•
•
•
"Iya, Bu. Aku disini baik-baik saja."
"Kalau ada waktu, aku akan pulang, Bu."
"Mas Tian, dia ... baik. Dia memperlakukan aku sangat baik."
"Aku bahagia, Bu. Ibu doain aja ya?"
"Aku sayang Ibu. Aku rindu Ibu."
Ku remas ponselku dengan kuat dalam genggaman saat sambungan telepon itu sudah terputus. Aku menangis dalam diam. Menyalahkan diri sendiri karena telah berkata tak jujur pada Ibuku. Aku berbohong, dan untuk pertama kalinya pula aku telah membohongi Ibuku sendiri.
Aku tak sanggup melihat wajah Ibuku nanti, saat beliau mengetahui bahwa pernikahan antara aku dan Tian akan segera berakhir, lebih lagi ketika ia tahu kalau putrinya akan menjadi seorang janda. Aku tak bisa melihat wajah teduh itu bersedih. Sungguh, aku tak sanggup.
Tapi aku tak punya pilihan lain selain berpisah. Aku tak mau kehadiranku di rumah ini hanya menjadi penghalang untuk Tian. Aku tak mau lelaki itu semakin membenciku. Padahal, pernikahan ini bukan sepenuhnya atas keinginanku atau keinginan kedua orang tuaku. Tetapi pernikahan ini terjadi karena keinginan dari Papa dan Mamanya sendiri. Kalau Tian lupa.
Hampir dua bulan kami menikah, dan selama itu pula aku simpan rasa sakit ini sendirian. Aku terima bagaimana cara lelaki itu memperlakukan aku selama ini. Di balik sikapnya yang dingin, tapi Tian tak pernah lupa untuk menafkahiku secara lahir, ia selalu memberiku uang bulanan. Itupun selalu tanpa sepengetahuanku. Lagi, Mbok Iyam lah yang selalu menyimpan amplop berisi uang itu di atas meja nakas di dalam kamarku. Aku berusaha menguatkan diri agar bisa mempertahankan pernikahan ini setidaknya sampai satu tahun kedepan. Tapi sebelum satu tahun itu, sepertinya aku sudah kalah.
"Maafin aku, Bu."
Batinku menjerit. Ku remas dengan kuat dadaku yang terasa sesak. Aku tak tahu kenapa aku bisa menjadi lemah seperti ini. Aku bahkan seperti bukan diriku sendiri, gadis kuat dan tidak lemah seperti apa yang Ayah bilang padaku.
Tapi untuk kali ini, aku seperti bukan Nayara Syila.
Merasa sudah cukup lama aku menangis bahkan menyendiri untuk menenangkan diri, aku memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamar. Setelah satu jam lebih aku duduk di kursi taman belakang sembari menghirup udara pada malam ini.
"Mas ... Kamu?" Aku memekik, tak percaya saat melihat lelaki itu berdiri di ambang pintu masuk. Dari kapan Tian berdiri disana? apa mungkin, lelaki itu mendengar semua percakapanku tadi bersama Ibu?
Aku menurunkan pandanganku kembali saat Tian masih mengunci mulutnya rapat-rapat sembari menghapus sisa-sisa bekas air mata di pipi. Entah kenapa aku merasa ada yang berbeda dari tatapan laki-laki itu saat tadi ia sedang menatapku.
Tatapan dingin dan tajam yang biasanya aku lihat, maka pada malam ini aku melihat tatapan yang tak bisa ku artikan.
"Permisi, Mas.!" Aku melewati tubuhnya begitu saja, tak ingin melihat wajah itu berlama-lama.
"Besok pagi-pagi kita kerumah, Mama." Suara beratnya menghentikan langkahku.
Lantas menoleh kembali kebelakang. Aku melihat Tian masih berdiri disana, membelakangi tubuhku.
Rupanya lelaki itu sudah memberi tahu keluarganya tentang perpisahan kami?
"Mama, sakit. Dia menyuruh kita untuk datang ke rumah besok. Mama juga ingin bertemu dengan-mu."
"Mama sakit?" Ternyata tebakanku salah. Aku kira Mama mertuaku itu sudah mengetahui rencana perpisahan ini. Ternyata, beliau sakit.
"Hem ..." Jawabnya bersama kepala yang mengangguk. Ia memutar badan sehingga kini berhadapan denganku.
"Sakit apa, Mas?"
"Penyakit lambungnya kambuh lagi."
"Baiklah." Akupun mengangguk, "Sekalian aku akan bicara sama Mama dan Papa kamu, besok."
Lelaki itu mengernyit dengan dahi mengkerut, "Maksud kamu?"
"Tentang perpisahan kita." Jawabku yang membuat Tian seketika diam.
Tanpa menunggu lama lagi, akupun pergi meninggalkan Tian yang masih bergeming di tempatnya. Entah apa yang lelaki itu lakukan sekarang. Yang jelas, aku tahu kalau Tian pastilah sangat senang. Bukankah ini keinginannya bisa berpisah denganku.
Maka, besok aku akan mengatakan tentang perpisahan kami ini kepada kedua orangtuanya. Meskipun nanti mereka berdua akan kecewa dengan keputusan kami ini.
******
Pagi harinya,
Aku dan Tian sudah bersiap-siap akan mengunjungi rumah Mamanya yang katanya sedang sakit itu.
Perjalanan dari rumah Tian menuju ke rumah kedua orangtuanya itu tidaklah terlalu jauh, hanya memerlukan waktu kurang lebih setengah jam lamanya. Tetapi bukan Jakarta namanya kalau tidak macet seperti saat ini. Sama halnya seperti sekarang, kami berdua terjebak dalam kemacetan yang lumayan cukup panjang.
Bukan untuk yang pertama aku berada di dalam mobil lelaki itu, tapi entah kenapa suasana canggung itu kembali menguasai sekarang. Aku dan Tian sama-sama diam seperti biasa. Tak ada percakapan yang kami lakukan selain hanya menatap jalanan di depan sana dan sesekali memainkan ponsel.
Sampai akhirnya, mobil kami pun tiba di depan rumah kedua orangtuanya. Tian segera turun setelah melepas seatbelt dari tubuhnya, pun dengan aku. Kami turun, dan aku mengikuti langkah lelaki itu dari belakang.
"Den Tian ..." Sapa seorang wanita paruh baya begitu benda persegi panjang yang terbuat dari kayu jati itu terbuka lebar.
"Mama ada kan, Bik.?"
"Ada. Mari masuk, Den. Nyonya udah nunggu dari tadi loh." Ujarnya lagi sambil melempar senyum lebar, lalu matanya beralih menatapku. "Neng Naya, ya ampun ... cantik sekali." pujinya yang membuat aku tersenyum. Aku dan Bik Idah, kami berdua memang sudah pernah bertemu sebelumnya. "Den Tian beruntung banget punya istri cantik kayak bidadari gini."
"Makasih, Bik." Jawabku sembari tersenyum. Sementara lelaki itu hanya menatap lurus ke depan dengan datar. Sepertinya obrolan kami berdua ini sama sekali tak menarik perhatiannya sedikitpun.
Mau aku secantik apapun, tetap tidak akan berpengaruh untuk lelaki menyebalkan seperti dia.
Aku dan Tian pun mengikuti Bik Idah, wanita paruh baya itu membawa kami untuk menemui Mama Maya yang sedang beristirahat di dalam kamar. Sementara Papa Adi, beliau sedang berada di dalam ruang kerjanya.
"Sayang ... Kapan kalian datang?" Tanya Mama Maya saat ia melihat aku dan Tian baru saja masuk ke dalam kamarnya.
"Ma ..." Tian langsung mencium punggung tangan Mamanya itu, pun dengan aku.
"Mama kenapa?" Tanyaku khawatir.
Beliau tersenyum. "Asam lambung Mama naik." Ujarnya sambil beringsut bangun. Aku segera membantu Mama mertuaku itu untuk menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang. Lalu duduk di sebelahnya.
Setelah cukup lama aku dan Tian berada di kamar Mama, lelaki itu memutuskan meninggalkan kamar dengan alasan ingin menemui Papanya. Padahal Aku tahu kalau Tian, lelaki itu merasa risih setiap kali sang Mama menanyakan kapan kami akan pergi berbulan madu. Dan bukan hanya itu saja yang membuat Tian ingin segera meninggalkan kamar, lelaki itu sepertinya tak suka saat sang Mama meminta agar aku dan Tian segera memberinya cucu.
Cucu? bahkan sebentar lagi kita akan berpisah.
Melihat bagaimana raut wajah Mama Maya yang berbinar saat ia menginginkan kehadiran seorang cucu di rumah ini membuat aku sedikit meringis.
Mama Maya dan Papa Adi begitu baik padaku. Mereka berdua benar-benar menyayangi aku seperti putrinya sendiri. Apa aku sanggup melihat mereka berdua kecewa?
Apa aku bisa mengutarakan keinginanku untuk berpisah dengan putranya itu, sementara mereka berdua sudah berharap lebih pada pernikahan kami.
Seandainya mereka tahu seperti apa Tian memperlakukan aku selama ini, apakah mereka berdua akan percaya?
Seandainya Tian bisa sedikit saja bersikap baik padaku, mungkin aku akan tetap mempertahankan pernikahan ini setidaknya sampai aku menemukan waktu yang tepat untuk mengakhiri pernikahan ini.
Ya Tuhan ... aku harus bagaimana?
"Mas ... aku mau bicara?" Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Tian keluar dari dalam kamar mandi, lelaki itu terlihat sangat segar dengan pakaiannya yang lengkap. Malam ini, aku dan Tian memutuskan untuk menginap di rumah Mamanya. Dan kami pun dengan terpaksa menggunakan kamar yang sama. Aku melangkah mendekatinya. "Kalau keadaan Mama sudah membaik, aku akan bicara tentang rencana perpisahan kita."
"Kamu ingin melihat Mama aku kembali sakit?"
"Bukankah lebih cepat akan lebih baik?"
"Tapi ini bukan waktu yang tepat." Tian meraup udara banyak-banyak sembari mengusap wajahnya gusar. Aku melihat ada yang berbeda darinya, tapi apa?
"Tunggu sampai keadaannya membaik. Baru kita bicarakan nanti."
Akupun tak bisa berbuat apa-apa lagi selain menurut. Memang benar apa yang di katakan oleh lelaki itu, ini bukanlah waktu yang tepat. Aku tak mau melihat Mama Maya sakit kembali hanya karena aku. Dan aku harus menunggu sampai keadaan Mama mertuaku sehat kembali.
Tunggu sampai besok. Ya, besok. Lalu, aku kembali di kejutkan ketika Tian mengatakan sesuatu yang membuat mataku melebar sempurna.
"Dan aku tidak akan menceraikanmu secepat ini."
Apa?
Apa maksudnya?
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
kenapa Tian kau tak mau menceraikan Naya..takut kau tidak direstui jika harus bersama Mentari..
2023-09-24
0
Intan IbunyaAzam
ego sekali qm tian
2023-09-16
0
cinta semu
kasian si istri cuman di manfaatin doang...hemm...jgn menyerah Naya kalo g bisa ngomong langsung kasih sinyal/tanda2 bahwa pernikahan kalian tidak baik2 saja
2022-12-04
1