Setelah Menikah

Pernikahan pun terjadi,

Hari ini, tepatnya beberapa jam yang lalu aku baru saja resmi menjadi istri dari seorang Sebastian Aydan. Lelaki tampan dengan aura dinginnya yang menakutkan. Pernikahan yang terbilang cukup megah itu membuatku merasa sedikit kelelahan. Pun dengan Mas Tian. Lelaki itu tampak sangat lelah karena seharian ini berdiri di atas pelaminan sambil menerima beberapa ucapan selamat dari para tamu undangan yang hadir.

"Mas ... mau mandi sekarang?" Tanya ku saat melihat Mas Tian duduk dengan menyandarkan kepalanya pada punggung sofa. Matanya yang terpejam seketika menoleh menatap ke arahku. "Aku siapkan air hangat ya?"

"Gak usah." Tukas nya, "Aku bisa sendiri."

Aku hanya diam melihat Mas Tian masuk begitu saja ke dalam kamar mandi. Niatku hanya ingin membantu, tapi sepertinya Mas Tian memang tak menyukainya.

Baru beberapa jam saja menjadi istrinya, sudah membuatku bergidik ngeri seperti ini. Bagaimana aku bisa melewati hari-hari selanjutnya dengan pria judes sepertinya?

Ah ... untuk membayangkannya saja sepertinya aku takkan sanggup.

Sembari menunggu Mas Tian yang masih berada di dalam kamar mandi, aku memutuskan untuk melepaskan semua aksesoris yang masih melekat pada tubuh dan juga kepalaku. Satu persatu aku melepaskan semuanya, hingga yang tersisa hanya tinggal gaun pengantinku yang sudah membuat badanku terasa lengket semua.

Ku tatap wajahku di dalam cermin, sekilas aku tersenyum saat baru menyadari ternyata aku sangat berbeda pada hari ini. Aku sampai tak percaya, jika wajah yang biasanya hanya mengenakan bedak tipis dan sedikit pewarna di bibir bisa membuatku berubah menjadi seperti ini. Pantas saja semua orang yang datang ke pesta pernikahan kami memujiku, mengatakan kalau aku terlihat sangat cantik. Dan ternyata itu benar.

"Ya ampun, ternyata aku cantik.!" gumamku pelan, tanpa aku tahu kalau ada seseorang yang berdiri di belakang tubuhku.

"Ekhem ..."

Sedikit terkejut, seketika itu juga aku menoleh ke belakang. "Eum ... Mas. Sudah selesai mandinya?" Tanyaku dengan sedikit menyengir kaku.

Sepertinya pertanyaan aku itu terdengar begitu bodoh di telinganya, sampai-sampai ia tak menjawab. Lelaki itu hanya diam, menatapku datar sambil mendesis.

"Kenapa, Mas?" Lagi, aku tak mau kalah. Aku sudah menjadi istrinya, sudah seharusnya pula aku melayani dia kan?

"Mas Tian membutuhkan sesuatu?" Ku pikir ia tak akan menjawab, tapi ...

"Aku mau tidur.!"

"Hah?" Ku gigit bibir bawahku, kenapa aku bersikap seperti orang bodoh lagi?

"Ya - udah, kalo mau tidur silahkan."

Lelaki itu semakin mengernyit, menatap ku dengan pandangan yang ah ... Dingin seperti biasa.

"Kenapa Mas?" Tanyaku saat melihat lelaki itu hanya diam saja. "Mas mau ----?" Lalu, aku mengikuti kemana lelaki itu melangkah. Aku melihat Mas Tian, membawa satu bantal dan selimut dari ranjangku, kemudian ia membaringkan tubuhnya di atas sofa. "Mas ... kenapa kamu tidur disitu?" Aku tahu ini adalah malam pertama aku dan Mas Tian. Tapi bukan itu yang aku inginkan. Sungguh, karena aku tahu Mas Tian tak menginginkan pernikahan ini, apalagi untuk menyentuhku.

Rasanya sangat mustahil.

Hanya saja aku sedikit terkejut saat lelaki itu tak mau tidur di atas ranjang. Apa lelaki itu benar-benar takut jika aku pun tidur di ranjang yang sama dengannya?

"Mas ..."

"Hem ..."

"Kenapa Mas Tian tidur di sofa? Mas bisa tidur di kasur ---" Suaraku tercekat saat Mas Tian menyela dengan cepat.

"Aku capek, aku mau tidur. Jadi .... jangan banyak bicara!"

Aku mendesah, lelaki itu sepertinya benar-benar sangat lelah. "Mas bisa tidur di kasur, biar aku aja yang tidur di sofa ..."

"Bisa diam gak!"

Sentaknya yang seketika membuatku berjengit kaget. Ku tutup mataku rapat-rapat saat lelaki yang baru saja resmi menjadi suamiku itu terlihat sangat kesal. Lantas aku pun diam seraya memandangi tubuhnya yang membelakangi ku sekarang, Mas Tian menarik selimut lalu menutup seluruh tubuhnya hingga tak terlihat lagi.

Kehidupan macam apa yang akan aku lalui setelah menikah?

******

Pagi harinya,

Aku dan Mas Tian berpamitan kepada kedua orangtua ku, setelah menikah Mas Tian memang meminta aku untuk ikut bersamanya dan tinggal di rumahnya sendiri. Kedua orangtua ku pun tak bisa menolak, mereka mengijinkan karena aku sudah menikah. Dan aku bukan lagi tanggung jawab mereka sekarang.

