Jarum jam yang pendek mengarah pada jam 3 dan yang panjang berdiri lurus pada angka 12. Seperti sebuah alarm yang selalu mengagetkannya. Asyi bangun setiap sepertiga malam akhir.
Kakinya melangkah ke kamar mandi, menyalakan kran air dan membasuh tangan, wajah, dan semua anggota wudhu. Setelah berdoa ia kembali ke kamar, membentangkan sajadah, menghadap kiblat dengan balutan mukenah putih bersih, kedua tangan diangkat seraya takbiratul ihram. Niat dalam hati melaksanakan shalat tahajud. Suasana hening, senyap merasuki sanubari, hatinya terenyuh dalam kalam Allah hingga mengutuskan cairan bening mengalir di pipi putih kemerahan itu.
Bayangan dosa masa lalu terus mengusik hatinya hingga tangannya terus menadah ke langit, memohon ampunan atas diri yang hina.
"Ya Rabb ... hamba yang hina ini tak berhenti memohon ampunan padamu, kesilapanku yang telah merenggut semua yang berharga dari diriku. Sesungguhnya hanya pada-Mu sang pemilik hidup ini. Hamba hanya ingin Engkau tempatkan posisi yang terbaik untuk orangtua hamba, dan limpahkan semua dosanya padaku, agar mereka tak menanggung dosa anaknya ini."
Suara isakan tangis Asyi melekat pada daun telinga Aina. Ia pun mengerjap lalu membuka lebar matanya.
"Teteh, menangis lagi?" tanya Aina serak sambil mengucek matanya, masih fokus menatap wajah Asyi dari samping yang masih basah, bukan dengan wudhu, tapi dengan air mata.
Asyi menyeka air matanya, menoleh pada Aina sambil menyungging sebuah senyuman yang menegaskan ia baik--baik saja.
"Aina, mau shalat tahajud?" tanya Asyi berdalih. Ia tak ingin Aina terlibat dalam masa lalunya yang pasti akan membuatnya semakin kepikiran dan mungkin akan mengangapnya hina dan kotor.
Aina mengangguk kepala. Ia bangun sambil menadahkan tangan ke langit dan berkata, "Allahamdulillahilladzi ahyaanaa ba'dama amaatanaa wa ilahinnusyur, Amin." Mengusap wajahnya, ia pun berjalan ke kamar mandi.
Sambil menunggu azan datang, Asyi meraih mushaf Alquran pemberian almarhum ibunya, hatinya kerap bergetar saat membuka dan membacanya perlahan sambil meresapi isi yang dibacakannya.
Begitu azan subuh datang, sesuai dengan peraturan pesantren, semua santri diwajibkan shalat berjamaah kecuali bagi perempuan yang memiliki hari spesial setiap bulannya, namun mereka tetap harus hadir untuk mendengar tausiah usai shalat subuh meskipun mereka hanya bisa duduk di teras masjid.
Setiap kaki yang melangkah masuk ke dalam masjid, selalu bergetar berucap, "Allahummaf tah lii abwaaba rahmatik." (Ya Allah, bukalah untukku pintu pintu rahmat-Mu)
Dan dilanjutkan dengan niat 'Nawaitul i'tikafa fii hadzal masjidi lillahi ta'ala' (saya berniat i'tikaf di masjid karena Allah ta'ala) kala pantat mereka sudah merapat pada lantai masjid.
Begitu usai azan, semua orang tegak berdiri guna melaksanakan shalat qabla subuh atau lebih dikenal shalat fajar 2 rakaat. Sesuai dengan sebuah hadist Rasulullah, 'dua rakaat shalat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya' (HR Muslim).
Baru setelah itu, muazin kembali mengumandangkan iqamah dan semuanya ikut shalat subuh berjamaah.
Kegiatan ini terus bergulir setiap hari. Ketika matahari sudah menampakkan wujudnya, baru mereka diizinkan kembali lada kegiatan masing-masing.
...****************...
Hari yang ditunggu telah hadir menyapa. Senyuman terukir indah di bibir setiap santri menyambut kedatangan HUT Darul Islam. Bukan acaranya yang penting, melainkan kedatangan orangtua yang selalu dinanti-nanti.
Di bawah pohon menghadap ke arah tenda tamu undangan, terlihat wanita bercadar duduk sendirian sembari memperhatikan satu persatu dari mereka yang menyambut kedatangan orangtuanya. Senyuman pelepas kerinduan, pelukan hangat dan kecupan di punggung tangan orangtua yang dibalas dengan ciuman di kening sang anak.
Tak terasa senyuman yang bersemayam di balik cadar memudar saat kerinduan pada sosok ayah dan ibunya kembali melanda hati. Buliran-buliran air mata pun berjatuhan.
Sosok gadis berjilbab pink terus menatapnya, hingga tergerak mendekatinya.
"Teteh, menangis?" Aina mengernyit kening, hatinya larut dalam tangisan Asyi.
"Nggak kok! Teteh hanya terharu saja." Asyi segera menyeka air matanya.
"Kalau begitu ayuk kita ke rumah Abi! ... Abi sudah menunggu kita," ajak Aina dengan memegang tangan Asyi.
...****************...
Di kediaman KH Mahmud terlihat seorang lelaki berkulit putih, alis tebal dengan bulu-bulu pendek merapat pada rahang yang lebar duduk berhadapan dengan KH Mahmud.
"Sudah lama atuh Ujang Salman tidak ke berkunjung ke rumah Abah," ucap KH Mahmud. Para santri kerap memanggilnya Abah dan hanya anak-anaknya yang memanggil Abi.
"Saya belakang ini sibuk, Abah. Semenjak papa meminta saya menggantikan pekerjaannya, serasa saya tidak cukup waktu, bahkan Abah tau sendiri usia saya sudah kepala tiga tapi belum sempat mencari istri," ujarnya terbuka dengan sang guru.
Langkah kaki kedua wanita diiringi salam membuat Salman menoleh. Ia menyapu pandang saat menangkap sosok wanita bermata indah itu. Jilbab hitam dan kain hitam yang menutupi sebagian wajahnya dengan alis lebar membuat manik-manik mata semakin memancarkan aura kecantikannya.
Bibirnya tergerak mengucapkan, "Masya Allah, cantik sekali."
Suara yang kening tak begitu jelas di telinga KH Mahmud. "Ada apa atuh?" tanyanya mengernyit kening.
"Eng—nggak, Abah," jawabnya terbata-bata segera menjatuhkan pandang pada KH Mahmud.
"Abi lagi ada tamu ... kalau begitu kami permisi ke belakang dulu," tutur Asyi sembari melihat Salman yang terus memandang ke wajahnya. Ia tersipu malu lalu menunduk wajah.
"Ke sini dulu atuh! Abi mau mengenalkan sama kalian dengan salah satu alumni yang sudah mengharumkan nama pesantren kita." KH Mahmud melambaikan tangan yang terlihat butiran tasbih yang melingkar di jari-jarinya.
Salman tersenyum malu, sementara Aina dan Asyi masih bingung.
"Jadi, Ujang Salman inilah orangnya," Ia tersenyum lebar terlihat gigi yang masih rapat dan kokoh diusianya memperkenalkannya.
Aina tergeming, mata terus menatap sambil mengetuk dagu dengan jari telunjuk. "Kang kasep, eh, maksudnya Kang Salman ini sahabatnya Kang Iqbal betul?"
"Iya, Aina. Ini Akang Salman .. Aina udah besar ya, udah cantik, sholeha lagi." Bibir begitu enteng memuji Aina tapi sorotan mata masih tertuju pada sosok wanita yang belum dikenalnya, yang terus menekukkan wajahnya menghindari kontak mata langsung.
Aina tersipu malu. "Akang bisa saja atuh. Aina jadi malu," ia tersenyum mencubit-cubit bajunya.
Hati sudah meronta rasa penasaran, Salman segera menatap KH Mahmud. "Oh ya Abah, yang di sebelah Aina ini siapa? Sepertinya baru di sini?" lirikan masih utuh pada Asyi yang enggan berucap.
"Ini Neng Asyi, anak sahabat Abah."
Salman mengangguk-angguk kepala.
"Abi acaranya hampir dimulai, semua tamu undangan dan para santri sudah hadir. Mari kita ke sana!" Asyi langsung berdalih, tak ingin terus terlibat pada lirikan yang menodai mata.
"Baik. Sebaiknya kita semua ke sana!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Novi Insani
lirikan menodai mata 🙈🙊
2022-05-20
0
Sukmawati Wong
Semangat yah
2021-12-15
0
Naila nuraisah
👍👍👍♥️
2021-05-21
0