Sesampainya di kota.
Davin langsung melajukan mobilnya menuju ke apartemennya.
Davin turun dari mobil diiringi istrinya masuk ke dalam rumah.
"Aku akan istirahat," ucap Davin ketika baru saja mereka sampai di apartemennya.
Mellisa hanya diam.
"Kamarku ada di sebelah sana." Davin menunjuk ke sebuah ruangan yang tak jauh dari sana.
"Dimana kamar tamu, Mas?" tanya Mellisa.
'Sudah kuduga,' batin Davin.
"Ayo masuk, aku ingin tidur," ajak Davin menarik tangan Mellisa.
"Mas, aku ingin istirahat di kamar tamu saja," ucap Mellisa berusaha melepaskan diri dari genggaman Davin.
"Di sana!" ucap Davin menghempaskan tangan Mellisa agak kasar.
Mellisa berlalu ke kamar tamu yang Davin tunjuk.
Tak lama setelah Mellisa masuk ke dalam kamar, dia mendengar gebrakan pintu, sepertinya itu Davin yang melakukannya.
Davin benar-benar tak habis fikir dengan istrinya itu.
Dia melihat langit-langit sambil rebahan di tempat tidur.
Ponselnya berbunyi, ternyata ada pesan WA masuk dari mamanya.
"Apa kalian sudah sampai?" tanya mama.
"Baru saja sampai, Ma," balas Davin.
"Alhamdulillah Mama lega, kalian baik-baik di sana ya."
"Iya, Ma."
Davin menaruh ponselnya kembali, dia memikirkan sang mama yang begitu berharap.
Davin tertawa kecil, siapa yang tahu bakal seperti ini.
Sementara di dalam kamar Mellisa. Ibunya tentu saja menunggu kabarnya.
Mellisa lalu mengambil ponsel dan mengirim pesan ke ibunya bahwa dia dan suaminya telah sampai.
***
Hari demi hari berlalu, mereka masih tidur sendiri-sendiri.
Sudah seminggu lamanya mereka di sini, Mellisa menghabiskan banyak waktunya di kamar, hanya sesekali keluar untuk memasak dan makan, membersihkan rumah dan mencuci baju.
Kemana Davin suaminya?
Entahlah, Mellisa sendiri tak begitu peduli, dia hanya mendengar beberapa kali larut malam sekali suaminya pulang dan besoknya pagi-pagi sekali dia sudah pergi lagi.
"Kenapa begini ya? aku benar-benar merasa kesepian," ucap Mellisa pada dirinya sendiri.
"Aku ingin pulang ke rumah ibu," ucapnya lagi sambil rebahan di tempat tidur.
Begitulah Mellisa kesepian dan bosan, tak ada bedanya siang dan malam buat dia.
Namun begitu Mellisa tak pernah menyadari jika Davin selalu datang ke kamarnya setiap malam hanya sekedar melihat keadaan istrinya itu baik-baik saja atau tidak.
"Pernikahan seperti apa ini?" tanya Davin pada dirinya sendiri.
"Aku akan biarkan dulu bagaimana sikap Mellisa ke depannya."
***
Pagi ini seperti biasa Davin berangkat ke kantor, dia berangkat agak siang karena bangunnya memang kesiangan.
Meja makan sudah siap dengan hidangan seperti biasa Mellisa siapkan.
Davin duduk termenung melihat makanan di depannya.
"Istriku menyiapkan makanan, tapi tak mendampingiku saat aku makan," gumamnya masih melihat isi meja.
"Mell," panggil Davin.
"Mellisa," panggil Davin lagi agak keras.
Mellisa yang di dalam kamar tak menyahut.
"Aku tahu kamu mendengarnya, cepat Keluar! atau aku dobrak pintunya," ancam Davin membuat Mellisa langsung keluar dari kamar menuju meja makan dimana suaminya menunggu.
Mellisa nampak takut.
"Kamu takut."
Mellisa menggelengkan kepala dan menunduk.
Davin membuang nafas kasar.
"Kemari," suruh Davin.
Mellisa mendekat, dia masih menunduk dan seluruh tubuhnya gemetar.
"Aku tidak akan menerkammu, kenapa gemetar begitu?" tanya Davin dengan nada agak tinggi.
Davin hendak memegang tangan Mellisa, istrinya itu langsung menolak dan kembali masuk ke dalam kamar.
Davin mengejarnya namun tidak keburu, karena Mellisa langsung menutup pintu dan menguncinya.
"Oh." Davin kesal.
"Aku akan berangkat ke kantor, nanti malam tolong masak rendang, aku ingin makan itu," pamit Davin meninggalkan Mellisa.
