Berpisah

Hari berganti hari, dan pernikahan ku pun bersama Tian masih tetap berjalan datar seperti ini. Tak ada yang berubah dari pernikahan kami ini. Sampai aku berpikir, sampai kapan aku akan bertahan?

Hampir dua bulan aku dan Tian menikah, tapi selama itu pula Tian tak pernah menganggap aku sebagai istrinya sama sekali. Lelaki itu benar-benar menutup diri.

Aku, Nayara Syila.

Tak pernah mengira jika aku akan menikahi laki-laki menyebalkan dan dingin sepertinya. Aku kira dengan menikah bersama Tian akan membuatku melupakan masa lalu. Tapi pada kenyataannya itu salah, justru luka yang belum sepenuhnya kering itu mulai menganga kembali karena kelakuan lelaki itu.

"Iya, sayang ... Aku mohon jangan menangis seperti ini"

"Aku tidak akan pernah menyentuhnya, dan aku tidak akan jatuh cinta padanya. Aku janji."

"Aku hanya mencintai kamu, selamanya aku akan mencintai kamu."

"Tunggu aku sebentar lagi, secepatnya kita akan bersama."

Seharusnya aku tidak terkejut, seharusnya aku bersikap biasa saja, seharusnya aku tak peduli pada apapun yang di katakan oleh lelaki itu. Ya, seharusnya. Tapi ... entah kenapa saat mendengar kalimat yang Tian lontarkan saat sedang berteleponan tadi yang aku yakini kalau itu adalah perempuan yang bernama Mentari itu, membuat hatiku sedikit mencelos. Apa maksud dari ucapannya itu?

Apa Tian berencana akan mengakhiri pernikahan ini secepatnya?

Jika memang itu benar, berarti sebentar lagi aku akan menjadi seorang janda?

Lalu, apa yang harus aku katakan pada Ayah dan Ibu. Aku yakin mereka berdua akan kecewa bahkan merasa malu. Bagaimana bisa putrinya yang baru satu bulan menikah kini sudah menjadi seorang janda. Untuk membayangkannya saja rasanya aku tidak akan sanggup. Aku takkan sanggup melihat kekecewaan mereka, aku tak akan sanggup melihat kesedihan mereka, padahal satu-satunya harapan mereka berdua adalah melihat aku bahagia hidup bersama dengan Tian.

Tidak ... aku tidak ingin menjadi janda sekarang. Aku harus mempertahankan pernikahan ini setidaknya sampai satu tahun kedepan. Aku harus bertahan meski Tian tak menganggap aku ada, aku harus bertahan meski lelaki itu memperlakukan aku tidak baik, demi nama baik aku dan juga keluargaku, aku harus bertahan.

Aku harus bisa membuat Mas Tian mau melihat aku.

******

"Kenapa kamu yang bawa kopinya?"

Tanya lelaki itu ketus. Ia menatapku tak suka, tapi aku abaikan.

"Mbok Iyam lagi sibuk di dapur Mas, jadi aku yang bawa kopinya kesini." Jawabku asal. Padahal, aku sendiri yang meminta pada Mbok Iyam untuk membuatkan dan mengantarkan kopi yang Tian minta itu padanya secara langsung.

"Tapi aku suruh Mbok Iyam sendiri yang antar kopinya."

"Mau aku atau Mbok iyam, sama aja kan, Mas.!" Selorohku sambil masuk ke dalam kamarnya. Membuat lelaki itu semakin tak suka melihatnya.

"Jangan masuk kamar aku sembarang."

"Aku gak masuk sembarang, kamu ada disini, dan aku hanya ingin mengantarkan kopi ini." Aku mengangkat nampan yang berisi secangkir kopi panas di atasnya.

"Sekarang kamu boleh keluar." Ujarnya lagi sambil menarik cangkir kopi itu dari tanganku.

Aku tersenyum, menatap lelaki itu dari dekat. "Apa Mas Tian membutuhkan sesuatu lagi?"

"Tidak."

"Mau aku antarkan cemilan kesini?"

Lelaki itu menarik napas dalam-dalam, "Tidak." Jawabnya kesal.

"Kalo gitu pakaian kotor kamu biar aku bawa sekalian ya, Mas?" Tanpa rasa takut aku melangkah lebih dalam lagi, menuju ke tempat dimana lelaki itu biasanya menyimpan pakaian kotornya.

"Jangan sentuh apapun disini."

"Aku cuma ngambil pakaian kotor kamu, Mas."

"Gak perlu." Ia menatapku tajam. "Biar Mbok Iyam yang melakukan pekerjaan itu."

"Apa salahnya sih, Mas.?" Dengusku kesal.

"Karena aku gak suka." Ada jeda di sela kalimatnya. "Jangan lakukan apapun di rumah ini."

Sudah berapa kali aku mendengar Tian mengatakan kalimat menyakitkan itu setelah hampir dua bulan kami menikah. Setiap hari, bahkan setiap saat hanya kalimat pedas lah yang selalu aku terima. Tidak pernah sekalipun Tian bersikap ramah padaku, jangankan untuk menyapa, memberi seulas senyum pun rasanya enggan ia lakukan.

Tahukah ia kalau aku ini seorang perempuan? aku punya hati yang bisa merasakan sakit. Aku juga punya perasaan yang harusnya ia jaga, dan aku juga bukanlah wanita yang kuat.

Karena pada kenyataannya aku ini adalah wanita yang lemah. Tapi aku akan berusaha untuk menjadi wanita yang kuat di hadapan lelaki itu. Aku tidak boleh menunjukkan kelemahanku di hadapannya. Aku akan tetap kuat dan bertahan demi keluargaku.

Ya, semua demi keluargaku.

Sama halnya seperti sekarang, aku mencoba untuk membuat lelaki itu mau menatapku dan menganggap aku ada di rumah ini.

Setelah keluar dari dalam kamar Tian, aku kembali ke dapur untuk membantu Mbok Iyam yang sedang memasak, menyiapkan makan malam untukku dan juga Tian. Kebetulan hari ini adalah hari minggu, dan kebetulan juga lelaki itu ada di rumah, tak keluar seperti biasanya.

Ini adalah kali pertama aku dan Tian bisa makan malam bersama di rumah. Bahkan kami duduk saling berhadapan. Biasanya lelaki itu tak pernah makan di rumah, setelah pulang kerja Tian akan langsung masuk ke dalam kamar dan mengurung diri sampai menjelang pagi.

"Mas ... mau makan sama apa?" Aku menawarkan diri untuk membantunya mengambil nasi dan lauk, meskipun aku tahu kalau Tian akan kembali menolak.

Sepertinya lelaki itu merasa aneh saat melihat ada berbagai menu hidangan di atas meja.

"Aku bisa sendiri."

Aku pun diam dan membiarkan lelaki itu untuk mengambil makanannya sendiri. Suasana makan malam ini begitu terasa hening, yang terdengar hanyalah suara sendok dan piring yang saling beradu. Sesekali aku melirik ke arah Tian yang sedang menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya. Sedang makan seperti ini saja lelaki itu masih tetap dingin, ia sama sekali tak menoleh ke arahku, pandangannya hanya tertuju pada piring di depannya itu.

Entah kenapa aku merasa senang, bahkan tanpa aku sadari bibirku melengkung membentuk sebuah senyuman. Tapi senyuman itu tak berlangsung lama saat Tian mengeluarkan makanan itu dari dalam mulutnya.

"Mbok ..." Ia sedikit berteriak, akupun bingung kenapa Tian sampai memanggil Mbok Iyam.

"Iya, Pak. Kenapa?" Tanya wanita itu sedikit terpongoh karena sedikit berlari.

"Siapa yang masak?"

"Eum ..." Mbok Iyam melirik ke arahku sekilas. "Mbok sendiri, Pak." Akunya kemudian yang membuat aku mengernyit. Padahal bukan Mbok Iyam yang memasak, tapi aku.

"Memangnya kenapa, Pak. Apa ada yang salah dengan masakannya?"

"Saya gak suka."

"Kalau gitu biar Mbok Iyam ganti ya, Pak?"

"Gak perlu." Tian berdiri dari tempat duduknya, ia menatap Mbok Iyam dan aku secara bergantian. "Mulai hari ini Mbok tidak usah bekerja di rumah ini lagi."

Bukan hanya Mbok Iyam saja yang terkejut, tapi akupun juga. Apa maksud dari ucapannya itu?

"Maksud kamu, Mas?" Tanyaku tak percaya, sementara Mbok Iyam hanya menunduk.

"Saya gak suka jika ada orang yang mulai tidak mendengar perkataan dari saya."

"Baik, Pak.!" Mbok Iyam mengangguk. Dan aku tidak bisa membiarkan Tian memecat Mbok Iyam begitu saja. Apa hanya karena masakan yang aku buat itu hingga Mbok Iyam harus kehilangan pekerjaannya? Tidak, ini tidak bisa di biarkan. Lagi pula itu bukanlah salah Mbok Iyam.

"Mas ... Kenapa kamu memecat Mbok Iyam? Apa salah Mbok Iyam?"

"Itu bukan urusan kamu."

"Kalo karena masakan itu Mas Tian sampai memecat Mbok Iyam, itu bukan salahnya. Mbok Iyam gak salah, Aku yang masak semua makanan ini. Aku, Mas ..." Akuku kemudian yang membuat lelaki itu tersenyum miring, ia menatapku tajam seraya mendesis.

"Sudah berapa kali aku bilang, jangan pernah lakukan apapun di rumah ini?"

"Kenapa Mas? aku hanya ingin membantu. Apa aku salah jika ingin menyiapkan makan malam buat suami aku sendiri?"

"Jangan Mentang-mentang kamu istri aku bisa berbuat seenaknya di rumah ini."

"Aku memang istri kamu. Ingat, kita sudah menikah, Mas."

"Berhenti bersikap seolah-olah kamu ini istri aku. Aku muak." Sentaknya kemudian yang membuat aku bungkam seketika.

Seharusnya aku tidak apa-apa, seharusnya aku sudah terbiasa mendengar kata-kata pedas keluar dari mulutnya, tapi ... entah kenapa saat ini hatiku merasakan sakit saat lelaki yang aku anggap sebagai suamiku itu berkata demikian.

"Apa salah aku, Mas?" Tanyaku kemudian dengan nada melirih, tanpa terasa mataku pun sudah berkaca-kaca. Kalau biasanya aku akan kuat dan tidak akan menangis, tapi kali ini tidak, sepertinya mataku sudah tak kuat lagi untuk menahannya, cairan bening itu meronta, meminta ingin segera di keluarkan. Dan pada akhirnya, akupun menangis.

Tian yang menyadari bahwa aku menangis, buru-buru ia mengalihkan pandangannya itu ke samping.

Sementara Mbok Iyam, wanita yang berdiri tak jauh dariku itu menatapku iba.

Sepertinya, tidak ada lagi alasan untuk aku mempertahankan pernikahan ini. Apa mungkin ini saatnya untuk aku mundur?

Ya, lebih baik aku mundur dari sekarang.

"Baiklah, Mas." Ku tarik napas dalam-dalam. "Besok ... aku akan bicara pada Mama dan Papa kamu."

Seketika itu juga Tian langsung menoleh, menatapku penuh tanya. Pun dengan Mbok Iyam.

"Mungkin, pernikahan kita cuma bisa bertahan sampai disini." Aku tatap wajah itu sekilas, sebelum kemudian aku kembali berkata. "Aku akan bilang pada mereka, kalau kita berdua sudah memutuskan untuk berpisah."

...****************...

Terpopuler

Comments

Yunerty Blessa

Yunerty Blessa

bagus Naya....lebih baik mengalah daripada tidak dianggap sebagai isteri..

2023-09-24

0

Intan IbunyaAzam

Intan IbunyaAzam

qm JD perempuan baperan,,kuatkan metalmu biar Dy tw klo kta jga kuat

2023-09-16

0

Endang Priya

Endang Priya

kalo dari awal tuh laki udah mengibarkan bendera perang. maka jabanin gak usah baper. kalo punya pendidikan cari kerja sesuai ijazahnya. ngapain ngemis" pengakuan.

2023-09-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!