Abigail menggeliat saat mendengar alarm yang ia pasang berbunyi. Ia mengerjapkan mata berulang kali berusaha mengumpulkan kesadarannya. Dengan langkah yang berat ia bersiap untuk kembali bekerja.
Berulang kali Abigail menatap tempelan-tempelan kertas yang berisi jadwal serta kebiasaan Darren Wang.
"Mau mundur tapi gengsi. Masa iya baru beberapa hari sudah menyerah." gumam Abigail saat mematut diri di depan cermin.
Setelah ia merasa sudah lebih baik, Abigail bergegas meninggalkan apartemen sewaan agensi dan menuju tempat tinggal Darren.
Tak membutuhkan waktu yang lama, Abigail tiba di apartemen Darren pukul 06.00 pagi. Seperti biasa, ia akan memeriksa sekeliling terlebih dahulu sebelum masuk.
Selama beberapa hari bekerja, Abigail selalu tiba sebelum Darren bangun. Karena sudah mulai menghafal kebiasaan pemuda itu, maka hari ini Abigail bergegas memasang kamera tersembunyi dan alat penyadap suara di beberapa titik.
Setelah semua beres, Abigail segera menyiapkan perlengkapan Darren yang ada di ruang kerja.
"Ekhmm!" Darren berdehem sebab Abigail tak menyadari jika ia telah bangun.
Abigail menjengit karena terkejut, ia segera berbalik dan semakin terkejut melihat penampilan Darren yang tak menunjukkan jika pemuda itu baru bangun tidur. Wajah pucat sekaligus kusam dan mata yang memerah disertai lingkaran hitam di bawah mata. Semua itu sudah cukup menjelaskan apa yang terjadi.
"Se..selamat pagi, Tuan." Abigail sedikit membungkuk untuk memberi hormat.
"Hmmm." jawab Darren sambil membalikkan tubuhnya. "Katakan pada Trias, aku tak ingin kemana-mana hari ini." ucapnya sambil meninggalkan Abigail dan kembali ke kamarnya.
Abigail bergegas mengambil ponsel yang ia gunakan khusus untuk tugas kali ini. Kemudian ia menelepon Trias dan menyampaikan pesan Darren.
Selagi menunggu kedatangan Trias, Abigail merebus air untuk menyeduh teh melati yang akan ia sajikan pada Darren dan Trias. Tak lupa Abigail juga menyiapkan beberapa biskuit sebagai pelengkap.
"Apa yang kau lakukan?" suara Darren membuat Abigail terperanjat. Ia membalikkan tubuh dan melihat Darren sedang duduk di meja dengan kedua tangan menyangga dagu.
"Merebus air untuk menyeduh teh, Tuan."
Darren menatap Abigail dengan malas. "Sudah menghubungi Trias?"
Abigail mengangguk. "Sudah Tuan." ujarnya lagi.
"Aku tak ingin mendengarmu memanggilku Tuan." ujar Darren dengan ketus.
Abigail terdiam, ia memikirkan kata yang tepat untuk memanggil Darren.
"Saya akan memanggil Pak saja." ucap Abigail setelah menentukan pilihan.
"Apa aku setua itu?" Darren terlihat mulai marah. "Ah sudahlah!" ucapnya lagi dan beranjak meninggalkan Abigail yang masih bingung.
"Masih pagi sudah mengajak perang!" desis Abigail sambil melempar kain lap yang ia pegang.
"Hahhh, aku harus belajar bersabar. Kalau tidak aku akan berakhir menjadi istri seseorang yang tidak aku kenal." keluh Abigail lagi sambil mengelus dada.
Bunyi uap yang keluar dari ketel membuat Abigail tersadar. Akhirnya ia memutuskan untuk berhenti mengasihani diri sendiri.
Tak lama setelah pekerjaan Abigail selesai, bel berbunyi. Ia menuju pintu dan memeriksa ke layar terlebih dahulu untuk mengetahui siapa yang datang. Begitu melihat wajah Trias, Abigail segera membuka pintu.
"Selamat pagi."
"Selamat pagi Kak." Abigail bergeser agar Trias dapat masuk dengan leluasa.
"Dimana dia?" Trias mengedarkan pandangan mencari keberadaan Darren.
"Sepertinya ada di dalam kamar."
Trias mengangguk dan berjalan menuju kamar Darren serta mengetuk pintunya.
Abigail memilih kembali ke pantry untuk mengambil teh dan biskuit. Saat ia kembali ke ruang tengah untuk menyajikan minuman dan kudapan ringan, terlihat Darren dan Trias sedang berbicara serius.
"Abigail, tolong keluar dulu." pinta Darren.
Abigail tak menjawab, ia hanya mengangguk dan mengambil tas miliknya. Namun ia tak pergi jauh, Abigail hanya duduk sambil bersandar di dinding depan pintu unit apartemen Darren.
Ia segera mengambil ponsel khusus sekaligus earphone untuk mencuri dengar melalui penyadap yang sudah ia pasang sebelumnya.
"Wajahnya begitu mengerikan, dengan tatapan mata yang seakan-akan meminta pertolongan. Semua itu membuatku ketakutan dan tak bisa kembali tidur." terdengar suara Darren yang bercerita pada Trias. "Aku harus bagaimana?"
Ternyata Darren memimpikan korban pembunuhan itu, gumam Abigail dalam hati.
Hening, Abigail mengambil kembali ponsel dan mengotak-atik benda tersebut untuk mendapat tampilan visual di dalam ruangan karena tak terdengar suara apa pun untuk beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar Trias berbicara.
"Untuk saat ini, aku akan meminta resep obat penenang agar kau bisa tidur."
Terdengar helaan napas panjang. "Baiklah, jika hanya itu yang bisa diperbuat untuk saat ini." ucap Darren yang terdengar putus asa.
"Kalau begitu aku akan mencarikanmu obat dan membawanya kemari." tampak Trias berdiri disusul Darren.
Abigail segera membereskan peralatannya dan berdiri.
"Aku pergi dulu." ucap Trias berpamitan. Ia melihat Abigail dan tersenyum. "Terima kasih untuk tehnya."
"Sama-sama." jawab Abigail sambil sedikit menunduk.
Setelah Trias memasuki lift, Abigail merasa tak nyaman pada sisi kiri tubuhnya. Saat Abigail menoleh, ternyata Darren sedang menatapnya dengan tajam.
"Aku tak mengijinkanmu pulang, namun aku juga tak ingin melihatmu saat ini. Terserah padamu bagaimana mengartikan ucapanku ini." ucap Darren dengan ketus.
Abigail terdiam, ia berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab. "Kalau begitu saya akan menunggu disini."
Darren hanya mengangkat kedua bahunya tak peduli kemudian menutup pintu, membiarkan Abigail sendiri di depan unitnya.
Abigail menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha meredam emosi yang mulai menjalar naik. Abigail memilih kembali duduk di lantai dan mengeluarkan notebook. Tanpa harus menunggu instruksi dari Trias, Abigail mulai menyusun kembali jadwal Darren.
Tanpa terasa, hingga waktu makan siang, Abigail masih setia berada di tempat duduknya. Ia melirik jam tangannya dan menghembuskan napas dengan kasar. Ia terpaksa menyantap makan siang di luar ruangan karena Darren belum juga memberi ijin baginya untuk masuk.
Tak butuh waktu lama bagi Abigail untuk menyelesaikan makan siangnya. Setelah membereskan kotak bekal, ia berdiri dan berpikir akan melakukan apa untuk menghabiskan waktu. Sementara ia berlikir, tampak pintu terbuka dengan cepat.
"Masuklah." Darren membuka pintu dan kembali masuk.
