BAB 3. SEMUANYA SELESAI

Ku hempaskan tubuh ke kasur. Lelah, benar-benar lelah. Ahirnya usai sudah karir dan rumah tanggaku. Bersiap untuk mengemasi barangku kedalam koper rasanya malas sekali. Aku ingin istirahat, tidur sehari penuh tanpa mempedulikan apapun. Aku ingin masa bodoh dengan semuanya. Kalau bukan karena dukungan orang-orang yang masih mencintaiku entah bagaimana caranya aku mengahadapi badai ini. Sesingkat ini perjalanan rumah tanggaku.

Dulu, aku akan perduli dengan omongan orang. Tapi sekarang, aku akan menjalani hidupku tanpa menghiraukan apa kata mereka. Karena bahagia aku yang tentukan. Hati dan pikiranku tetap sehat karena aku yang memperjuangkan. Peduli setan dengan mereka yang hanya bisa menilai. Menjadi wanita dengan status tanpa suami itu memang berat. Tapi lebih berat kalau aku masih bertahan, mungkin hidupku akan lebih hancur. Aku yang akan memperjuangkan kebebasanku sendiri. Merdeka sebagai individu yang pernah terkekang. Berjuang itulah tujuan hidupku untuk saat ini, demi aku dan demi buah cintaku yang bahkan kehadirannya saja Dia tidak tahu, atau mungkin tidak diinginkannya.

Didalam rumah itu aku terbiasa menerima perlakuan tidak adil. Sejak hari pertama aku menginjakkan kaki melewati pintu utama setelah sah menjadi seorang istri. Bahkan ibu mertuaku mengingatkan bahwa surga istri ada di telapak kaki suami dan surga suami ada ditelapak kaki ibunya. Aku yang tidak mengerti konsep surga yang mereka maksudkan hanya mengiyakan. Karena aku yakin bahwa suamiku bisa melakukan itu semua. Dia akan menempatkan perannya sebagai suami bagi istri dan juga seorang anak bagi ibunya.

Hingga pada ahirnya hal yang tidak terpikirkan terjadi. Rumah tanggaku tidak berjalan seperti pada tujuan. Laki-laki yang aku panggil suami tidak pernah menjalankan kewajibannya selain nafkah bathin. Dia hanya berperan sebagai anak yang baik tapi tidak sebagai suami. Dari sanalah aku paham konsep surga yang mereka sebutkan ketika diawal aku memasuki rumah tanggaku.

Janji untuk tidak tinggal satu atap dengan mertua diingkarinya, bahkan dengan tegas suamiku menolak dengan alasan kedua orang tuanya sudah sepuh dan adiknya masih sekolah butuh biaya.

“jangan pernah mengajak Farhan untuk keluar dari rumah ini, kamu hanya orang baru yang tdak bisa merubah anak saya. Dari awal saya katakan bahwa surga anak laki-laki itu pada ibunya. Jadi urungkan niatmu untuk keluar dari rumah ini” kata-kata pedas pertama yang aku terima.

Kaget, itu yang kurasakan. Dari mana ibu tahu padahal aku hanya membicarakan ini dengan Mas Farhan suamiku berdua di kamar, dengan pintu tertutup dan suara pelan. Apakah mertuaku suka menguping. Ternyata tidak, kalimat berikutnya membuatku lebih kaget lagi.

“semua hal yang kalian rencanakan, harus melalui persetujuan saya. Farhan terbiasa menceritakan apapun pada ibunya karena saya yang mendidiknya menjadi anak yang patuh dari kecil, dan lihat hasilnya, saya berhasil bukan” suamiku tidak pernah menunjukkan bahwa dia beperilaku begitu selama kami menjalani penjajakan.

Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk kami saling mengenal, dan selama itu, aku mengenalnya sebagai seorang lelaki yang baik, sopan bertanggung jawab. Tidak pernah menunjukkan bahwa laki-laki itu masih berlindung di bawah ketiak ibunya. Seandainya dari awal dia menceritakan semuanya bagaimana dia menjalani hidupnya, akan menjadi pertimbangan bagiku untuk melangkah sampai ke pernikahan.

Ku tarik nafas, hanya sesal yang menderaku tak berkesudahan. Lebih baik pernikahan yang singkat dari pada terpuruk dalam luka yang tak berkesudahan. Berpisah, bahkan bercerai tidak pernah menjadi bayanganku selama ini. Ternyata Tuhan punya rencana lain. Aku yakin akan ada pelajaran yang ingin Tuhan ajarkan mengapa aku bertemu dengan Mas Farhan. Ikuti alurnya. Biarkan sang pemilik hidup mengatur semuanya, aku hanya menjalani sesuai kapasitasku sebagai ciptaannya.

“Belum, berkemas Ra, Kalau berat kamu tetap disini. Ibu sama bapak akan senang kalau kamu masih tinggal dirumah. Kakak mu sudah punya rumah semua, kalau kamu juga pergi kami akan kesepian” ibuku. Wanita yang melahirkanku. Mereka yang selalu ada ketika aku terpuruk,seperti saat ini. Wanita yang memperlakukan semua menantunya seperti anak kesayangannya. Karena aku tiga bersaudara perempuan semua. Manusia yang tidak pernah membedakan kasih sayangnya diantara kami.

“Sebenarnya berat bu, tapi untuk sementara biarkan saya pergi dulu. Rasanya tidak akan mungkin bisa keluar dari rasa sakit ini kalau setiap hari masih melihat wajahnya, kalau sudah waktunya Rara akan pulang, tidak membawa luka lagi. Ibu doakan Rara ya” aku anak terahir. Sifatku selalu dimanja, semua keinginanku akan dikabulkan. Ibu adalah wanita yang menjadi idolaku dan ayah laki-laki yang akan menjadi panutanku ketika aku mencari pendamping hidup. Tidak ada satu pun orang tua di dunia yang ingin melihat anaknya menderita. Tapi, takdir membawaku pada keadaan seperti ini.

Dari kecil kakakku akan pasang badan jika aku tersakiti, tapi untuk saat ini. Mereka memaksaku untuk mundur. Tidak ada satu orang pun yang membelaku untuk tetap bertahan. Bagi mereka keterlibatan mertuaku terlalu jauh dalam rumah tangga kami dan Mas Farhan tidak pernah Tegas dengan ibunya. Jangan mempertahankan rumah tangga jika kepala keluarganya tidak menjalankan perannya dengan baik.

Kalau dilanjutkan tidak akan pernah ada perubahan sikap Mas Farhan, laki-laki boleh berbakti pada ibunya. Tetapi suami punya kewajiban melindungi, dan memberikan rasa aman pada istrinya. Tapi tidak berlaku dalam kehidupan rumah tanggaku. Semua peraturan datangnya dari ibu mertua. Objeknya semua anggota keluarga yang ada di dalam rumah, tanpa terkecuali.

Aku tidak pernah merasa sedang membangun rumah tangga, menuju kehidupan pernikahan. Aku malah merasa sedang terjebak bermain rumah-rumahan dengan Mas Farhan. Baru sebulan perkataan kasar sudah mulai aku terima. Mencoba bersabar karena keyakiannku, bahwa semuanya hanya bersifat sementara. Aku butuh penyesuaian dengan keluarga baruku. Tidak pernah terpikir bahwa keadaaannya semakin hari semakin memburuk aku bahkan melihat ketakutan di Mata suamiku ketika ibunya berwajah masam, tanpa mengeluarkan suara kemarahan. Ekspresi wajahnya mampu mendatangkan aura mistis didalam rumah.

Semakin hari perubahannya semakin jelas, aku yang berusaha menyesuaikan tapi merasa tertinggal. Peraturan demi peraturan baru semakin membuatku tersiksa. Bahkan ketika aku mencoba menceritakan perlakuan tidak enak ibu mertuaku hanya jawaban yang membuatku semakin kecewa terhadap Mas Farhan. “ Apa salahnya mengikuti kemauan ibuku, dia wanita yang sudah melahirkan suamimu”. Bahkan kemauan yang dimaksud Mas Farhan itu sudah melampui ambang batas sebagai seorang ibu mertua.

Semakin aku mencoba bersabar, semakin banyak kesalahan yang aku buat. Bahkan aku sendiri tidak tahu kesalahan yang mana yang mendatangkan murka begitu hebat di pagi itu. Dua hari setelah aku sah menjadi istri dan menantu keluarga mereka. Sakit hati pertama untuk kesalahan yang menurutku sepele.

Terpopuler

Comments

Sulati Cus

Sulati Cus

betul ibarat kapal, jika nahkoda nya oleng gmn mau berlayar me ding mundur drpd karam

2023-03-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!