Bruaakk ...
Praankk ...
Pyarr ...
Barang-barang di atas meja besar berlapis kaca tebal itu jatuh berhamburan, berserakan di lantai granit rumah yang keras. Tidak terkecuali foto bergambar El dan keluarga besarnya yang sedang tertawa bahagia, bersama menikmati liburan dengan latar belakang keindahan panorama kebun teh di sore hari.
“Papa, hentikan! Papa harus tetap tenang, apa tidak bisa bicara baik-baik dengan anak kita. Jangan marah-marah terus seperti ini, Pa.” Winda tak dapat menahan dirinya lagi, ia menangis. Sedari tadi ia hanya berdiam diri melihat kemarahan Bian pada El putranya.
Bian menggertakkan giginya, rahangnya mengeras, dengan napas yang menderu. Lelaki yang masih terlihat gagah di usianya yang tidak muda lagi itu, kini dipenuhi dengan hawa amarah dan terlihat seolah-olah ingin menelan anaknya hidup-hidup.
Keadaan di dalam ruang kerja Bian yang biasanya rapi dan bersih itu kini sudah seperti kapal pecah. Suara tangis Winda sama sekali tak ada pengaruhnya bagi Bian. Lelaki itu bukannya berhenti, malah semakin bertambah emosi.
Tak cukup sampai di situ saja, Bian kembali meluapkan kemarahannya dengan melempar barang apa saja yang terlihat di depan matanya pada anak laki-laki satu-satunya itu yang kini duduk bersimpuh dan berlutut di hadapannya.
“Sabar Pa, sabar. Bukan seperti ini caranya menyelesaikan masalah. Ingat sakit jantung Papa, kalau kumat lagi bagaimana?!” Winda menahan lengan Bian, berusaha menenangkan suaminya itu.
“Anak ini memang ingin melihatku cepat mati! Biar dia bisa dengan mudah membawa masuk perempuan si al an itu ke dalam rumah ini.” Dengan wajah memerah, Bian menatap murka pada El.
“Papa, Kiara bukan wanita seperti itu.” El menatap sendu wajah papanya, ia menggeleng tidak percaya mendengar ucapan papanya pada Kiara.
“Jangan mimpi Kamu, ya. Selama Aku masih hidup, tidak akan Aku biarkan hal itu terjadi. Tidak akan, camkan itu!” ucap Bian lantang. Napasnya kian memburu, turun naik tidak teratur dengan tangan mengepal kuat di kedua sisi tubuhnya.
“Pa, tolong beri El kesempatan untuk bicara dan menjelaskan maksud kedatangannya kali ini. Biar bagaimana pun juga, El putra kita satu-satunya. Dan Mama tidak mau kehilangan El lagi.” Winda semakin terisak.
“Satu langkah saja kakimu bergerak keluar meninggalkan rumah ini, jangan pernah berharap dapat memanggilku Papa lagi!”
“Pa!” Winda menggelengkan kepalanya, tangannya mengguncang lengan Bian. “Jangan bicara seperti itu pada anak kita, Pa.”
El merapatkan bibirnya. Matanya mengerjap lalu menggeleng perlahan. Kepalanya berdenyut menahan nyeri, merasakan pelipisnya yang berdarah akibat terkena lemparan benda dari tangan papanya.
“Pa, Ma. El datang kemari hanya ingin meminta doa restu Papa dan Mama atas pernikahan El dan Kiara,” ucap El seraya berusaha bangkit dan berdiri. “Kami berdua tidak minta yang lainnya,” imbuhnya lagi, menatap nanar pada Bian. Tak dihiraukannya lagi darah segar yang mulai menetes di pipinya .
“Restu katamu?” Bian menepis tangan Winda di lengannya, lalu berjalan mendekati El. Sorot matanya tajam menatap lurus tepat pada manik mata El yang terlihat menganggukkan kepalanya.
“Setelah semua yang Kamu lakukan pada kami, membuat malu keluarga ini dengan menikah diam-diam tanpa persetujuan dari kami. Setelah itu dengan mudahnya Kamu datang dan meminta restu pada kami. Kamu anggap apa kami di sini, hah!”
“Pa, sudah Pa. Lihat kening El berdarah,” ucap Winda panik, ia berusaha menarik lengan El agar menjauh dari Papanya. Namun tangan kuat Bian menghalangi gerakannya.
“Pa, El mencintai Kiara. Kami berdua sudah menikah dan tinggal bersama. Kedatangan El kemari hanya ingin meminta restu Papa dan Mama, dan mau menerima Kiara sebagai istri El dan menantu di keluarga ini. Kami tidak menginginkan harta atau lainnya,” jelas El mencoba melunakkan hati papanya.
“Cih, cinta katamu? Omong kosong!” Bian mendengkus, ia berjalan mengitari tubuh anaknya lalu dengan gerakan tak terduga Bian merampas amplop coklat yang sedari tadi ada dalam genggaman tangan El.
“Pa, jangan Pa. Itu bukti pernikahan El dan Kiara,” cegah El berusaha mempertahankan amplop miliknya, namun gerakan Bian lebih cepat dan ia berhasil menepis tangan El yang ingin meraih amplop dari tangannya kembali.
“Katakan terus terang, Kamu sedang butuh uang kan. Kamu sudah tidak sanggup hidup serba kekurangan, dan perempuan itu yang menyuruhmu untuk datang ke rumah ini dan meminta uang pada kami.”
Dengan tidak sabar Bian membuka amplop coklat di tangannya itu, mengeluarkan isi di dalamnya. Selembar kertas dan sebuah buku kecil berwarna merah. Tanpa rasa bersalah sedikit pun Bian merobeknya menjadi serpihan kecil lalu meletakkannya dengan satu kali sentakan di dada El, membuat lelaki muda itu mundur selangkah ke belakang dengan mata terbelalak.
“Tinggalkan perempuan itu, sampai kapan pun Papa tidak akan pernah merestui hubunganmu dengannya. Perempuan itu tidak pantas menjadi bagian dari keluarga kita. Beri dia uang yang banyak seperti keinginannya selama ini. Papa yakin dia hanya ingin mengincar harta keluarga kita saja,” ucap Bian dengan nada suara penuh penekanan.
“Pa!” seru El dengan suara bergetar, tangannya serta-merta mendekap potongan kecil kertas dan buku agar tetap berada di dadanya.
Sudut matanya perih, menatap tak percaya pada apa yang dilakukan Bian barusan padanya. “Harus dengan cara apa lagi El bisa meyakinkan Papa kalau Kiara bukanlah wanita seperti yang Papa tuduhkan selama ini.”
••••••••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
veronicarismaa1
hadiiirrrr
2022-11-11
0
Abu Alfin
hadir
semangat trus
🙏🙏🙏
2022-11-08
0
Hanum Anindya
bapaknya egois😡😡😡😡
2022-11-07
0