Abigail segera mengambil tasnya dan mengikuti langkah Darren tanpa bersuara. Ia menatap tajam ke arah punggung pemuda itu.
"Duduk disitu." kembali Darren memberi perintah sambil menunjuk sebuah sofa minimalis yang terletak tak jauh dari grand piano. "Dengarkan lagu ini dan ungkapkan pendapatmu." imbuhnya lagi sambil duduk menghadap pianonya dan membelakangi Abigail.
Tanpa menunggu jawaban asistennya itu, Darren segera menekan tuts piano dan memainkan sebuah lagu bergenre pop yang memiliki irama mendayu khas lagu melow.
Abigail memejamkan mata, permainan musik Darren terdengar sedih sekaligus menenangkan. Ia merubah posisi duduknya dengan bersandar agar lebih menikmati lagu yang dibawakan Darren. Hingga tanpa sadar, Abigail pun jatuh terlelap.
Darren memainkan lagu barunya dengan penuh perasaan. Dipenghujung lagunya, ia menoleh ke belakang untuk melihat Abigail.
Betapa terkejutnya Darren saat melihat Abigail yang tertidur di sofa dan tidak mendengarkan lagunya sampai selesai.
Karena kesal Darren menekan tuts berulang kali dengan kasar menggunakan kesepuluh jarinya. Hal ini sukses membuat Abigail terbangun dari tidurnya.
"Aku menyuruhmu masuk untuk mendengar lagu baruku dan memberikan pendapat! Tapi kau malah tertidur!" Darren berdiri dengan napas tersengal karena menahan marah. "Lebih baik kau pulang sekarang juga!" imbuhnya lagi sambil menunjuk ke arah pintu.
"Ma..maaf Tuan, eh Pak." sahut Abigail dengan gugup sebab ia sendiri terkejut mendapati dirinya tertidur.
"Kau memanggilku apa?!" Darren semakin marah.
"Eh, maaf." ucap Abigail sekali lagi.
Tak ingin ikut tersulut emosi, Abigail segera mengambil tas dan pergi dari sana. Di belakangnya terdengar Darren yang mengumpat melampiaskan kekesalannya.
Setibanya di apartemen, Abigail langsung menelepon Mikha. Kali ini tekatnya sudah bulat. Ia berjalan kesana kemari di dalam kamarnya saat menunggu Mikha mengangkat panggilannya.
"Halo." terdengar suara Mikha diujung sambungan telepon.
"Halo Kak."
"Apa yang terjadi? Kau terdengar lesu. Apakah kau sakit Ai?" Mikha terdengar khawatir.
Abigail menggeleng, meski ia tahu Mikha tak akan bisa melihat itu.
"Rasanya aku ingin berhenti." Abigail menempelkan dahinya di kaca jendela kamarnya. "Aku bisa mati terkena serangan jantung karena terus menerus menahan emosi."
Mendengar keluhan Abigail, Mikha tertawa terpingkal-pingkal. Dan respon Mikha membuat wajah Abigail semakin kusut.
"Apa kau yakin? Kalau yakin, dengan senang hati Kakak akan mengurus penggantimu." Mikha terdengar senang. "Dan artinya kau...."
"Tidak, aku akan bertahan." Abigail memotong ucapan Mikha dan dengan cepat memutuskan sambungan telepon.
"Tidak, aku belum mau menikah." lirihnya sambil menatap ke jalan raya yang berada jauh di bawah.
......................
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Adzkia Zhafira
wkwkwk....saking menghayati lagu barunya daren,.abigail sampai tertidur
2022-09-21
2
AdindaRa
Sebenarnya apa yang jadi masa lalu Darren yaa? Jadi penasaran deh eike 🙄 yuuuk kaaak. Gaaskeen
2022-08-11
3
As3
meraba alur ceritanya tp aku selalu suka dg pemeran wanita tangguh
2022-08-10
5