapan besar yaitu Arna menikah.

Sudah lama Arna akrab dengan iwan, ia menganggap iwan temannya untuk berbagi cerita. Konon katanya teman akrab menyimpan rasa suka orang yang telah lama akrab dengannya walau sebatas teman dekat. Namun Arna tidak pernah memendam rasa suka pada iwan, selain teman Arna juga menganggap iwan adalah adiknya karena usianya selisih jauh tiga tahun dengan usia iwan. Dan tidak mungkin adik seperti iwan ingin menjadi berondong menikahi wanita yang lebih tua darinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!