Dia Ayahku
Lintani duduk di kursi mobil tahanan polisi dengan tangan terikat dengan besi ringan berbentuk bulat yang biasa dipakai polisi untuk menahan penjahat. Ia dijaga dua orang bertubuh kekar yang berdiri di luar. Keadaan masih sedikit gelap, saat ia melihat pria itu dibawa dengan tandu dan dimasukkan dalam mobil jenazah.
Harapannya ingin melihat sosok pria yang sudah merenggut keperawanannya, sia-sia. Ia pria kuat yang kini telah tiada. Bagaimana tidak kuat jika dalam keadaan sekarat saja, ia mampu melakukan persetubuhan itu beberapa kali pada Lintani, dan apa yang dilakukan pria asing sangat menyakitkan dan berbekas begitu dalam.
Gadis itu menitikkan air mata untuk kepergiannya karena tidak berdaya. Seandainya tidak tertekan oleh keluarga Lux, mungkin ia akan menghancurkan jenazah pria itu sekarang juga.
Lintani terus menatap kepergian mobil jenazah yang berjalan menjauh dari balik kaca jendela, saat itu pula ia melihat Luxor dan Rauja—istrinya, dalam hati Lintani bertanya-tanya, untuk apa mereka ada di sana? Apakah mereka ingin menolongnya, atau hanya memastikan jika dirinya benar-benar tertangkap?
“Pak! Tolong keluarkan saya!” kata Lintani sambil mengetuk-ngetuk kaca mobil, dia di sekap di dalamnya setelah seorang polisi memberikan banyak sekali pertanyaan padanya.
“Pak! Tolonglah!” sekali lagi dia meminta agar para penjaga itu memberinya kesempatan untuk bertanya pada ayah angkatnya, kenapa ia dipersalahkan atas perbuatan yang tidak dilakukannya.
Polisi yang menanyainya tadi, selalu bertanya tentang belati kecil yang ada di tangannya, karena itu adalah bukti yang nyata jika Lintani pelakunya.
“Pelaku, apa?” tanya Lintani saat polisi menyebut dirinya sebagai satu-satunya tersangka.
“Pelaku pembunuhan!”
“Bukan aku! Pisau ini bukan punyaku!” Tiba-tiba dia menyesal, sudah mengambil benda itu dari kakinya dan melemparkannya begitu saja.
Ia lalu membiarkan darah terus keluar dari kakinya dan berharap jika darahnya habis, akan membuatnya tiada. Senang rasanya bisa bertengkar dengan pria asing itu di negeri akhirat sana.
“Demi Tuhan aku tidak melakukannya!” Elak Lintani tegas bahkan dengan berurai air mata.
“Kamu tidak bisa mengelak, sidik jarimu jelas ada di sana!”
Seketika Lintani diam, ia tidak bisa membantah bukti itu, meski sekeras apa pun ia mencoba membela diri, tidak akan ada yang percaya. Tubuhnya bersimbah darah, pakaian acak-acakan, tangan dan kakinya berdarah, membuktikan jika dia melakukan perlawanan sebelum akhirnya berhasil melenyapkan si orang asing. Itu bukti yang nyata, kan?
Bahkan orang awam pun bisa menilai dengan tepat saat melihatnya demikian. Mereka tidak akan percaya dengan apa pun yang ia katakan termasuk jika ia sebenarnya dipaksa.
Bukankah manusia selalu lebih mudah menilai apa yang mereka lihat dan rasakan, dari pada menelaah lebih dalam, saat menilai sikap dan perbuatan orang lainnya.
Lintani terus memohon pada penjaga agar diberi kesempatan untuk menemui ayah dan ibu angkatnya. Mereka secara kebetulan atau sengaja ada di tempat kejadian perkara. Seingatnya, lokasi rumah kecil dari kayu itu, sangat jauh letaknya dari jalan Raya, apalagi dari rumah mereka.
Gadis itu melihat sekeliling tempat persembunyian para bandit, terletak di dataran tinggi, dan hanya ada satu jalan setapak yang jarang di lewati orang. Hal ini membuatnya heran, bagaimana Lux dan istrinya bisa berada di tempat seperti ini?
‘Apa mereka semua terlibat?’ pikir Lintani.
Lintani tidak bisa mengelak dari pikiran buruk saat ia mengikuti perintah dari dua orang pria, yang menjemputnya di tempat kerja. Ia bekerja menjadi pengemis di Mall tempat para sosialita berkumpul malam itu. Ia sudah terkenal menjadi gadis miskin yang rela melakukan apa saja demi uang dari para sosialita.
