“Aku pulang dulu Ra, jangan banyak melamun. Makan, minum susu jangan lupa Vitaminnya. Sekalipun kamu nggak pengen harus di paksa ya. Jangan egois hanya karena rasa sakit. Nikmati kehamilan mu. Ada calon anakmu yang butuh nutrisi” panjang bukan, ini chintya yang kesekian. Dia tidak akan berhenti mengoceh sebelum aku mengangguk. . “jangan pikirkan Ibu Bapakmu, kita sedang bertukar peran, seperti putri yang tertukar tahu nggak” kami tertawa geli. Entah bagaimana takdir bisa mengatur kami begini.
Aku disini tinggal dengan keluarga Chintya. Sedangkan dia, disana menggantikan aku tinggal dengan kedua orang tuaku, lucu sekali dunia memutar kami dengan takdirnya.
“Ma, ingetin Laura minum susu sama makannya di jaga. Dia kalau sudah ngelamun sampai tahun depan juga betah kalau nggak di ingetin” wanita cerewet itu tidak salah, melamun, menyendiri adalah hobiku setelah mengalami goncangan rumah tangga. Rasa sakit, membuatku betah hidup dalam lamunan. Aku merasa hidupku jauh dari keramaian. Ahir-ahir ini merasa sunyi itu menyenangkan.
“Anak mama lebih cerewet dari nenek-nenek” kepala ku putar menghadap Mama, panggilanku untuk ibunya Chintya. Wanita paruh baya itu tertawa geli. Beliau sudah sangat paham dengan kami, tidak ada yang perlu di komentari mungkin pikirnya.
Aku bertemu chintya di awal pendaftaranku di kampus yang sama. Kami mengambil jurusan yang sama. Dia menawarkan tempat tinggalnya sementara sebelum aku menemukan tempat kos. Aku pikir hanya sebulan dua bulan ternyata sampai lulus aku masih tingal dengan Chintya. Keluarganya baik. Ada mama, Mas Arga dan Bi Sumi yang memperlakukan aku seperti keluarga sendiri.
Aku yang datang seorang diri ke kota ini tanpa diantar keluargaku. Aku tidak ingin merepotkan Bapak dan Ibu, kakakku juga punya kesibukan sendiri. Jadilah aku berangkat hanya berbekal nekat. Tak di sangkan takdir mempertemukanku dengan chintya dan keluarganya. Bahkan ketika acara wisuda mereka memelukku erat. Memintaku kembali lagi atau bahkan mencari kerja di tempatku kuliah biar tidak usah pisah sama Mama. Aku masih mengingat pelukan hangat Mama melepasku dengan deraian air mata kala aku pamit pulang. Dan memelukku dengan hangat ketika aku kembali lagi. Aku tidak pernah mengira jalan yang tak pernah aku pilirkan, usia pernikahanku sesingkat ini.
Semua keluarga chintya tahu ceritaku, Mama juga yangenyarankan aku tinggal disini sementara waktu. Tak pernah sedikitpun mama bertanya tentang kisahku. Mama dan Mas Arga hanya diam, tapi memperlakukanku lebih lembut sekarang. Bahkan perhatian Mama jauh lebih besar dari sebelumnya.
“Rasanya Aku capek ngulang ini Ra, kamu hanya kehilangan orang yang kamu cintai. Tapi laki-laki itu sudah kehilangan wanita yang tulus mencintainya. Aku benci air matamu kalau hanya untuk menangisi si Farhan banci. Mulai sekarang belajar ikhlas ya, anggap saja kejadian ini akan menaikkan derajatmu. Aku yakin Tuhan sedang menyiapkan hadiah yang lebih baik setelah kamu lulus ujian nanti” Chintya mendekapku erat. Kami saling berderai. Ada luka yang tak sanggup aku tanggung, dan wanita yang mendekapku sekarang merasakan luka yang sama.
Tuhan selalu menciptakan luka dan obat, menciptakan suka dan duka di waktu yang sama. Memberikan hikmah dalam musibah dengan baik. Aku merasa sangat dicintai setelah merasa terbuang, merasa sangat diinginkan setelah terhina. Mereka selalu ada ketika aku di campakkan. Sakit memang, dan keluarga Chintya jauh lebih sakit melihatku menderita.
Kami mengurai pelukan saling mengusap air mata. Dia yang lebih berderai dariku. Air mataku tak sederas kemarin mungkin sudah terkuras habis setelah mengalami peristiwa pahit.
“Aku nggak habis pikir, kenapa Farhan tega melakukan ini sama kamu Ra, kurang baik apa kamu, kurang ngalah gimana lagi sama keluarga mereka coba” Kembali Chintya mendekapku erat, tangisnya mulai lagi.” Dan anak ini, dia harus jadi korban. Bahkan melihat dunia saja belum tapi cobaan sudah menghantamnya, terlalu berat untuk Dia” dadaku sesak, karena janin ini, aku memilih keluar dan menyerah setelah mertuaku mengsusirku keluar dari rumahnya malam itu.
“Nggak usah di bahas lagi Chin, nanti laura sedih lagi” Ahirnya mama menghampiri kami. Mengusap kepalaku dan chintya dengan lembut. “ Seseorang tidak akan selamanya sedih, ada masanya untuk bahagia. Ra, Mama sayang banget sama kamu, sama calon cucu mama juga, yang sabar ya, nak” aku tahu. Mama begitu menyayangi kami. Aku tidak tahu bagaimana caranya membalas semua kebaikan mereka.
“Tuh, kasihan abangmu sudah nunggu dari tadi. Tidak usah khawatir, Laura disini aman. Ada Mama sama Bi Sumi yang jaga. Ada Arga juga” suara klakson mobil menghentikan tangisan kami, mengurai pelukanku dan Chintya.
“Pokoknya kamu harus sehat Ra, aku datang tiap minggu, itupun kalau Mas Doni nggak rewel” kami tertawa mendengar penuturan Chintya. Maksudnya rewel, terkadang Mas Doni meminta bertemu klien di ahir pekan. Tapi bonusnya di tambah, karena dianggap lembur.
“ Jangan Mas Doni dibuat alasan kamu nggak pulang, aku nggak bisa tidur sebelum dengar kamu cerita” itu hanya alasanku. Untuk saat ini aku benar-benar tidak ingin jauh dari wanita keras kepala ini.
“Janji, ini kan rumahku Ra, kamu lupa ya atau jangan-jangan kamu mau ngambil Mama dari aku. Kayaknya sekarang Mama lebih sayang sama kamu” Wajahnya dibuat seserius mungkin, kedua alis Chintya bertaut lucu sekali mukanya. Aku tertawa geli melihat ekspresi yang di buat chintya.
“Aku bahagia lihat kamu ketawa lagi, jangan sedih lagi ya” ucapnya sambil mengusap pipiku. “oiya, adek jangan nyusahin Mama kalau nggak ada tante ya, jadi anak yang baik. Yang kuat seperti Mama. Bye, sayang tante balik dulu” Chintya mengusap perutku. Dia berbicara seolah janinku bisa mendengar. padahal perutku masih rata usianya baru empat minggu.
“Istirahat juga penting untuk janin. Oh ya, aku sleep call tiap malam jangan bobo dulu sebelum aku telpon” kami saling perpegangan. Terlalu banyak janji yang dicapkan Chintya. Tapi aku sangat bersyukur punya chintya, cerewetnya karena ingin semua yang terbaik buat aku.
“Salam buat bapak dan ibu, titip mereka ya” ucapku sebelum ahirnya Chintya mengangguk. Kemudian memelukku lagi. Memeluk Mama, Bi Sumi terahir.
Kami melambaikan tangan sampai mobil yang membawanya menjauh dan tak terlihat lagi. Kembali sepi melandaku. Tak ingin rasanya menangisi laki-laki se lemah Farhan. Bahkan dia tidak membelaku ketika ibunya mengusirku dengan kejam.
Chintya benar, aku tidak mengenal Farhan sebagai anak Mama. Aku hanya mengenalnya sebagai laki-laki baik yang menghormati dan mencintai ibunya. Aku pikir Dia akan melakukan hal yang sama padaku.
Ku langkahkan kaki memasuki kamar, sunyi. Dan rasa sakit kembali datang
Tentang Mas Arga, kakak chintya tidak tinggal di rumah Mama, Dia tinggal di Apartemen yang di beli dari hasil keringatnya sendiri. Mas Arga membuka beberapa usaha sama teman-teman kuliahnya. Jadi aku tidak perlu merasa risih tinggal di rumah mereka. Mas Arga hanya datang sesekali, di ahir pekan atau jika Mama yang meminta datang.
Aku kangen chintya, baru beberapa menit dia pergi hatiku sudah merasa benar-benar sepi. Sakit yang menderaku rasanya tidak mungkin aku tanggung. Kehilangan cinta, bahkan kepercayaanku pada laki-laki sirna, hanya karena ulah Mas Farhan. Aku kira kami akan menjadi pasangan yang sempurna, saling mencintai hingga tua. Berbagi suka dan duka membangun keluarga bahagia bersama buah hati kami kelak.
Hanya enam bulan, waktu yang mampu aku pertahankan. Seharusnya dari bulan pertama aku tinggal dengan keluarga Mas Farhan sudah melihat banyak sekali hal-hal yang tidak wajar. Bahkan aku meminta Mas Farhan untuk mengontrak rumah sederhana untuk kami. Aku menerima penolakan tentang renacanaku hidup mandiri. Berpisah dengan ibu mertuaku kala itu. Bahkan dengan tegas Mas Farhan menolakku.
Mereka memberikan sayatan luka yang cukup dalam, sakitnya akan aku ingat sampai nanti. Bahkan jika tuhan mengijinkan aku tidak ingin melihat wajah mereka yang menjadi sebab aku tersakiti. Cukup sudah. Aku yakin waktu akan menyembuhkan semuanya.
“Mbak, di tunggu ibu makan malam” suara Bi Sumi, bahkan aku tidak tahu kapan wanita itu masuk ke kamarku. “Jangan ngelamun terus Mbak, saya nggak tega lihatnya. Saya panggil berkali-kali Mbak nggak denger, ya” Aku berdiri mengulas senyum pada Bi Sumi. Tatapan prihatin wanita paruh baya itu aku terima. Di mata mereka aku memang terlihat menyedihkan. Pun dengan kisah hidupku. Aku tak ingin menyangkal itu semua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments