Sebelumnya Dendi mengajak Sima berjalan-jalan ke sebuah taman. Tempat dimana semua orang melakukan jogging. Suasana yang sangat tenang, desiran angin pun terasa sejuk.
Namun, ternyata ada alasan di balik ajakan Dendi. Ia mencurigai bahwa wanita yang telah menolongnya di malam kemarin itu adalah Sima. Tapi kemudian ia berpikir bahwa mereka berbeda.
Sesaat Sima merasa lega.
“Kita seringkali bertemu. Nama Mbak, kalau boleh tahu siapa?” tanya Dendi.
“Apa ini? Mau sok modus, ya?” ketus Sima.
“Wah, padahal pertama kali yang datang juga siapa. Aku berpikir bahwa pertemuan kita hari ini bukan kebetulan tapi setidaknya aku ingin berpikir positif saja,” sindir Dendi.
“Ah, benar juga.” Sima pun mengalihkan pandangan, karena kaget bahwa Dendi memiliki pikiran yang tajam.
“Namaku Sima. Bagaimana denganmu? Kamu pasti punya nama juga, 'kan,” ucap Sima lantas menatap matanya langsung.
Sebelum menjawab, Dendi berlari kecil. Sima pun mengikutinya dengan langkah yang sama.
“Namaku Dendi, Mbak.”
“Ya, sebenarnya aku sudah tahu,” batin Sima.
Situasi kembali mencanggung. Sima ingin sekali pergi sekarang juga tapi ia tak bisa. Apalagi sekarang ia ikut jogging dengan pakaiannya yang tidak cocok itu.
Melihat Dendi begitu bersemangat, semua orang pasti berpikir bahwa Dendi tidak dalam kondisi yang sulit. Keuangan yang tercukupi, hidup tenang tanpa masalah sedikit pun.
Tapi Dendi tidaklah seperti itu, karena Sima sudah tahu apa yang telah terjadi pada keluarganya. Lalu kemarin pun, Dendi menjadi incaran para preman.
Tak berselang lama mereka memutari taman, ponsel Dendi berdering. Ia lantas berhenti dan rupanya ada seseorang yang menghubunginya.
“Ya, halo?”
Semula terlihat baik-baik saja. Sima yang ikut berhenti itu mendadak terkejut sebab raut wajah Dendi berubah drastis, kecemasan dan ketakutan itu jelas nampak dari sorot matanya yang sedih.
“Mbak Sima, aku pergi dulu, ya!”
Kemudian Dendi pergi menyisakan banyak pertanyaan di benak Sima. Sima yang tak bisa hanya diam saja, ia segera menghubungi Gura dan memintanya untuk cari tahu apa yang telah terjadi, pada satu-satunya orang yang saat ini sedang dikhawatirkan Dendi.
Tidak lain adalah seorang ibu.
Menunggu jawaban Gura, menunggu dengan penuh kecemasan.
“Apa katamu?”
***
Sebuah berita duka dari Ibu Dendi. Satu-satunya keluarga Dendi yang tersisa sudah tidak ada. Kini ia hanya sendiri. Setelah jasad sang Ibu sudah masuk ke liang kubur. Menyisakan sebuah nama, isak tangis dari seorang anak pun terdengar begitu pilu.
Banyak tetangga yang menghadiri pemakaman, begitu juga dengan Sima. Tak berani ia mengucapkan sepatah kata, dan hanya melihat punggung yang gemetar sambil memeluk nisan Ibunya.
“Mbak juga datang?”
Dendi menyadari keberadaan Sima. Tangisnya pun sudah berhenti, ia kemudian bangkit dan berjalan pulang ke rumah setelah menyapa Sima.
“Dendi, apa kamu tidak memiliki kerabat lain?” tanya Sima tiba-tiba, membuat langkah Dendi terhenti.
“Nggak Mbak. Aku sudah nggak punya selain Ibuku. Tapi sekarang aku sudah sendirian, tolong biarkan aku pulang. Maaf, kemarin aku menuduhmu yang nggak-nggak.”
Senyum masam itu tersungging di wajah penuh kesedihan. Apa yang Sima khawatirkan telah terjadi, Dendi sudah sendirian saat ini. Yang perlu dilakukan hanyalah terus hidup dengan terus melangkah maju.
Sima berjalan mengikutinya. Dendi tahu itu namun ia tetap diam dan terus berjalan.
“Dendi, maafkan aku yang tak bisa membantumu. Kudengar kamu juga kuliah, ingin kubantu membiayainya?”
Sontak terkejut dengan pernyataan Sima. Dendi lantas berbalik badan dan menatap tajam padanya.
Berkata dengan penuh emosi, “Mbak ini apa nggak punya perasaan? Aku sedang berduka! Aku juga sudah tidak berniat untuk lanjut kuliah lagi! Kenapa sok ikut campur, padahal Mbak bukanlah siapa-siapa. Atau karena Mbak ini orang kaya, ya?”
Semua ucapan-ucapan yang dilontarkan Dendi sangat pedas. Sima terdiam mematung, membulatkan mata lantas terkejut dengan perangai Dendi yang kasar.
Sima jelas tahu kalau Dendi sedang berduka hari ini. Tak bisa ia melanjutkan hidupnya begitu saja sementara hatinya terluka. Sima tahu, tapi karena itulah ia mengkhawatirkan keadaan Dendi.
Banyak orang yang di luar sana, yang tak bisa melupakan rasa sakitnya kehilangan. Sima tahu betul bagaimana rasanya itu.
Namun tidak bermaksud bahwa Sima semena-mena dengan bertanya-tanya hal pribadi bahkan menawarkan untuk membiayai kuliah Dendi.
“Maaf maksudku bukan begitu,” lirih Sima.
“Mbak ini tipe orang yang berusaha mendapatkan hati pria dengan setumpuk uang, ya? Pertemuan kita yang kedua kali ...sepertinya bukan kebetulan,” celetuk Dendi mengernyitkan dahi.
“Apa? Tidak! Apa maksudmu berkata begitu?! Aku bukan wanita yang suka menghamburkan uang, aku menawarkan bantuan karena itu tujuanku datang kemari!” sanggah Sima membentaknya.
Perasaan amarah dan gundah seketika menguasai diri mereka. Sima berusaha menekan emosinya begitu juga dengan Dendi, ia menghela napas panjang lalu kemudian pergi.
“Maaf, sepertinya aku cukup emosi, Mbak. Hari ini tolong, aku nggak mau bertemu siapa pun termasuk Mbak. Aku ingin sendiri,” tutur Dendi melembut.
Tap! Tap!
Sima mempercepat langkah, menghampiri Dendi yang meninggalkannya begitu saja. Sesaat, ia menyelipkan sebuah kartu nama di tangan Dendi yang terbuka.
“Aku tahu kau sedang berduka. Aku tahu kalau tak sopan menanyakan hal pribadi bahkan menawarkanmu ini dan itu bahkan sempat memberimu sesuatu padahal kita tidak saling kenal. Niatku bukan untuk cari pacar apalagi menggodamu,” kata Sima dengan melotot ke arahnya.
Melangkah lebih cepat, membuat Dendi mematung di sana.
Sekali lagi, Sima berkata dengan tegas, “Tapi apa salahnya aku membantu seseorang yang sedang kesulitan.”
Kartu nama yang diselipkan adalah kartu nama milik Sima sendiri. Tertera bahwa ia adalah pemilik toko kue di suatu alamat. Sima memberinya itu dengan berniat agar Dendi mendapatkan pekerjaan dengan gaji tetap dan tidak menghabiskan banyak waktu.
Di balik kartu nama terdapat secarik kertas. Tertulis, "Dibutuhkan orang yang pandai membuat aneka macam kue."
“Mbak Sima!” panggil Dendi namun terlambat, Sima sudah menjauh.
***
Di balik sifat yang keras Sima. Sebenarnya saat ini, ia sedang menahan rasa kegembiraan dalam hati.
Memberanikan diri memberinya sebuah kartu nama yang dibuat sendiri. Itulah hasil, upaya pendekatan.
Dengan hati girang, ia berjalan sambil mengangkat kedua tangan.
“Aku memang berkata untuk membantu semua orang yang dalam kesulitan. Tapi aku juga punya niat lain terhadap Dendi,” gumam Sima.
Lalu ia menggelengkan kepala. “Aku tidak tertarik dengannya. Aku tidak melihatnya sebagai pria yang cocok denganku. Aku tidak suka dengannya. Jadi, aku hanya ...sekadar menawarkan bantuan, benar?”
Lagi-lagi ia berdalih. Sudah jelas ia mempunyai rasa terhadap Dendi. Meskipun mungkin takkan bertahan lama dan hanya singgah sebentar?
“Ya, ampun. Harusnya aku bilang, "Turut berduka," begitu ...bukannya ah, aku memang tidak bisa mengajak bicara seseorang dengan benar.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments