Matahari mulai terbenam dengan menunjukkan warna kejinggaan yang sempurna. Sungguh sangat indah. Begitu pula dengan hati Sima saat ini.
Ia duduk di halaman rumah. Pria botak, atau panggil saja namanya Gura. Sedang duduk di sebelah Sima, seraya menyerahkan beberapa lembar kertas.
“Bos, ini tentang inves–”
“Jangan berikan aku pekerjaan yang memusingkan kepala.” Sima memotong ucapan Gura.
“Ah, baik. Ini tentang Faksi Pertama, mereka sepertinya masih saja mengajak bertengkar dengan kita. Akhir-akhir kelakuannya makin bertambah,” jelas Gura.
“Oh, begitu. Nanti biar aku urus. Ngomong-ngomong aku ingin kau menyelidiki seseorang.”
“Siapa itu, bos?!” tanya Gura dengan semangat dan mata berbinar-binar.
“Aku tidak tahu namanya siapa. Tapi dia salah satu pelayan yang bekerja di kafe Dadi Muncul. Tempat yang kemarin aku kunjungi, pokoknya ciri-ciri dia itu pria rambut hitam yang agak panjang dan polos,” kata Sima memberikan petunjuk.
“Target baru?” pikir Gura.
“Bukan, dasar bodoh. Aku hanya penasaran siapa dia. Karena kepolosannya benar-benar bikin gemas,” kata Sima dengan wajah yang sedikit merah.
“Ternyata betulan target baru. Baiklah, bos. Aku akan segera menyelidikinya sampai ke akar-akar. Dijamin, aku takkan mengecewakan dirimu,” kata Gura sambil mengacungkan jempol dan tersenyum lebar.
***
Malam pun tiba, Sima merasakan sesuatu hari ini. Terasa gelisah di hati, dan omongan Gura yang membuatnya khawatir itu.
Sima pergi dari rumah diam-diam. Ia berjalan seperti biasanya sambil melirik-lirik ke sekitar. Memastikan tak ada orang yang membuntuti.
Suasana di malam hari diramaikan oleh banyak kendaraan lalu lalang di jalan raya. Dan ketika itu, seseorang yang memakai masker membuat Sima tersentak.
Sesaat berhenti berjalan, diam dan memandang punggung pria itu. Sekilas melihat tato ikan di lengannya. Sima kemudian membuntuti.
Faksi Pertama, kelompok preman dengan tato ikan yang suka berbuat rusuh di Blok D. Tak ada habisnya mereka melakukan tindak kejahatan yang membuat korban tak bisa bicara pada pihak yang berwajib.
Inilah yang membuat Sima resah. Beruntung wajah Sima tak mudah dikenali apalagi hari sudah malam.
Tap ...tap ...
Melangkah pelan sembari mengikat rambutnya. Sima berwaspada akan sekitar dan kemudian mendapati pria itu bertemu dengan 3 orang lainnya.
Mereka memasuki gang terpencil di samping kafe Dadi Muncul yang tutup lebih awal. Firasat Sima semakin tidak enak, ada sesuatu buruk telah terjadi lagi.
“Kau anggap aku ini apa? Penjahat? Silahkan laporkan kalau kau bisa, pria culun!”
“Lihat ini, wajahnya sudah babak belur. Aku ingin tahu apakah dia akan melaporkan ini atau tidak?”
“Foto dia, dan kirim pada bos besar. Bilang padanya bahwa Blok D terancam preman seperti kita.”
“Ambil uangnya lalu kita pergi!”
Suara pukulan atau gebukan pun semakin terdengar di area gang. Kemudian disusul rintihan seorang pria. Sima mempercepat langkah dan menghajar mereka semua dalam sekali pukulan beruntun.
Tidak hanya 3-4 orang saja. Ternyata muncul lagi beberapa orang yang siap menghajar Sima. Mereka menganggap perempuan itu memang kuat kalau menyerang secara dadakan. Lalu bagaimana kalau dihadapkan secara langsung?
Sekitar 2-3 orang, satu dari salah mereka mengajukan diri seraya tersenyum mengejek dan mengeratkan tinjunya.
“Nona? Wanita yang sungguh kuat, tapi tak seharusnya kau kemari, bukan? Lagipula untuk apa ke sini, oh ...” Pria itu lantas melirik ke arah pria yang tersungkur di tanah.
“Jangan bilang menyelamatkan pacarmu?” pikirnya.
Sima tak berbicara sepatah kata. Ia tetap diam sambil menahan amarah namun kepalan itu sudah siap untuk meninju mereka. Sima berjalan ke arah mereka dengan santai seraya ia mengambil topi yang tergeletak.
Sima mengenakan topi agar wajahnya tidak diketahui oleh mereka. Lantas melesat cepat dan meninju di bagian ulu hati preman tersebut.
Buakk!
Saking cepat, preman tak bisa mengelak. Ia ambruk dan terus mengerang kesakitan. Merasa sesak setelah kena tinju seorang wanita, hendak membalas serangan namun apa daya tubuhnya tak merespon.
Sima tersenyum tipis. Tatapan itu sekilas nampak bercahaya kebiruan. Lalu melanjutkan serangan demi serangan pada dua orang yang tersisa.
“Awas!” Tetapi, tiba-tiba pria yang sebelumnya tersungkur ke tanah itu bergerak dan menundukkan kepala Sima secepat mungkin.
Buak!
Bagian kepalanya terkena pentungan. Tidak ada yang mengira bahwa preman tadi masih sanggup berdiri dan berniat memukul kepala Sima dari belakang.
Berkat pria ini, Sima tidak terpukul namun sebagai gantinya, kepala dia sendiri yang jadi korbannya.
“Ugh, rasanya sakit sekali ...”
Darah terus mengalir keluar. Sima nampak kaget dengan barusan yang terjadi. Dua orang tadi pun sudah melarikan diri. Tersisa seorang pemukul yang masih berani mengangkat senjata.
“Tunggu, jangan sakiti wanita! Wanita ini tidak ada hubungannya.”
Lagi-lagi ia dibuat terkejut. Pria ini masih sanggup berdiri setelah apa yang terjadi pada kepalanya itu. Ia bisa mati dengan pendarahan hebat.
Dalam benak, Sima bertanya-tanya, kenapa orang lemah ini masih saja memasang badan untuk seorang wanita yang bahkan tidak dikenalinya? Begitu gigih ia melawan pemukul sedangkan ia tak bersenjata sama sekali.
Entah bodoh atau mungkin sedang jaga harga diri.
“Jangan ikut campur kau, pria culun!” teriak si preman seraya melayangkan pemukul itu.
Dengan sigap, Sima menarik kerah baju pria bodoh itu lalu menahan pemukulnya yang nyaris mengenai wajah Sima. Sesaat ia mendekat dan menaruh secarik kertas terlipat di kantong kemeja preman itu.
Lalu Sima mengakhiri dengan memukul wajahnya. Dan seketika preman tumbang dengan wajah memar.
Situasi pun hening. Gang yang sempit. Diapit oleh toko dan kafe, suara mereka tidak pernah terdengar oleh orang lain. Seolah berada di ruangan kedap suara.
Sima mendesah lelah. Lalu mengembalikan topi itu padanya dan berjalan pergi.
“Te-terima kasih!” ucap pria itu dengan tergagap.
Setelah dipikir-pikir Sima merasa suara ini cukup familiar didengarnya. Kalau tidak salah, pria dengan wajah polos, yang bekerja sebagai pelayan di kafe Dadi Muncul.
Kalau benar maka itu gawat. Buru-buru Sima melangkah lebih cepat namun pria itu mengikutinya dan terus berterima kasih.
“Terima kasih, terima kasih. Kau wanita yang kuat. Entah kenapa aku jadi malu sendiri, padahal sudah bersikap sok melindungi tapi pada akhirnya kau dapat menghajar mereka,” tuturnya memuji sambil tersenyum lebar.
Cahaya lampu yang ada di pinggir jalan pun menyorot wajah si pria. Sima sempat menoleh ke belakang dan memastikan bahwa itu benar-benar pelayan yang sebelum ini ia temui.
“Oh, Mbak ini ...”
“Gawat dia mulai sadar. Aku harus cepat-cepat pergi.”
Sima lekas pergi secepatnya. Beruntung pria itu tak lagi mengejar, sepertinya ia tengah berpikir bahwa sosok Sima mungkin sudah ia kenal.
“Hm, entah kenapa aku merasa pernah melihat wajahnya. Apa aku pernah melihatnya?” pikir pria itu dengan bergumam.
Lantas berbalik badan dan sekali lagi ia bergumam, “Yah ...mungkin saja salah satu pelanggan.”
Sedangkan saat itu Sima yang berwas-was pada sekitarnya. Mempercepat langkah dan terus berharap agar pria itu tak mengenali Sima. Tapi di sisi lain, terutama di lubuk hatinya yang terdalam, ia merasa senang kalau pria itu memujinya keren. Serta berdecak kagum karena pria itu juga berniat melindunginya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments