“saya tidak punya alasan untuk menahanmu disini. Semua keputusan ada di tanganmu Ra, hanya saja ada syaratnya” suaranya terjeda. Pengajuan suratku sudah di ACC sepertinya, dia memegang map yang tadi aku letakkan di mejanya.
Entah bagaimana perasaan ku, bahagia tentu tidak, sedih pasti. Harus barahir se naif ini kehidupanku. Karir dan kehidupan rumah tanggaku kandas dalam waktu bersamaan. Usiaku masih muda, tentu peluang berkarir masih terbuka lebar. Tapi bagaimana dengan rumah tangga. Rasanya aku tidak ingin mengulang lagi. cukup satu kali rasa sakit yang menerpaku, jangan ada kedua ataupun ketiga.
“kamu selesaikan urusan tagihan dengan klien, cari pengganti yang bisa melakukan semuanya seperti kamu. Setelah itu silahkan kamu keluar saya tidak punya hak untuk melarang” suara Mas Doni menyentakku dari cengkraman rasa sakit. “Semoga di tempat baru, karir mu lebih bagus. Tapi kalau kamu tidak berhasil kembalilah, dengan senang hati kamu masih diterima disini” lanjutnya lagi dengan suara lemah.
Suara Mas Doni semakin menyiksaku, bait kalimat yang terucap seolah mengiris luka, meninggalkan jejak berdarah. Mas Doni orang baik, sayang sekali harus ikut terlibat dalam peliknya rumah tanggaku sekalipun tidak dia sadari. Seandainya aku punya pilihan lain, aku akan memilih jalan itu. Sayangnya cinta yang masih membara tidak akan mungkin bisa membuatku cepat sembuh dari sakit ini. Bunga pernikahan seharusnya masih merekah dan harum. Tapi tiba-tiba layu dan tak ada tebaran wangi yang tercium.
Bertahan hanya akan menyiksaku dalam kesakitan, menjauh pun sebenarnya bukan jalan keluar. Mau bagaimana lagi, melupakan dan mengikhlaskan adalah keinginanku saat ini. Demi hati yang ternyata terlalu dalam mencinta.
Dia laki-laki sempurna yang memujaku bak dewi, meratukanku setiap hari. Itu dulu ketika masih masa pacaran. Memang terlihat manis, bahkan sangat manis.
Bukan perokok, bukan peminum tidak juga main perempuan, suamiku tidak memiliki semua sifat buruk itu. Laki-laki tampan dan sabar jangan lupakan dia begitu menyayangi ibunya, sebagai tempat ridho mencari surga ditelapak kaki wanita yang melahirkannya. Bukankah begitu agama mengajarkan.
“Saya harap kamu menemukan penggantiku secepatnya” aku tahu Mas Doni tidak menginginkan ini, begitupun aku. Kami sama tersiksanya dengan keadaan ini. Seharusnya aku mengembangkan karirku disini. Bersama mereka yang sudah kuanggap keluarga, menua bersama menikmati hari tua hingga purna tugas bersama. Tapi nyatanya itu hanyalah hayalanku. Kenyataannya Tuhan punya rencana lain tentang jalan hidupku.
“Maafkan saya mas, maaf banget” ulangku, meyakinkan mas Doni kalau aku pun sama beratnya untuk keluar dari zona nyaman dalam karirku. “Saya tidak punya pandangan siapa yang bisa menggantikanku disini, takut tidak sesuai dengan keinginan mas Doni” lanjutku lagi.
“Makanya tetap kamu yang pegang semuanya Ra, saya sudah mempercayakan sama kamu. Bahkan perusahaan ini semuanya kamu yang pegang. Masalah gaji saya akan naikkan” bukan, bukan itu masalahnya. Bukan tentang materi. Aku ingin pergi menjauh hanya demi kenyamanan hati.
“Gaji saya disini sudah lebih dari cukup mas, saya harap sepeninggal saya kelak perusahaan ini bertambah besar dan maju” ini hanya penghiburan untuk Mas Doni. Rasanya aku ingin menghilang dari hadapannya, membicarakan tentang rencana Keluarku dari perusahaan ini hanya menambah rasa tidak enak hati, menumpuk rasa bersalah yang semakin menggunung.
“Ayo berangkat, mereka sudah on the way katanya” untuk kali ini Mas Marwan menyelamatkanku dari rasa canggung. Aku bisa sedikit bernafas lega. Merapikan berkas yang sudah di bubuhi tanda tangan aku beranjak. Menghampiri Mas Marwan di pintu. Kebiasaan laki-laki ini kalau masuk ruangan tanpa permisi tahu-tahu nongol saja. Kami sudah mengerti dengan kebiasaannya, tidak pernah terganggu.
“Permisi dulu Mas, kita berangkat” Pamitku pada Mas Doni
“Saya harap kamu bisa menyelesaikan secepatnya, ketika kamu pergi tidak ada beban nantinya” aku lirik Mas Marwan, khawatir mendengar kalimat Atasanku. Belum saatnya mereka mengetahui rencanaku. Apalagi Mas Marwan, orang yang sudah ku anggap kakak di kantor, tentu dia tidak akan berhenti bertanya sebelum mendapat jawaban memuaskan.
“Kamu mau pergi kemana Ra?” Nah, kan. Seharusnya aku sudah menduga jarak dari meja kerja Mas Doni dengan pintu tidak terlalu jauh, dan benar saja, yang aku takutkan terjadi. Mas Marwan mendengar percakapan terahir kami. Tepatnya, kalimat penutup sebelum aku pergi tadi.
“salah dengar Mas” mencari celah, agar pembicaraan ini tidak berlanjut.
“Saya belum pernah ke THT lho, dan saya masih muda kalau kamu lupa” aku tertawa keras. Kadang candaannya yang terdengar garing justru membuatku terpingkal. Laki-laki Humoris kalau dikantor. Entahlah kalau di rumah. Setidaknya kehidupan perkawinan Mas Marwan sudah masuk usia ke lima. Dia suami dan ayah yang baik sepengetahuanku. Sikapnya yang pengayom untuk junior dikantor, sedikit memberikan gambaran bagaimana laki-laki ini memperlakukan keluarga kecilnya.
“Bisa jadi karena kena Virus Komputer atau PC dikantor” menjawab candaan Mas Marwan, juga berusaha mengalihkan topik yang tidak ingin aku bahas.
“Ah, iya juga. Kemarin saya me scan Virus di laptopmu lupa nggak pakai masker, Ya Tuhan, bagaimana ini. Antar saya Vaksin kerumah sakit sekarang Ra. Takut nularin anak istriku dirumah” aku semakin terpingkal. “pantas, kemarin laptopmu batuk-batuk terus gitu ada sesak katanya. Ini tidak bisa dibiarkan. Kayaknya perlu pengadaan masker dan handsanitizer untuk semua komputer dan laptop kantor” malah diteruskan, membuat perutku kram karena kebanyakan tertawa.
“Tahu nggak Ra, Mas bahagia lihat kamu tertawa lagi. Sudah sebulan lebih lihat kamu murung terus di kantor. Ada apa Ra, cerita. Mungkin Mas bisa bantu, yah paling tidak bacot ku ini bermanfaat” aku terdiam, tawaku terhenti. Aku tahu, semua orang melihat perubahanku yang tiba-tiba. Tapi aku salut, tidak seorangpun yang bertanya aku kenapa. Termasuk Mas Marwan. Baru sekarang dia bertanya. Mungkin mereka melihat diamku sudah berlebihan.
Aku bukan orang yang membawa masalah rumah ke kantor, begitupun sebaliknya. Aku akan tertawa lepas melupakan semua masalah dirumah dan kembali ceria sebagai Laura yang ramai dan berisik. Tapi tidak untuk sebulan terahir. Ketika aku harus keluar dari rumah suamiku karena di usir. Yap, kalian tidak salah dengar aku di usir mertuaku keluar dari rumahnya hanya karena aku membantah ucapannya setelah sekian lama bungkam. Dimana suamiku, ada. Dia diam tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya tertunduk dengan wajah sedih entah dibuat-buat atau memang beneran sedih aku tidak tahu. Dan hebatnya, dia tidak berani membela ku di depan ibunya.
“Kalau nggak mau cerita tidak apa-apa myas paham. Tapi jangan tiba-tiba diam. Takut kesambet Laura. Dekat-dekat sini nggak ada para normal” candaan lucu Mas Marwan tidak terdengar lucu lagi ditelingaku.
“Lho, belok kanan kantor inspektorat, kenapa lurus” protesku. Aku bingung, sudah hampir masuk halaman kantornya malah lurus. Aku tatap Mas Marwan dengan tanda tanya dikepala.
“pertemuannya di rumah makan seafood yang baru buka itu Ra, Mas Doni nggak ngasih tahu kamu” lha, aku yang tidak bertanya. Mungkin mereka pikir aku sudah paham. “jangan banyak melamun Ra, itu di chat WA grup baca. Sudah jelas” Aku belum baca sama sekali.
Bahkan ahir-ahir ini malas membuka chat WA. Karena terlalu berharap suamiku menghubungiku sekedar bertanya kabar atau keadaanku setelah aku tidak tinggal dirumahnya. Tapi aku harus menelan kecewa berkali-kali. Dia sama sekali tidak menghubungiku. Begitu cepatnya dia berubah, melupakan semua tentangku. Wanita yang katanya paling di cintai dalam hidupnya.
Aku tarik nafas, menghalau sesak yang manghimpit. Mencari pasokan oksigen lebih banyak.
“Maaf mas, saya kurang teliti” memang begitulah aku sekarang. Fokus ku hilang entah kemana.
“bukan hanya itu Ra, bahkan kamu tidak pernah lagi komen di group” membuka saja rasanya ku tidak sanggup apalagi baca chat. Mungkin harapanku terlalu tinggi untuk mendapat perhatian dari suamiku sekalipun hanya lewat obrolan di dunia maya.
“Sudah sampai, jangan lupa berkasnya di bawa, cek lagi takut ada yang tertinggal” pesannya padaku sebelum turun dari mobil. “Fokus Ra, ini proyek besar. Apalagi melibatkan instansi pemerintahan. Mereka orangnya jeli. Sedikit kesalahan, bisa panjang pertanyaannya nanti” lanjutnya lagi, melepas seatbelt setelah mematikan mesin. Kami bersiap turun.
Aku cek lagi kelengkapan berkas takut ada yang tertinggal. Untunglah semua sudah lengkap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Neneng Hernawati
semangat Laura percaya akan ada pelangi setelah badai💪💪
2022-08-29
0