Setelah ditelusuri. Pria itu bernama Dendi. Singkat, padat dan jelas. Dendi merupakan anak tanpa Ayah dengan Ibu yang saat ini tengah berbaring di rumah sakit. Ibu Dendi memiliki penyakit keras.
Sedangkan Dendi sendiri, tidak ada riwayat penyakit akut atau lainnya. Masalah pun tidak ada yang sampai heboh, entah di masa lalu ataupun sekarang ini. Dendi dikatakan anak yang ramah, periang dan peka. Terutama karakter yang tidak bisa lepas dari diri Dendi ialah, kepolosannya.
Bagaikan anak suci, lahir tanpa dosa sampai ia beranjak dewasa. Sungguh pria yang langka, sudah begitu tidak pernah berpacaran sekalipun. Jangankan pacaran, mencintai seorang wanita pun tidak pernah.
“Bos, bukankah isinya tidak terlalu panjang. Kenapa dilihat terus-menerus?” tanya Gura, yang memperhatikan Sima tak lepas pandangan dari selembar kertas berisi data pribadi Dendi.
“Ehem, tidak. Aku hanya memastikan tidak ada yang dipalsukan. Ngomong-ngomong, Ibunya sudah dirawat selama berapa hari?” tanya Sima.
“Kurang lebih sekitar 3 bulan. Penyakitnya semakin memburuk, karena tidak ada biaya lanjutan makanya tidak sembuh-sembuh.”
“Ya, itu wajar saja. Pria ini bekerja hanya sebagai pelayan di kafe Dadi Muncul. Gaji juga tak seberapa tapi lumayan kalau dikumpulkan. Kalau bisa aku ingin membantunya dengan tabunganku,” tutur Sima.
“Tidak dengan bantuan bos besar saja?”
“Ngapain? Ayahku sudah cukup sibuk untuk itu, aku juga hanya ingin bersedekah ...dibarengi rasa bersalah, sih.”
Selain itu, Dendi jago memasak makanan apa saja kecuali makanan laut. Ia juga pandai membuat kue, karena dulu pernah masuk ke ke eksul tata boga sewaktu sma. Tertera, Dendi juga sempat kuliah.
Sima merasa tertarik dengan pria ini. Tapi ia masih menahan diri dan janganlah sampai jatuh cinta begitu mudahnya. Karena belum tentu kalau profil itu baik sampai sekarang.
Bisa saja Dendi memang orang yang baik tapi sekarang berubah menjadi preman kelas kakap. Seperti contohnya, Sima.
“Bos, sejak tadi bos terus-terusan menatap foto si Dendi ini, ya?” tanya Gura sambil melirik ke apa yang dilihat Sima.
“Huh, tidak. Dibilang aku cuman memastikan tidak ada kepalsuan,” ucap Sima berdalih.
“Nggak usah pura-pura, bos. Bos memang nggak bisa berbohong, lagian kalau berniat mengecek apakah ada yang dipalsukan, kenapa tidak mengecek di bagian belakangnya juga?”
Sima menjadi kesal, tak sengaja ia meremat kertas itu. Lalu melemparnya.
“Ini sudah malam, 'kan? Ayo tidur.”
Dan sekarang, seorang pria tua dengan badan besar datang pada mereka. Ialah Bos besar yang kerap kali disebut-sebut. Ayah dari Sima. Sukma Papuana.
Tatapannya lembut namun wajahnya sedikit tak santai. Itulah mengapa segala sikap dan tindakannya terasa tidak senada. Sima pun menghela napas, sesaat melirik ke Ayahnya lalu beralih ke pemandangan malam berbintang.
“Sima, kita takkan bekerja keras. Tapi ini demi Blok D, kita bahkan membangun suatu organisasi rahasia. Tapi Sima, kau harusnya lebih memperhatikan dirimu sendiri terlebih dahulu, benar?”
Sukma duduk di sebelah putrinya. Berkata demi kebaikan Sima namun sejujurnya ia masih tak mengerti dengan apa yang diinginkan Sima sendiri.
“Ayah sudah mengijikanmu berpacaran dan sekarang apa? Sudah kubilang sebelumnya kalau pacaran tidak akan menjamin hasil yang baik. Ayah juga tidak menjodohkanmu karena tahu akan berakibat fatal nanti,” tutur Sukma sedikit menegas. Nampak ia marah namun menahannya selagi bisa.
“Sudahlah Ayah. Kalau mau menyinggungku, jangan sebut kesalahanmu sendiri. Tidak baik membuka luka masa lalu,” ucap Sima dengan dingin. Ia bangkit dan masuk ke dalam rumah.
***
Keesokan pagi harinya, semua yang didengar Sima dari Gura tentang Dendi pun sudah ia ingat dengan baik. Mulai sifat, sikap, hal yang ia sukai dan tidak disukai.
Hari ini, hari minggu. Seperti biasa Blok D terlihat ramai. Tidak ada kegaduhan yang merugikan di sini, setidaknya sebelum para preman itu kembali muncul. Terutama Faksi Pertama, yang sampai saat ini masih belum diketahui siapa yang mendalangi.
Sima mendatangi rumah Dendi dengan membawa buah tangan, dan sekarang ia hanya dapat melirik ke jendela yang terbuka.
“Hush! Ayo, ke mana matamu melirik? Nggak baik kalau mengintip begitu, loh. Ayo masuk.”
Terkejut kedatangan seorang wanita, bisa jadi ia adalah tetangga Dendi di sekitar sini. Tak hanya memergoki Sima, bahkan mendorong Sima untuk mengetuk pintu rumah Dendi.
“Oh, ya ada apa?” tanya Dendi yang telah membuka pintu, lantas terkejut. “Mbak ini yang pernah mero–” Sebelum melanjutkan kalimat itu, Sima menutup mulutnya rapat-rapat.
Akan ada bahaya yang mengancam harga diri Sima sebagai seorang wanita yang berpakaian feminin saat ini. Karena tuan rumah sudah membukakan pintu, tetangga itu pun mendorong tubuh Sima dan masuk ke dalam rumah Dendi.
“Selamat bersenang-senang, ya!”
Pada akhirnya mereka saling bertatap muka dengan penuh kecanggungan. Sima teringat dengan buah tangan yang masih ada padanya ini, ia pun memberikan sekeranjang buah itu pada Dendi.
“Ini ...aku nggak sengaja lewat ke sini. Ini buatmu saja,” kata Sima seraya ia mengalihkan pandangan.
“Oh, terima kasih.” Semula Dendi terkejut karena kedatangannya namun setelah buah tangan itu ia terima, nampak wajahnya berseri-seri. Dendi sangat senang rupanya.
“Mbak hari ini pun terlihat cantik. Hari ini aku ingin berjalan-jalan sebentar di taman, Mbak mau ikut? Karena kalau di rumah, aku nggak punya apa-apa selain hadiah darimu,” ujar Dendi.
Dengan gugup Sima menjawab, “Bo-boleh, deh.”
“Itung-itung sekalian membuat Mbak tambah senang,” imbuh Dendi tanpa bermaksud apa-apa.
Wajah Dendi terlihat baik-baik saja. Tentu saja itu karena wajahnya dibedaki dulu, jadi bekas memarnya tidak terlalu terlihat. Hanya saja, bagian kepala Dendi itu terlihat jelas dengan perban putih.
Tampaknya sangat sakit. Sima merasa bersalah serta tak menyangka bahwa yang kemarin benar-benar Dendi.
“Setelah aku pikir-pikir, Mbak bukan orang yang kemarin, ya? Sepintas aku pikir Mbak adalah orang yang menyelamatkanku saat dibegal preman kemarin malam, haha.”
Sima lantas terkejut. Sesaat melirik dengan wajah panik.
“Ternyata ini alasannya dia ngajak aku jalan-jalan ke taman?”
Menebak bahwa alasan Dendi mengajaknya jalan-jalan di taman pagi hari ternyata karena merasa bahwa Sima adalah orang yang sama di malam hari kemarin. Tapi saat tahu Dendi berpikir bahwa perkiraannya salah, Sima merasa lega.
“Kenapa kamu berpikir bahwa itu aku?” tanya Sima penasaran.
Hari ini taman dipenuhi banyak orang yang sedang berlari pagi. Sekilas keberadaan Sima dan Dendi terlihat seperti orang yang baru saja memulai pacaran.
Namun, pakaian mereka tak senada. Sima dengan pakaian terusan, bak seorang gadis. Sedangkan Dendi berpakaian olahraga.
Lagipula dari awal Sima tak berniat ke taman.
“Emh ...ya, menurutku tatapan Mbak sama wanita kemarin malam agak berbeda. Kalau wanita itu memiliki tatapan tajam yang menukik tapi kalau Mbak ini punya tatapan berbinar-binar,” pikir Dendi sembari menatap wajah Sima.
“Oh, begitu ...” singkat Sima. Tak habis pikir, ternyata ada pria yang peka. Meski nampak seperti dua orang yang berbeda namun jelas Sima hanyalah satu orang saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments