Bian mendengkus kesal mendengar jawaban El. Ia sama sekali tidak percaya putranya yang selama ini selalu bersikap manis, penurut, kini berubah menjadi sosok laki-laki yang selalu menentang ucapannya setelah mengenal Kiara.
Bian tidak habis pikir, El yang terbiasa hidup senang, semua serba ada, bahkan rela meninggalkan semua kemudahan yang sudah didapatnya selama ini demi bisa hidup bersama dengan Kiara.
Jelas-jelas ia menentang hubungan keduanya, status sosial di antara mereka sangat jauh berbeda. Keluarga El berasal dari kalangan atas, orang terpandang, pengusaha sukses yang memiliki banyak usaha di mana-mana.
Sementara Kiara, perempuan pilihan El hanya lah gadis yatim piatu miskin dengan tingkat pendidikan rendah dan penampilan yang sangat sederhana. Hanya akan membuat malu keluarganya saja dan menurutnya sangat tidak layak masuk dan menjadi bagian dari keluarga besar Abiputra.
“Turuti ucapan Papa, atau Kau akan menyesal dan terima akibatnya!” ucap Bian tepat di telinga El.
Bian sangat kecewa dengan pilihan El, putranya itu sepertinya sudah termakan bujuk rayu perempuan bernama Kiara yang berpura-pura mendekati dirinya hanya untuk mendapatkan harta keluarganya saja dengan alasan yang sangat memuakkan mengatas namakan cinta.
Dengan langkah lebar Bian berlalu keluar ruangan meninggalkan El yang masih termangu di tempatnya berdiri saat itu.
“El.” Sentuhan halus tangan Winda di bahunya, menyadarkan El. Dirasakannya bahunya dipeluk dengan lembut dari belakang.
Perlahan tangan El terkulai lemah di kedua sisi tubuhnya, membiarkan potongan buku dan kertas di dadanya jatuh berhamburan ke lantai. El memutar tubuhnya, mendongak menatap wajah lembut mamanya.
“Keningmu berdarah, tunggu di sini biar Mama obati lukamu.” Winda menyibak helai rambut yang menutupi kening putranya, El meringis saat jemari tangan Winda menyentuh lukanya membuat wanita itu menghela napas dalam. “Tetap di sini,” imbuhnya lagi lalu beranjak pergi.
“Mama.”
Winda yang berjalan keluar hendak mengambil kotak obat, menghentikan langkahnya ketika mendengar El memanggilnya. Ia pun menoleh, menatap wajah putranya yang balas menatapnya dengan sorot mata terluka yang begitu kentara.
“Apa yang harus El lakukan, Ma. Apa El harus menyerah, mengorbankan cinta kami berdua dan menuruti semua keinginan papa?”
Winda menarik napas, “Biarkan Mama obati lukamu dulu, setelah itu mari kita bicara.” Winda berbalik kembali dan melangkah keluar ruangan.
El terduduk lemas di lantai kamar bertumpu pada kedua lututnya. Dengan jemari yang bergetar dikumpulkannya lembar demi lembar sobekan kertas dan buku merah miliknya.
“Aargh!” serunya tertahan, saat serpihan kaca di lantai menggores ujung jari dan telapak tangannya.
Pandangannya mengabur tersaput genang air mata, saat sudut matanya menatap potongan kertas bergambar foto Kiara yang sedang tersenyum padanya.
“Maaf sayang, maafkan abang. Tidak bisa menjaganya dengan baik,” bisiknya dengan suara parau seraya mengusap lembut foto Kiara dengan ujung jarinya yang terluka.
“El, bangunlah sayang. Biar Mama obati lukamu,” ucap Winda berjongkok di dekatnya.
El mendongak, dilihatnya Winda datang dengan membawa kotak obat di tangannya.
“Sudah malam, sepertinya El harus pulang sekarang. Kasihan Kiara, dia pasti cemas menunggu El di rumah sendirian.”
El memalingkan wajahnya lagi, menundukkan kepala mengambil potongan kertas terakhir dan memasukkannya kembali ke dalam amplop.
Winda mengesah gusar, ia berdiri dan melangkah menuju sofa panjang yang ada di sudut ruangan lalu menepukkan tangannya memberi isyarat pada El untuk duduk di sampingnya.
“Sepertinya Kamu lebih mencemaskan keadaan wanita itu ketimbang kami orang tua kandungmu sendiri,” ucap Winda.
El bangkit perlahan, berjalan mendekati Winda lalu duduk di sampingnya. Winda menghela napas melihat luka di wajah putranya. El memejamkan matanya saat Winda mulai membersihkan lukanya dan menempelkan plester di keningnya.
“Luka ini pasti akan meninggalkan bekas di wajahmu,” ujar Winda menyibak rambut yang menutupi kening El.
“Hanya luka kecil tidak berarti apa-apa buat El,” jawab El masih dengan mata terpejam.
“Bagaimana kehidupan kalian berdua di luar sana. Apa setiap hari akan terasa mudah ketika harus melewati semuanya bersama dengan wanita itu?”
El membuka matanya, menatap jauh di kedalaman mata mamanya. “Kiara namanya, Ma. Kiara istri El sekarang, menantu perempuan Mama.”
El menyentuh tangan Winda, hingga wanita itu menyadari ada luka lain di tubuh anak lelakinya itu.
“Kenapa Kamu tidak hati-hati, bagaimana kalau terluka seperti ini lagi. Siapa yang akan merawat lukamu kalau Mama tidak berada di sampingmu?” cetus Winda gusar dan langsung meraih tangan El. Tanpa terasa air mata yang sedari tadi coba ditahannya lagi kini mengalir deras di pipinya.
“Maafkan El sudah buat Mama menangis seperti ini,” ucap El terharu melihat perhatian dan kekhawatiran mamanya yang terlihat jelas di wajahnya.
“Sekarang Mama tidak perlu khawatir lagi, ada Kiara yang akan selalu merawat luka El.”
Winda semakin terisak, dan El memeluknya erat. “Maafkan El, Ma.”
Sampai saat ini hanya Winda seorang dari pihak keluarganya yang terus membelanya dari amukan Bian papanya dan juga kecaman dari keluarga besarnya. Meski wanita berhati lembut itu masih belum bisa sepenuhnya menerima pernikahannya dengan Kiara.
“Ck! Bagaimana bisa Kamu melindungi istrimu kalau terus saja terluka seperti ini,” ucap Winda masih dengan mata yang digenangi air mata, dengan cekatan mengobati luka di tangan El. Memeriksanya dengan teliti jika ada serpihan kaca yang tertinggal di dalam sebelum membalutnya dengan perban.
“Terima kasih, Ma.” El menggerakkan tangannya yang sudah dibalut perban. Perlahan tangannya terulur menghapus sudut mata mamanya yang berair dengan ujung jarinya.
“El pamit pulang dulu,” ucapnya lalu meraih tangan Winda, mencium punggung tangannya sebelum berakhir dengan mencium kedua pipinya.
“El, tidak bisakah Kamu tetap tinggal di rumah ini saja. Hem?” pinta Winda menahan lengan El untuk tidak pergi.
El tersenyum menggeleng, ia sudah memutuskan keluar dari rumah kedua orang tuanya itu dan memilih tetap bersama Kiara istrinya.
“Mama baik-baik di sini, jaga kesehatan.” El melepas genggaman tangan Winda di lengannya, lalu melangkah keluar ruangan.
“Elvan!” teriak Winda berlari mengejar El, namun cekalan kuat tangan Bian di lengannya menahan langkahnya.
Rupanya sejak tadi Bian duduk di luar dan semua yang dilakukan Winda pada El di dalam ruang kerjanya tidak luput dari pengamatannya.
“Biarkan anak itu pergi,” ucapnya pada Winda. “Dan Kamu!” tunjuknya kemudian pada El. “Jangan pernah coba untuk menginjakkan kakimu lagi di rumah ini!”
“Tapi Pa, El anak kita satu-satunya. Mama gak mau kehilangan El lagi,” balas Winda disela tangisnya.
El menguatkan hatinya saat mendengar tangisan mamanya, untuk sesaat lamanya ia hanya berdiri terdiam.
“Saat ini dan seterusnya dia bukan anak kita lagi!”
“Pa!”
“Cukup, Ma!” teriak Bian murka. “Cepat keluar dari rumah ini sekarang juga!”
El mengepalkan tangannya kuat, hingga buku-buku jarinya terlihat memutih. Tak dihiraukannya lagi telapak tangannya yang kembali berdarah. Dengan langkah cepat El melangkah keluar rumah tanpa menoleh ke belakang lagi.
••••••••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Hanum Anindya
kurang ajar juga tuh bapaknya😡😡😡😡
2022-11-07
0
Shanty
masih cerita yang sama 😙
2022-08-04
1
Maya
semangat up ka
2022-08-04
1