•
•
•
Satu minggu pun berlalu. Pernikahan Aku dan Mas Tian berjalan datar seperti biasa. Setiap hari Mas Tian memang pulang ke rumah, tapi itupun selalu tengah malam di saat aku sudah terlelap dalam tidur.
Ketika pagi datang, aku yang selalu bangun lebih awal memulai tugasku sebagai seorang istri. Aku memasak dan menyiapkan sarapan setiap hari. Tapi ... lelaki itu sama sekali tak menoleh ataupun mau sarapan bersama denganku. Mas Tian lebih memilih untuk berangkat ke kantornya pagi-pagi dan melewati sarapannya. Sama halnya seperti sekarang, aku melihat lelaki itu baru saja keluar dari dalam kamar dan sedang berjalan menuju lantai bawah melewati beberapa anak tangga.
"Mas ..." Sapaku, berharap agar kali ini Mas Tian mau sarapan bersama ku. "Aku udah buatin sarapan, kita sarapan bareng ya?"
"Tidak bisa." Tukasnya.
"Tapi Mas?"
"Aku buru-buru." Tanpa menatapku ataupun menoleh pada meja makan yang sudah tersedia roti bakar, nasi goreng, bahkan susu hangat yang sengaja aku buatkan untuknya.
"Mas ...!" Dengan berani aku sedikit berteriak, membuat lelaki itu berhenti, lalu memutar badannya untuk berhadapan denganku sekarang. "Kenapa kamu gak pernah mau sarapan disini? Aku udah masak buat kamu, aku udah siapin semuanya, tapi kamu ---!"
"Bukannya aku udah bilang sama kamu untuk gak melakukan apa-apa?" Ujarnya sinis. "Aku gak meminta kamu untuk ngelakuin itu semua."
"Tapi Mas, aku ini istri kamu."
"Aku bilang jangan melakukan apa-apa buat aku."
"Kenapa?" Tanyaku tak terima.
"Karena aku gak suka."
Aku terbebelak, bahkan sampai diam dan memandangi tubuh lelaki itu yang sudah mulai menjauh. Selama satu minggu ini sikapnya selalu dingin, aku kira lelaki itu akan berubah. Nyatanya tidak sama sekali. Apa salah aku? kenapa Mas Tian membenciku? Apa lelaki itu menyesal sudah menikahiku?
Tidak ... ini tidak bisa di biarkan. Mas Tian tak seharusnya memperlakukan aku seperti ini. Bukan hanya dia saja yang menyesal, akupun sama.
"Mas ... tunggu!"
Ku langkahkan kakiku lebar-lebar untuk bisa mengejar lelaki itu yang hendak menuju ke pintu utama rumah kami, tepatnya rumah Tian.
"Apa maksud kamu bicara seperti itu? kenapa aku gak boleh melakukan apa-apa?" Cecarku yang membuat lelaki itu menoleh seketika, menatapku dengan wajah mengeras dan juga pandangan yang tajam.
"Aku ini istri kamu. Kita udah nikah, dan udah jadi kewajiban aku untuk melakukan itu, Mas.!"
"Aku gak suka. Kamu tuli?" Sentaknya kasar yang membuatku sampai berjengit kaget.
Tak pernah sekalipun kedua orangtua-ku membentak aku seperti ini. Tapi dia - lelaki yang berstatus sebagai suamiku justru tega membentak aku secara terang-terangan.
"Kenapa Mas? Kenapa kamu gak suka? Apa salah jika aku hanya ingin melakukan kewajiban aku sebagai seorang istri?" Lirihku dengan nada terluka.
"Karena aku gak mencintai kamu."
Jantungku mencelos seketika, sekujur tubuhku pun memanas dan napas ku seperti tersendat. Bersama dengan itu, ingatan ku kembali lagi pada hari dimana lelaki itu menyetujui untuk menikah. Tian mengatakan pernikahan ini hanya untuk membuat kedua orangtuanya bahagia, lelaki itupun bilang, ia menikahiku karena ada janji yang harus di tepatinya.
Janji pada siapa?
Ku tatap wajah itu dalam diam sebelum kemudian aku mengatakan sesuatu yang membuat lelaki itu bungkam.
"Aku tidak minta apa-apa sama kamu. Aku tidak minta kamu untuk mencintai aku. Tapi tolong, Mas. Aku hanya ingin kamu hargai aku. Itu saja." Aku diam sesaat hanya untuk menarik napas dalam-dalam. "Jika bagimu sulit menghargai aku sebagai seorang istri, maka hargailah aku sebagai seorang perempuan." Tanpa terasa mataku sudah berkaca-kaca, sekali saja mataku berkedip, maka aku yakin cairan bening seperti krystal itu akan mengalir begitu saja melewati pipiku.
******
Satu hari setelah kejadian itu, Tian masih tetap menjadi manusia paling dingin yang pernah aku temui di dunia ini. Kadang aku sendiri sampai tak habis pikir dengan sikap lelaki itu yang tak menunjukkan keramahannya sedikitpun. Sebenarnya terbuat dari apa hati laki-laki itu? Kenapa Tuhan menciptakan lelaki menyebalkan seperti dia. Sepertinya apa yang aku katakan waktu itu hanya ia anggap sebagai angin lalu.
Ya, karena pada kenyataannya Tian masih saja sama. Lelaki itu malah semakin menjauh dan menghindariku.
"Bu ..."
Aku terhenyak, lamunanku buyar seketika saat mendengar suara seseorang dari belakang punggungku. Aku tersenyum saat mendapati seorang wanita paruh baya yang beberapa hari ini sudah bekerja di rumah kami. Namanya Mbok Iyam, asisten rumah tangga yang Tian ambil dari rumah kedua orangtuanya.
"Ada apa, Mbok?"
Bi Iyam tersenyum ramah padaku. "Apa Ibu membutuhkan sesuatu?" Tanyanya padaku. Aku pun menggeleng. "Mau Mbok buatkan minuman, cemilan atau makanan?"
"Nggak, Mbok." Balasku sambil tersenyum. Melihat wanita itu yang begitu baik mengingatkan aku pada sosok Ibuku sendiri. Aku senang saat Tian membawa Mbok Iyam ke rumah, dengan begitu aku seperti memiliki teman di dalam rumah ini. Waktuku, ku habiskan hanya dengannya, sesekali aku membantu pekerjaan wanita itu meskipun dia selalu melarang ku. Dan Mbok Iyam lah yang mengajariku memasak, memberi tahuku makanan apa saja yang disukai dan tidak disukai oleh Tian.
"Mbok, mau kemana?" Tanyaku kemudian saat melihat wanita itu berjalan hendak menaiki anak tangga.
"Mbok, mau bersihin kamar punya Bapak, Bu." Jawabnya yang seketika membuat aku tersenyum. Lantas aku pun memutuskan untuk ikut bersamanya, selain ikut membersihkan, aku juga ingin tahu seperti apa kamar lelaki itu. Kamar yang hampir satu bulan ini tak pernah aku lihat, karena Tian memang melarang aku untuk masuk kedalam kamarnya tanpa seijin darinya. Hanya Mbok Iyam lah yang ia percaya untuk membersihkan kamarnya setiap hari.
"Yang sabar ya, Bu." Mbok Iyam mengusap bahuku lembut. Wanita paruh baya itu mengetahui seperti apa pernikahan yang aku jalani bersama Tian. "Sebenarnya Bapak itu baik, cuma ..." Mbok Iyam diam, menatapku dengan iba. "Mungkin bapak belum terbiasa sama Bu, Naya."
"Iya, Mbok. Aku tahu." Lalu aku memberi seulas senyum tipis padanya. Aku memang banyak bercerita kepada Mbok Iyam, dan aku sendiri yang meminta wanita itu untuk tutup mulut dan merahasiakannya dari siapapun. Terutama dari kedua orang tuanya Tian.
"Em ... Mbok, biar aku saja yang bersihin kamarnya ya?"
"Tapi, Bu."
"Gak papa, Mbok. Aku aja ya?" Pintaku.
"Nanti Bapak marah, Bu."
"Mbok jangan bilang sama Mas Tian, kalo aku yang bersihin kamarnya. Gimana?"
Kepala wanita itu mengangguk. Menyerahkan kunci cadangan dan membiarkan aku untuk membersihkan kamarnya Tian.
Begitu pintu terbuka, hal pertama yang aku lihat adalah keadaan kamar yang terlihat sangat rapi. Hanya ranjangnya saja yang sedikit berantakan. Aku begitu kagum melihat isi dari dalam kamarnya, selain barang-barang mewah dan antik yang ada di atas nakas, di dalam kamar itu juga terdapat beberapa lukisan serta rak buku yang terletak di sudut ruang kamarnya, tak jauh dengan meja kerja di sampingnya. Tapi bukan itu yang kini menjadi pusat penglihatanku, ada sesuatu yang mendorong aku untuk mendekat, melihat apa yang ingin aku lihat. Lalu, aku memberanikan diri untuk meraih benda itu, sebuah figura kecil yang ada di atas meja kerja lelaki itu.
"Siapa wanita ini?" Gumamku pelan saat melihat di dalam poto itu ada seorang wanita yang sedang bersandar sambil tersenyum lebar di bahu Tian.
Wanita itu terlihat sangat cantik dengan Tian yang begitu tampan, mereka berdua terlihat sangat dekat, bahkan keduanya pun sama-sama sedang tersenyum. Senyum yang tak pernah aku lihat sekalipun ketika berada di dalam rumah.
"Kamu tampan Mas, kalo lagi senyum seperti ini." Aku sangat iri melihat Tian yang sedang tersenyum seperti itu. Apalagi lelaki itu tersenyum kepada seorang wanita yang aku ketahui bernama Mentari.
"Jadi ini alasan kamu tidak bisa menerima pernikahan ini, Mas?" Ku usap bingkai poto itu dengan gerakan lembut. "Sampai namanya pun kamu tulis disini."
Terlihat sebuah goresan tinta di bawah poto itu, tulisan yang membuat aku tersenyum miris sekaligus merasa bersalah. Sekarang aku tahu kenapa Mas Tian tak menginginkan pernikahan ini dan selalu bersikap datar kepadaku, mungkin ini alasannya. Karena dia mempunyai kekasih. Kerena dia mencintai wanita lain.
Mungkin, akulah disini yang menjadi orang ketiga. Akulah yang datang di saat lelaki itu masih menjalin kasih bersama wanita lain. Mungkin, Akulah yang membuat Tian berpisah dengan wanitanya itu. Mungkin, Akulah yang merusak hubungan mereka berdua. Ya, mungkin semua karena aku.
"Selamanya aku akan mencintai kamu -- Mentariku."
...******...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Intan IbunyaAzam
emmmm aq liat Naya lbih baik ikuti aj MW Tian,, GK usah ngelayani sy,Krn Dy GK ska
2023-09-16
0
cinta semu
dari awal kn Tian dh bilang kalo g cinta... mungkin u mengharap ada perubahan ...ya yg sabar aja Naya...berdoa yg banyak
2022-12-04
2
Redflow
punya suami kaya Tian,cuekin gantian aja naya... dari pada nyesek... gak usah urusin jg si tian...hiks...
2022-09-18
0