Hatma menggertakkan giginya ketika terbit ingatan tentang mereka, pikiran tentang kakaknya menghilang begitu saja digantikan amarah meluap-luap meruak bagai api. Dia bermaksud melontarkan perkataan yang bengis akan menimbulkan dendam.
"Harus segera pergi saja daripada tertelan amarah singkat yang akan merugikan," batinnya.
Ia menginjak tanah bersusah payah tegak bertumpu pada kaki, tidak lagi melipat lutut sebagai tumpuan tuk berdiri, melainkan dia bangkit. Mengingat dia hanya diam dan berlutut sambil memandangi kedua kakinya, Hatma bertekad berubah dengan secuil dendam kepada mereka yang merundungnya dahulu.
Sesudah terlempar jauh dari lapangan dan mendarat di tumpukan sampah, akhirnya Hatma selamat meskipun samar-samar bertemu kakak kandungnya dan para perundungnya dihadapan. Pada pandangan mereka melihat Hatma penuh darah serta luka.
Sementara Hatma mulai bangkit, uluran tangan salah satu dari mereka ditepis oleh Hatma yang tidak sudi menerima bantuan. Walaupun darah segar mengucur deras, kedua kakinya mengeluarkan darah yang tampak dari celananya basah, Hatma tak peduli dan tetap bersikukuh berjalan menuju kediamannya.
"Harusnya Rablis itu sudah mati, lalu pedang Kembar ada dimana?" Batinnya melihat ke pinggang hanya ada sarung belati kosong.
Bahkan belati peninggalan ayahnya pun menghilang membuat pikirannya semakin kacau dalam pusing yang menyerang. Hatma berjalan terseok-seok dengan terhuyung-huyung, terlebih lagi begitu banyak orang yang memperhatikannya, sebagian besar dari mereka ketakutan dan merasa ngeri padanya.
Hatma terjatuh ke jalan, kakinya telah mencapai batas melebarkan luka membuat darah yang keluar semakin banyak. Dia bersandar pada tong sampah di trotoar jalanan, menahan rasa sakit kepala bersama luka yang seolah-olah menjalar ke sekujur tubuhnya.
...[Tugas opsional: meminta pertolongan]...
...[Hadiah: Jubah Tempur]...
"Yang benar saja," batin Hatma menjumpai tugas ini menciptakan perasaan kesal.
Dia tau tugas opsional itu bersifat pilihan bukanlah keharusan. Namun, pada waktu yang sama Hatma merasa tugas itu penting. Dia sekarang melihat-lihat ke sekeliling, tiada yang diharapkan untuk dapat membantu pada keadaan dan situasinya sekarang.
Jikalau dia berteriak meminta pertolongan secara langsung, akan menimbulkan pengamatan yang dimana orang-orang akan mengamatinya ataupun merekam kejadian ini membagikannya pada sosial media. Kemudian, akan ada beberapa orang yang benar-benar peduli dan menolong.
"Pak, maaf!" Panggil Hatma. Sesudah yang dituju menoleh Hatma bertanya, "bisa minta tolong tidak?"
Pria yang kebetulan lewat ini begitu menoleh dan menemukan Hatma, ia segera bersicepat angkat kaki dengan keringat dingin. Hatma tidak ingin kembali, meminta pertolongan tanpa aksi apapun seperti dulu. Dia mencari target yang tepat lagi.
"Maaf pak!" Panggil Hatma.
"Astaga! Kamu kenapa dek?" Pria ini langsung mulai merespon mengindahkan Hatma. Dia menaruh ponselnya ke dalam saku dan menyimpan tasnya.
Hatma tanpa basa-basi meminta pertolongan pada pria ini, pria berkacamata memberhentikan taksi mengantar Hatma ke rumahnya. Dalam perjalanan menuju kediaman Hatma, Hatma ditembaki berbagai pertanyaan yang sudah sewajarnya ditanyakan.
...[Jubah Tempur didapatkan!]...
...[Tugas wajib: beristirahat selama seminggu]...
...[Hukuman bila gagal: mati]...
Tertampak raut wajah Hatma bermuram durja seolah mendapati hantu mengerikan, selagi pria ini bercakap-cakap melalui ponselnya. Hatma merasai sakit yang luar biasa di kedua kakinya. Rasa sakitnya seperti memaksanya untuk merintih kesakitan.
"Sebentar Silvi, ayah tutup dulu teleponnya.." pria di samping Hatma bertanya, "kamu ini benar tak apa-apa? Lebih baik bapak antar ke rumah sakit!"
"Tidak, tidak usah repot-repot.."
"Bapak baru pulang kerja dan tak merasa direpotkan sama sekali ... tolong berhenti depan kafe" ujarnya kepada supir taksi. Selagi Hatma masih sadar, dalam batin ia merasa salah memilih orang yang dimintai pertolongan walaupun ini lebih baik daripada dulu.
...***...
