Acara HUT kali ini menjadi lebih terkesan saat Salman menjadi pengisi acara. Ia menceritakan perjalannya menjadi alumni pondok pesantren, hingga tembus menjadi mahasiswa di Universitas kebanggaan muslim dunia yang ada di Timur Tengah.
"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini selama kita mau mencoba. Karena Allah telah berfirman dalam surah Ar-rad ayat 11 innallaha laa yughairu maa biqaumi hatta yughairu maa bi anfusikum, sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang menghubah nasibnya. Jadi yang diperlukan saat ini diri kalian sendiri bagaimana mengepush agar lebih giat lagi dalam belajar."
Asyi terpukau mendengar ucapan Salman yang berisi ajakan kebaikan. Tubuh atletis yang terbungkus baju koko putih liris cokelat keemasan memaparkan kegagahannya. Tatapan tanpa paksaan masih fokus pada lelaki itu hingga ia tersadar segera menekukkan wajahmu saat bola mata lelaki itu tertuju padanya.
Setiap memandangnya, aliran darah mengalir deras, jantung berdegup kencang. "Apakah ini yang dinamakan tanda-tanda jatuh cinta?" gumamnya.
Asyi terus merapalkan istigfar, entah apa yang terjadi, benteng pertahanan yang selama ini disemai sedikit demi sedikit mulai menunjukkan kelemahannya. Jantung mulai berdebar, pikiran masih menyiarkan bayang-bayang Salman yang terkesan begitu sempurna dalam pandagannya.
...****************...
Acara berakhir dengan ditutup doa dan permohonan maaf atas kesilapan dari MC. Semua para tamu undangan berjalan menuju ke meja makan.
"Ustadzah!" suara panggilan dari seorang gadis remaja nyaring terdengar hingga menghentikan langkah kaki Asyi.
"Assalamu'alaikum, Ustadzah," ucap Maira yang menghampiri Asyi.
"Wa'alaikum salam, Ada apa?" tanya Asyi. Suaranya sangat lembut bahkan burung yang berterbangan ikut berhenti kala mendengar suaranya yang halus nan lembut.
"Ustadzah, euuu ..." Asyi mengernyit kening. "Itu, mau nggak kenalan sama Kakaknya Maira?" tanya Maira tanpa basa basi dengan maksud sesuatu.
"Boleh." Asyi tanpa ragu menolak, ia sudah memikirkan Maira akan mengenalkannya pada saudara perempuan.
Dari sisi kiri Mira menarik tangan Salman tanpa perlawanan menghampiri Asyi.
"Ustadzah, ini Kakak kami, Kak Salman." Mira begitu semangat dan kompak dengan adiknya, Maira untuk memperkenalkan mereka berdua, seperti ada sesuatu harapan yang terlihat dari sorotan mata mereka.
Asyi seketika membelalak. "Oh ini Kakaknya kalian?" Mengangguk cepat.
"Euu, anu ... maafkan adik-adik saya, Ustadzah. Mereka sangat nakal-nakal. Bahkan saya saja sampai diseret ke sini ... Oh ya, kalau Ustadzah jengkel dengan mereka, ikat saja di tiang bendera," cerocos Salman menghilangkan kecangguannya.
"Eh, eh, eh! Enak banget fitnah kita, Oh ... Minta dilaporin ke mama sama papa ni kayaknya ni," berdecak sebal dengan bibir yang mengangkat sebelah. "Hmm, baiklah kalau begitu, Dek! Habis acara ini telpon mama! Kita aduin semuanya biar dijitak kepala Kakak," melirik sinis.
Asyi tersenyum kecil, mereka begitu menggemaskan.
"Ya udah, jangan pada berantem di sini! Malu tau dilihat sama Ustadzah," ujar Maira menengahi. Seakan dia yang bungkus yang paling bijak.
"Ustadzah kan udah kenal sama kakak kita nih. Hmm ... boleh nggak kalau Ustadzah Asyi jadi kakak Ipar kami?"
Asyi dan Salman mengaga, sorotan mata yang penuh harap membuat mereka tersipu malu.
"Adek, Jangan bikin malu Kakak dong di depan Ustazah kalian!" Salman menggertak giginya, melirik Asyi dengan rasa tak nyaman.
Tak digubrisnya. "Ustadzah, Ayo lah! Kami mohon!" masing-masing mereka memegang tangan Asyi, menatap melas.
Salman menatap tajam. Permintaan itu sukses membuat Asyi galau. "Anak-anak, Ustadzah baru saja mengenal Kakak kalian, bagaimana Ustadzah menjadi istrinya? Semua itu butuh proses, Nak. Tidak segampang membalikkan telapak tangan," jelas Asyi berharap mereka bisa mengerti maksud hatinya.
"Yah, Ustadzah. Padahal kami berharap sekali Ustadzah bisa menjadi kakak ipar kami, biar bisa merubah tu Kakak yang batu itu ..." ucap Mira menurunkan alisnya, terlihat kekecewaan yang mendalam.
"Hmmm nggak apa-apa deh! Tapi Ustadzah boleh dong kenalan jauh sama Kak Salman? Mana tau nanti perangai baiknya Ustadzah bisa mengalir ke Kak Salman. Hehehe," ledek Maira menyeringai.
"Kalian pikir air apa bisa ngalir gitu aja, hah? Gini-gini Kakak kalian juga loh." Maira dan Mira acuh terhadaonya. " Awas aja, nanti kalian nggak dapat uang jajan lebih dari Kakak."
"Loh, kenapa malah main ancam-ancam?" Maira menatap kesal.
Mira menarik tangan Maira. "Kakak paling hebat dan baik hati sedunia, nggak mungkin tega lihat adik-adiknya menderita, kan, kan?" tersenyum mengedip mata.
Salman mendengus kasar. Kedua adik-adiknya terlalu pintar mengubah situasi.
...****************...
Letih melanda setiap orang yang hadir di acara HUT Darul Islam. Mereka semua terlelap dalam mimpi indah mereka. Namun masih ada sosok pria dan wanita yang masih belum bisa berdamai dengan matanya hingga tak terlihat tanda-tanda kantuk. Asyi dan Salman berdiri di jendela yang berbeda menatap sinar bulan purnama yang sama.
Angin malam main manja pada dedaunan, terasa nyaman ketika menyentuh kulit hingga mengusik pikiran saat bayang-bayang satu sama lain mengisahkan rasa deg-degan. Apa ini yang dikatakan orang-orang? Pertemuan pertama menyisakan rasa penasaran?
Bibir tersungging kala ocehan Maira dan Mira melekat ingin mempersatukan mereka.
"Apakah aku telah jatuh cinta?" gumam keduanya.
Senyuman indah mulai pudar berganti dengan embun yang menghiasi manik-manik mata.
"Aku nggak boleh memikirkan cinta! Bahkan aku tak pantas untuk siapapun," lirihnya mengusap sudut mata.
Salman dan Asyi kompak menutup jendela, melangkah ke kamar mandi yang berbeda untuk mengambil wudhu, lalu melaksanakan shalat istiqarah. Sama-sama bermunajah kepada sang Khaliq tentang hati yang sedang dilanda pilihan.
"Ya Rabbi! Ampunilah dosaku yang telah memikirkan yang tak sepantas hamba pikirkan. Ya Rabbi ... Ada apa sebenarnya dengan hati ini? Kenapa hatiku sekarang merindukan Asyi? Gadis yang belum halal untukku. Ya Rabbi ... hamba mohon kepada-Mu tunjukanlah jalan untukku, tenangkanlah hatiku. Hamba tidak ingin rasa ini membuatku hilang kendali dan melupakan-Mu. Tolonglah Hamba-Mu ini Ya Rabbi ... Mudahkanlah setiap langkahku dan cegahlah aku ketika hendak berbuat dosa Rabbi ... Amin," pinta Salman dengan tangan tertadah ke langit, cairan bening menjadi saksi bisu atas dirinya yang merasa bersalah.
Di sisi lain, seorang wanita ikut mengangkat kedua tangan ke langit, sorotan mata penuh harap, cerminan dari hati yang tulus.
"Ya Rabbi ... Ampunilah dosaku yang telah memikirkan hal yang tak sepantas hamba pikirkan lagi. Jika ini cinta, tolong hapuskanlah dari hatiku, Rabbi. Hamba tidak ingin cinta ini membuatku terjatuh kembali ke dalam jurang yang telah lama hamba tinggalkan. Hamba tidak pantas untuknya, Rabbi. Hamba kotor, Rabbi. Dosa yang terdahulu tak mampu ku ubah segalanya, Rabbi. Hamba sendiri, Rabbi. Tidak ada tempat yang bisa hamba ceritakan kecuali pada-Mu. Hamba tidak punya daya dan upaya untuk mengulang dan memperbaiki takdir ini. Meskipun hatiku ingin menikah untuk menyempurnakan agamaku ini, tapi noda dosa masa laluku terus menghantuiku. Ya Allah ... Tolonglah hamba-Mu ini, mudahkanlah setiap langkahku. Amin ya Rabbal 'alamin."
Dalam isakan tangis mengingat dosa hingga tak terasa azan menyuru.
Ada yang berbeda dari sholat yang sebelumnya.
Suara lantunan ayat suci Alquran terdengar berbeda dari sebelumnya. Yang ini terdengar begitu mendayu dalam lebih jernih dan berkarakter, jelas menandakan suara dari seorang lelaki yang masih muda, hingga mampu membuat semua orang terlena menikmati setiap detik shalatnya hingga tak terasa telah usai begitu saja.
"Cepat sekali selesai shalatnya, seharusnya shalat subuh ditambah lagi," gumam para santri yang terhipnotis dengan suara merdu imam.
Mendadak timbul rasa kagum pada diri Asyi hingga menuntunnya untuk mengintip sosok lelaki yang menjadi imam shalat subuh.
Mata yang terus mencari sosok pria yang duduk sendiri di baris terdepan mendadak buyar dengan tepukan tangan di bahunya.
"Teh! Hayo ada yang penasaran," celetuk Aina menyeringai.
"Eh, Huss! Mana ada," jawab Asyi malu dan mengalihkan pandangannya.
Aina cengengesan, berjalan meninggalkan Asyi.
"Eh, tunggu!" Asyi mengejarnya.
Dari arah kanan terdengar ucapan salaman yang datang menghampirinya. Sosok lelaki memakai peci hitam dengan baju koko putih dan sarung hitam sangat cocok untuk wajahnya khas Sunda.
Kompak menjawab salam. "Eh, Akang Iqbal, Kapan pulang?" tanya Aina.
"Akang baru saja sampai ... Oh ya, dengar dari para santri, Salman sudah pulang ya?"
Mereka mengganggukan kepala.
"Ada apa, Bro? Rindu ya sama aku?" kejut Salman menepuk pundak Iqbal.
"Pantang namanya di ucap, ke ujung langit pun langsung datang," balas Iqbal tersenyum sumringah.
Mata Salman sesekali melirik Asyi yang menunduk diam.
"*A*pakah ini jawab dari doaku semalam? ... Begitu cepat Allah mempertemukan kami kembali."
Iqbal melihat ada keanehan dengan bibir Salman yang terus tersungging. "Hei, Bro! Kenapa atuh senyam senyum sendirian?" mencurigai.
"Biasa atuh Akang. Ini yang bikin lelaki salah tingkah," sahut Aina menyenggol lengannya.
Asyi tersipu malu dan segera meninggalkan mereka. Aina berpamitan cepat, buru-buru mengejar langkah Asyi yang terlihat semakin cepat.
Salman memukul pundak Iqbal. "Gara-gara kamu, dia sudah pergi," menatap punggung Asyi dengan kecewa.
"Ehmm ... ada yang sedang jatuh cinta ni," menatap lamat-lamat.
Salman terperanjat, menoleh sekejap lalu beranjak pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Sukmawati Wong
Gemes
2021-12-15
1
Indah N
aku suka sama ceritanya,mudah2an gak putus ditengah jln ceritanya
2021-05-26
0
Naila nuraisah
♥️
2021-05-21
0