Di dalam kamar, Mellisa mulai merasa takut, baru kali ini dia melihat Davin yang begitu marah.
Bagaimanapun juga Davin adalah laki-laki, ini adalah rumahnya, dia adalah suaminya, dia adalah imam rumah tangganya.
Mellisa merasa bersalah, padahal bisa saja kan Davin melakukan sesuatu yang lebih.
Mengembalikan Mellisa ke ibunya, misalnya.
Mellisa kembali takut, dia sudah membayangkan hal itu. Pasti ibunya sangat kecewa dan sedih.
***
Davin mengerjakan tugasnya dengan gundah, sesekali dia bergumam sendiri.
"Sebenarnya dia tidak mencintaiku atau takut padaku."
"Davin," panggil Jeny masuk ke ruangan Davin tanpa mengetuk pintu.
"Kebiasaan, tak pernah ketuk pintu, tak pernah salam," sahut Davin tanpa melihat Jeny yang kini ada di depannya.
"Oh maaf, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Davin masih belum menutup laptopnya.
"Bagaimana keadaan istrimu di rumah?" tanya Jeny, salah satu teman Davin di kantor.
"Kenapa tiba-tiba menanyakannya?" tanya Davin balik sambil menyeruput kopi.
Jeny tersenyum.
"Tidak apa-apa, kamu pasti sudah bahagia ya bersama istrimu."
"Tentu saja," bohong Davin tetap melanjutkan minumnya.
"Aku sangat iri dengan istrimu, andai saja aku yang ada di posisinya."
Davin mengerutkan alisnya.
"Apa maksudmu?"
"Memangnya kamu belum mengerti," ucap Jeny kesal.
Davin, karyawan terbaik di perusahaan yang terkenal tampan dan ramah, semua orang menyukainya.
Tak jarang diam-diam banyak rekan kerja yang menyukai dan mengidolakannya, termasuk Jeny.
Namun siapa yang berani mengutarakannya apalagi mereka kini sudah mengetahui bahwa sekarang idola mereka baru saja melangsungkan pernikahan.
"Bagaimana kalau nanti siang kita makan siang bersama di kantin?" tanya Jeny mengajak Davin.
"Maaf, aku sudah pesan makanan, pekerjaanku menumpuk, aku mau makan di sini," tolak Davin.
Jeny semakin kesal, dia merasakan perubahan Davin semenjak Davin menikah.
Sebelumnya Jeny selalu bersama Davin dalam kerja tim maupun waktu senggang, walaupun bukan hanya mereka berdua, ada juga teman kerja yang lain.
"Dia benar-benar menjaga pandangannya, betapa beruntungnya istri Davin," ucap Jeny setelah berlalu dari ruangan Davin.
Jeny kembali ke ruangannya dengan kesal, ternyata di ruangannya sudah ada Vina, temannya yang sudah menunggunya.
"Dari mana?" tanya Vina.
"Dari ruangan Davin," jawab Jeny.
Vina melihat wajah temannya itu cemberut.
"Apa kalian bertengkar?" tanya Vina lagi.
Jeny menggeleng.
"Ini berkas tim kita yang harus kita selesaikan sekarang," ucap Vina menunjuk tumpukan kertas di meja.
Jeny mengangguk.
Baru terasa sekarang, Jeny menyesal. Kenapa tidak dari dulu saja dia mengutarakan perasaannya.
Ah lagi pula bukannya dia perempuan mana mungkin maju lebih dulu, kalau Davin menyukainya pasti Davin sudah mengutarakannya bukan?
"Kamu kenapa Jen?" tanya Vina lagi karena melihat temannya itu tidak fokus mengerjakan tugasnya.
Jeny menatap Vina.
"Bagaimana caranya melupakan Davin?"
Vina mengerutkan alisnya.
"Kamu menyukainya?"
Jeny mengangguk.
Vina hanya tertawa.
"Kenapa menertawaiku?" Jeny tambah kesal.
"Sejak kapan? kamu kan tahu Davin baru saja menikah."
"Aku tahu, makanya aku ingin melupakannya."
"Cari pacar sana," ucap Vina melanjutkan kerjaannya.
Jeny berfikir, mungkin benar juga kata Vina.
Dia lalu melanjutkan pekerjaannya karena hasilnya sudah ditunggu atasannya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
🅝ⓞⓝ🄰 𝓓𝓮𝓪
istirahat sana lagian melisa diem aja
2023-03-03
3
Dewi Payang
Nah bagus, aku suka ada saingan Melissa😁👍
2023-02-01
3
Dewi Payang
Aneh memang si Melisa
2023-02-01
3