Selama dalam perjalanan, baik aku dan Mas Tian tak ada yang bersuara sedikitpun. Kami sama-sama diam dan hanya fokus menatap jalanan saja. Berada di dalam situasi seperti ini tentu saja membuatku sedikit merasa tak nyaman. Aku ingin bertanya, ingin berbicara dengannya, tapi semua itu ku urungkan kembali karena takut jika Mas Tian tak suka.

Sesekali aku hanya melirik ke arahnya, dan sialnya akupun ketahuan.

"Ngapain kamu lihatin aku?"

"Hah?" Akupun kembali terlihat seperti orang bodoh di depannya. "Si - siapa yang liatin kamu?"

Lelaki dingin itu mendengkus seraya berkata, "Kita memang sudah menikah dan akan tinggal satu rumah, tapi ..."

"Tapi apa, Mas?" Tanyaku saat lelaki itu diam.

"Kita tidak akan tidur di dalam kamar yang sama." Jelasnya yang membuat aku mengernyit dengan raut bingung.

"Maksud kamu, kita berbeda kamar?"

"Iya ..." Kepala lelaki itu mengangguk. "Dan aku bakalan jarang ada di rumah, jadi kamu gak perlu melakukan apa-apa."

Setelahnya tak ada lagi perbincangan di antara kami berdua. Mas Tian kembali diam, mulut lelaki itu seakan memakai perekat hingga sangat sulit untuknya berbicara.

Dan selama dalam perjalanan itu pula, aku pun memilih untuk diam, menatap jalanan dari samping melalui kaca jendela mobil. Ada banyak sekali yang aku pikirkan saat ini, dan salah satunya adalah pernikahan kami. Pernikahan macam apa yang akan aku dan dia jalani? Bagaimana aku bisa hidup bersama laki-laki dingin seperti dia? bagaimana aku hidup satu rumah jika tidak ada cinta di antara kami? lalu, Bagaimana aku bisa menjadi istri yang berbakti jika lelaki itu saja sepertinya keberatan dan tak menyukai pernikahan ini?

Kenapa nasib ku selalu seperti ini?

"Kamu mau tetap tinggal di dalam mobil?" Sungguh, aku terhenyak saat mendengar suara berat dan serak milik lelaki itu.

Tanpa menjawab, akupun turun dan mengikuti langkah Mas Tian dari balik punggungnya. Untuk sesaat aku begitu kagum melihat sebuah rumah bergaya Eropa modern itu dari luar. Rumah yang sebenarnya cukup besar untuk Mas Tian dan aku tinggali berdua. Rumah megah yang aku tahu milik lelaki itu terlihat sangat bersih dan juga rapi. Kekagumanku semakin banyak saat melihat isi dari dalam ruangannya, selain barang-barang mewah, sepertinya Mas Tian juga memang lelaki yang menyukai kebersihan.

"Ini kamar kamu."

Aku menoleh, tak sadar jika kini aku dan lelaki itu sudah berada di lantai dua. Berdiri di depan pintu kamar yang Mas Tian bilang kalau itu adalah kamar yang akan aku tempati.

Jadi Mas Tian memang benar-benar tidak ingin berada satu kamar denganku?

"Dan kamar ini adalah kamar aku." Aku mengikuti kemana mata lelaki itu menatap. Ternyata, kamarnya mas Tian bersebelahan dengan kamarku. "Ingat, aku tak suka jika ada orang yang masuk ke dalam kamar ku tanpa seizin dariku."

"Termasuk aku?"

Seketika wajah dingin itu menoleh, lantas mengangguk. "Ya."

"Bukankah aku ini istrimu?"

Bukannya menjawab, lelaki itu malah diam seraya menatapku dengan tatapan yang sangat dingin.

Aku menghela napas pelan, tidak seharusnya aku bertanya seperti itu kan? sudah jelas pernikahan ini seperti apa.

"Kenapa? kamu keberatan? atau ... kamu ingin tidur satu kamar denganku?"

"Eh ..." Buru-buru aku menggeleng, bukan. Sungguh, bukan itu maksud aku. Aku hanya masih berpikir pernikahan macam apa yang akan aku jalani ini. Sampai kapan aku dan Mas Tian akan seperti ini?

Cinta memang tidak ada di antara kami. Tapi ... bisakah aku dan Mas Tian memulainya dari awal?

Aku ingin menjalani pernikahan ini seperti orang-orang pada umumnya. Apalagi kita berdua sudah menikah secara sah, baik dimata agama ataupun hukum. Bukan hanya kepada Tuhan, kami berdua pun sudah berjanji di depan penghulu, kedua orangtua kami masing-masing dan juga para saksi.

Bukankah pernikahan itu bukan untuk permainan?

Lantas, apakah sekarang aku dan Mas Tian sedang mempermainkan pernikahan?

Bagaimana jika Tuhan marah, bagaimana jika kedua orangtua ku tahu kalau aku menjalani pernikahan tidak sehat seperti ini. Apa yang harus aku katakan kepada mereka?

Dan masih banyak lagi yang aku pikirkan selain itu. Entahlah ... belum apa-apa rasanya kepalaku sudah hampir mau meledak.

Apa yang harus aku lakukan?

Ya Tuhan ... aku harus bagaimana?

...****************...

Terpopuler

Comments

Yunerty Blessa

Yunerty Blessa

sabar saja Naya..

2023-09-24

0

Intan IbunyaAzam

Intan IbunyaAzam

nyimak thor

2023-09-16

0

Mimi Ilham

Mimi Ilham

menarik

2023-07-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!