Pada kala itu, Hatma bertanya-tanya kepada dirinya sendiri alasan dari kedua orang-tua kandungnya tersenyum kepada pengurus panti asuhan. Kemudian menghilang begitu saja, seorang anak kecil umur 5 tahun ini sudah hancur dan kutukan melekat berakar ke dalam hati beserta ekspresinya.
"Kakak Hatma?"
"Ya aku ini kakakmu tau. Lihatlah... ini foto ayah-ibu dan kakak sama kamu.." ujarnya sambil memperlihatkan selembar foto pada Hatma.
Pertamakali Hatma memegang tangan hangat dari keluarganya, kemana saja kakak selama ini? Itu adalah satu dari sekian banyaknya soalan yang terus memutari isi kepalanya. Sewaktu mereka berdua sampai di tempat yang disebut 'rumah' ini Hatma tak berpikir demikian mengenai bangunan ini.
Hatma masuk berdampingan dengan kakak kandung yang tengah menyeringai lebar, rumah bobrok yang hampir roboh ini membuat Hatma begitu sangat teramat amat ketakutan tak karuan. Kakaknya justru mencampakkannya di dalam kamar sendirian.
"Kak! Kakak! Buka!"
Hatma memukul-mukul pintu sembari menjerit-jerit meminta dan memanggil kakaknya datang, dia sudah menyerah lalu terbaring di atas ranjang kayu yang keras. Tiba-tiba suara menderit dari engsel tua didengar Hatma, Hatma bukannya gembira dengan kedatangan kakaknya, malah ketakutan.
Di tangan kakak kandungnya terdapat perkakas tuk memotong kayu, besi tajam tipis bergigi tajam ini membuat adiknya berteriak kesakitan. Merusak diri Hatma dari segala penjuru tanpa terkecuali.
"Ayahanda dan ibunda bodoh, adinda adalah sumber energi sihir tiada batas! Sungguh bodoh kedua kolot itu membuang ... adinda tercinta.."
"Kakak? Kakak mau lakuin apa ke Hatma?"
"Tiidaakkk!!" Teriak Hatma membuka lebar-lebar kelopak matanya. Laki-laki ini memburu napas sesudah terlelap dalam mimpi manis nan menyiksa.
Hatma menjeling ke berbagai arah dengan keringat dingin mencicik dari dahi, membasahi sekujur tubuhnya. Dia membelai-belai dada mengupayakan ketenangan datang padanya. Sewaktu mencoba tuk tenang, suara langkah kaki terdengar Hatma.
Dia mendatangi Hatma, Hatma tanpa berpikir jernih mengambil belati di atas meja dan menikamnya waktu mereka berdekatan. Laki-laki berjubah putih ini merangkul Hatma ke dalam dekapan, sementara Hatma menusuk-nusuk punggungnya dengan brutal.
"Ini adalah rumahmu, hakmu adalah milikmu!" Bisik laki-laki yang menutupi wajahnya ini.
Sewaktu dia berbisik pada Hatma, ketukan pintu ini menganggu. Sesudah mendengar bisikan dari laki-laki ini, Hatma segera mengantuk lagi dan terlelap kembali dalam tidurnya. Sementara laki-laki berjubah ini melihat darahnya pada lantai.
Pintu terbuka perlahan-lahan, seorang gadis masuk ke dalam menjumpai remaja lelaki ini tengah tidur pulas. Disusul bibi memasuki kamar melihat kalau Hatma tidur, ditemani oleh seorang gadis yang lagi menyentuh pipi Hatma dengan ekspresi cemas.
"Kalau dia bangun, suruh untuk makan dan pergilah ke ruang tamu.." ucap bibi.
"Nggak usahlah, pada akhirnya itu ketidaksengajaan yang diperbuat Hatma aja. Dia nggak berniat mau ngelakuin itu kok!" jawabnya gadis membela Hatma.
Bibi membuang napas, lalu, menutup pintu rapat-rapat seusai mengatakan hal tersebut. Sementara itu Hatma perlahan-lahan membuka kelopak matanya yang sudah mengatup lama, gadis ini begitu Hatma hendak bangun, selaku orang yang tengah tak sabar menunggu bunga untuk mekar.
Hatma yang baru sadar, dengan samar-samar kurang jelas melihat gadis ini selaku kakaknya dan beralih pada posisi duduk. Segera dia memeluk gadis depan dia, membuat perempuan ini merona merah malu menyadari kedua lengan Hatma merangkulnya, buat pipinya memanas disebabkan rasa malu.
"K-Kamu ngapain Hatma? kita belom nikah, loh."
"Kakak. Kak Nggak apa-apa kalo mau darah Hatma, tapi jangan pergi jauh lagi..." lirihnya pelan. Seketika itu juga gadis ini membelalakkan kedua matanya mendengar ucapan Hatma barusan dengan sangat jelas, benar-benar tanpa keliru sama sekali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Zahra Fitria
semangat Thor!!!
2022-10-04
2