Semakin banyak uang yang ia dapatkan, semakin senang keluarga Lux kepadanya dan ia akan mendapatkan jatah makan.
“Kamu harus menggantikan posisi Haifa malam ini!” kata Luxor saat meneleponnya.
“Menggantikan sebagai apa, Tuan Lux?” Dia tidak tahu maksud ayah angkatnya untuk menggantikan Haifa, apakah menjadi bintang terkenal seperti Haifa saat ini?
“Ikuti saja dua orang itu dan jangan banyak bertanya!”
Lintani masih ingin bertanya, tapi, telepon genggamnya mati begitu saja.
“Halo! Tuan Lux! Menggantikan apa maksud Anda?” tanya Lintani heran. Tapi tidak ada jawaban.
Ponsel yang dia miliki adalah telepon genggam model lama yang sudah tidak laku lagi jika dijual di pasaran, benda itu sering mati dan layarnya sudah retak. Semua gara-gara Haifa pernah membantingnya
Beberapa hari yang lalu gadis itu marah padanya, hanya karena cemburu. Ada pemuda anak dari salah seorang sosialita, yang tiba-tiba mendekati Lintani saat gadis itu melakukan aksi mengemisnya, pria tampan itu menanyakan siapa namanya.
Dia heran, bagaimana Haifa bisa tahu kejadian yang melibatkan perasaannya saat itu, apakah mereka selalu mengawasinya walaupun sedang meminta-minta?
Oleh sebab itu, sekarang Lintani selalu berdandan lebih jelek dan Rauja melarang dirinya sendiri jatuh cinta pada siapa pun, demi menjaga hati Haifa. Setidak-tidaknya dia menjaga dirinya sendiri agar tidak mati, juga demi sekolahnya agar tidak berhenti.
Ia butuh ijazah demi masa depannya agar bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan mandiri, ia harus mengumpulkan uang banyak sebagai modal jika ingin mencari Viana—ibunya. Selain itu ia ingin membebaskan diri dari keluarga Lux agar tidak ditindas lagi.
Seperti malam itu, Lintani merasa begitu tertindas saat kedua pria kekar menjemput dan mengancamnya untuk bertahan dalam kamar gelap. Sebab kalau tidak, mereka akan membunuh dan menjual jantungnya. Ia tidak ingin mati dalam keadaan penasaran karena tidak bisa menyelesaikan kuliah dan mencari ibunya.
Namun, nyatanya kini ia harus dipenjara, yang artinya tidak akan pernah menyelesaikan kuliahnya atau menggapai cita-cita, tidak akan ada yang mau memperkerjakan seorang narapidana? Tiba-tiba ia menghapus sebuah catatan dalam hati, tentang tekad untuk mencari Viana, mungkin wanita itu memang sengaja membuang anaknya.
“Kamu tidak punya hak untuk meminta apa pun di sini!” kata penjaga itu saat Lintani tengah memohon lagi.
“Apa Anda lihat, pria yang berdiri dekat pohon itu?” Lintani bertanya, sambil menunjuk ke satu arah dengan tangan yang terikat di mana Luxor berada tak jauh dari mereka.
“Pak! Bisakah Anda memintanya ke mari? Dia Ayahku, aku yakin dia tahu sesuatu, karena aku tidak melakukan pembunuhan!” kata Lintani lagi sambil berusaha membuka pintu tapi, tidak berhasil, pada saat itu ia sangat ketakutan.
Ini untuk pertama kalinya ia memanggil Luxor dengan sebutan ayah, sebab biasanya, pria itu akan mengizinkan memanggil ayah saat acara sekolah saja, di mana gadis itu menjadi juara di kelasnya.
“Kamu bisa mengoceh sesukamu, nanti, di pengadilan! Di sini tidak ada yang punya hak bicara kecuali penyidik perkara!” sahut penjaga dengan kasar.
“Tapi, Pak, kumohon!” kata Lintani sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada.
“Diam! Kau pembunuh!”
Lintani diam sejenak, lalu, dia bertanya ....
“Apa Anda tahu, siapa pria yang telah kubunuh?”
“Nah, akhirnya kamu mengakui dengan mulutmu sendiri, kalau kamu benar-benar pelakunya, kan?”
“Tapi, aku tidak ....”
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
ν⃟α͢иͮуᷠαᷨ
astaga lintani malah tanya '' siapa orang yang kubunuh'', salah kata buat bertanya lintani ☹️
semoga ada yang menolong lintani
2022-10-19
45
Nindira
Semangat terus thor
2022-10-15
12
☾⃟ℳoon - Moon 🌙
Apa perasaan Lintani ya?
Takut? Sedih? Marah? Bahagia? 😅
2022-10-12
13