Abrine mengerjapkan matanya sesaat. Bersamaan dengan itu, dia merasakan sakit disekujur tubuhnya. Sambil meringis, perlahan-lahan dia mulai menyadari keberadaannya sekarang-- dikarenakan aroma desinfektan yang menyeruak ke indera penciumannya. Rumah Sakit. Ya, pasti sekarang dia berada di ranjang pesakitan.
Saat matanya sudah sepenuhnya terbuka, Abrine segera menelisik ke seluruh penjuru ruangan dan benar saja dugaannya-- jika sekarang dia menjadi seorang pasien dalam ruang perawatan.
"Ah, apa yang terjadi?" Abrine mencoba mengingat momen terakhir yang menyebabkannya bisa berakhir ditempat ini.
"Ah, sepertinya, aku mengalami kecelakaan." Abrine menebak saat melihat begitu banyak luka baru di sekujur tangan dan kakinya sekarang, juga pelipisnya yang diberi perban. Sejatinya, dia tidak mengingat apapun kejadian kemarin.
"Selamat pagi, Nona." Abrine mengadah pada pintu. Seorang perawat wanita masuk membawa sebuah nampan yang berisi makanan dan obat-obatan.
Abrine tak menjawab, dia hanya berdehem pelan.
"Ini adalah sarapan anda. Silahkan dimakan. Apabila sudah siap, segera minum obatnya, Nona." Perawat itu bertutur lembut disertai senyumnya yang hangat.
"Hemm... thanks," Abrine membalas dengan senyuman pula. "Tapi, apa sudah ada yang menghubungi keluargaku?" tanya Abrine.
"Saya tidak tahu, Nona. Dokter El yang menjamin anda disini. Apakah anda kerabatnya?" Perawat itu justru balik bertanya pada Abrine, membuat Abrine mengernyit tak paham. Siapa katanya tadi? Dokter El? Siapa dia?
"Siapa Dokter El?"
"Ya, ada apa Nona?" tanya perawat tampak heran.
"Siapa katamu tadi, yang menjaminku disini?"
"Oh, Dokter Elrich. Anda kerabatnya, bukan?" ulang Perawat itu dengan pertanyaan serupa.
"Atau.... justru kekasihnya?" Perawat itu tersenyum menggoda.
Abrine menggeleng pelan dan sepersekian detik berikutnya dia merasakan nyeri dikepalanya. Sang perawat langsung tampak panik.
"Anda tidak apa-apa, Nona?"
Abrine tak menyahut, hanya memegang kepalanya yang terasa semakin nyeri.
"Baiklah, saya akan panggilkan Dokter Xander untuk memeriksa anda, sekalian Dokter El juga yang selaku wali anda disini, sepertinya dia juga sudah baik-baik saja," ucap perawat itu yang terdengar ambigu dalam pemikiran Abrine. Perawat itu lalu segera beringsut dan menekan tombol panggilan cepat kepada Dokter yang menangani Abrine di Rumah Sakit tersebut.
_______
"Apa kau yang bernama Dokter El?" Abrine bertanya pada seorang pria tinggi yang masih berada diruang rawatnya. Sedangkan Xander, sudah lebih dulu keluar setelah memeriksa kondisinya beberapa saat lalu. Tak ada percakapan berarti antara Xander dan Abrine meski pria itu adalah kekasih Yemima, mereka hanya berbincang tentang keadaan Abrine saja tadi.
"Hmmm," sahut pria berambut kecoklatan itu.
Abrine mengernyit heran, pasalnya tangan Dokter El terbalut perban dan disangga dengan sebuah alat gendongan tangan. Seketika itu juga Abrine mulai menyimpulkan sesuatu.
"Apa--apa itu karenaku?" Abrine bertanya dengan takut-takut, dia menunjuk sekilas pada tangan sang Dokter.
"Ya, lain kali jangan bertindak bodoh."
"Astaga." Abrine menghela nafas panjang.
"Kau belum memakan sarapanmu?" Elrich menatap pada nampan diatas nakas yang makanannya masih tertutup dengan plastik wrap-- tanda belum tersentuh sama sekali.
"Dokter, apa kau sudah menghubungi keluargaku?"
Dokter dengan iris mata berwarna hazel itu menggeleng. "Kau sangat tidak sopan, Nona!" sungutnya.
Abrine menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kenapa sekarang jadi runyam begini. Keadaan dan kondisinya sedang tidak baik-baik saja.
"Bukankah seharusnya dia meminta maaf dulu kepadaku? Atau mengucapkan terima kasih?" batin Elrich mengumpat pasien dihadapannya. Namun, ucapan itu hanya bisa dia lontarkan dalam hati saja.
Bukan hanya suhu ruangan yang terasa sangat dingin sekarang, tetapi suasananya juga mendadak sangat kaku, beku, canggung dan apalah itu namanya. Abrine hanya bisa menghela nafas lirih sambil sesekali melirik pada seorang pria yang dia ketahui sebagai Dokter yang bernama Elrich. Pria itu tampak terdiam sejak tadi, tanpa menjawab satupun pertanyaan yang dia lontarkan.
"Aku tidak mengingat apapun, ku pikir tadi, aku hanya kecelakaan seorang diri. Kecelakaan tunggal yang tidak menyebabkan orang lain terluka." Abrine menatap Elrich dengan tatapan berkaca-kaca dari ranjang tempatnya berbaring.
Tanpa diduga, sang Dokter malah beranjak dari duduknya. Berjalan pelan menuju pintu keluar ruangan.
"Dokter El...." lirih Abrine memanggil. Dia merasa bersalah, apalagi melihat kondisi tangan pria itu. Ini semua murni kesalahannya yang memang dalam kondisi sedikit mabuk tadi malam. Tapi sejauh apa yang terjadi, Abrine tidak ingat. Dalam pemikirannya adalah mungkin dia sedang mengemudikan mobil dalam keadaan mabuk lalu menabrak Elrich.
Elrich menghentikan langkah tanpa niat berbalik untuk menatap Abrine.
"Aku minta maaf," ujar Abrine sungguh-sungguh.
Cukup lama Elrich terdiam tak langsung menyahut. Tapi, ucapannya kemudian cukup membuat Abrine tertohok.
"Aku tidak menerima maaf tanpa kesungguhan," ujarnya dingin.
"Aku sungguh-sungguh minta maaf. Maaf juga karena aku tidak langsung mengatakannya tadi. Dan .... terima kasih sudah menjadi penjaminku disini," kata Abrine tulus.
"Jika memang begitu, kau harus membuktikan rasa bersalahmu itu. Maaf saja tidak akan cukup." Sebenarnya Elrich tidak mau berlama-lama berurusan dengan gadis yang sudah mencelakainya ini, tapi entah kenapa secara bersamaan, dia mengingat pesan yang sempat diucapkan Ayahnya belakangan hari, sehingga terbersit sebuah ide gila yang membuat dia ingin memanfaatkan keadaan didalam kesempitan.
Abrine keheranan setengah mati. El terlihat dingin dan irit bicara, tapi sekalinya mengeluarkan suara, ucapannya sangat membuat Abrine terkejut bahkan sampai tak habis pikir. Kenapa Dokter ini terkesan ketus dan dingin padanya? Dia tahu dia salah, tapi selain itu apa lagi kesalahannya?
"Jadi kau tidak mau menerima maafku dan ingin memperkarakan insiden ini?" tanya Abrine yang masih pada pemikirannya jika dia telah menabrak Elrich.
Elrich mengendikkan bahu tak acuh, tak lebih dari dua detik dia benar-benar berlalu dari bangsal tempat dimana Abrine di rawat saat ini.
Abrine menghela nafas sepenuh dada setelah kepergian Elrich. Dia bingung harus bagaimana jika orangtuanya tahu masalah ini. Terlebih, seluruh keluarganya ada di Indonesia sekarang dan dia pernah berjanji tidak akan membuat masalah yang merepotkan. Tapi ternyata dia malah menabrak orang lain dan menyebabkan dirinya sendiri terluka. Ini akan membuat keriuhan tersendiri. Belum lagi kalau orangtuanya tahu jika dia sempat mengonsumsi minuman beralkohol. Walau tidak sengaja meminumnya, tapi tetap saja pada kenyataannya dia mabuk.
Disisi lain, Elrich merasa buntu dan tidak punya pilihan lain.
'Tolong pikirkan keinginan Ayah, El. Ayah ingin sekali melihatmu menikah. Anggaplah ini sebagai permintaan terakhir Ayah kepadamu.'
Itulah pesan yang rutin Ayahnya ucapkan beberapa bulan belakangan ini. Ayah El memang sedang sakit dan El tidak kuasa menolak permintaan pria yang menyayanginya itu. Kendati demikian, El tidak mempunyai calon untuk dia nikahi. Bukan karena tak laku, tapi dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan tidak pernah memiliki waktu untuk berpacaran. Belum lagi sifat bawaannya yang kaku, dia tidak pandai mendekati seorang gadis maupun wanita.
Elrich bukan tidak pernah berpacaran. Garis bawahi itu. Tapi, dia merasa itu hanyalah kegiatan sia-sia yang membuang waktunya. Wanita selalu menyusahkan. Belum ada yang membuat El benar-benar tertarik dan penasaran. Elrich tidak suka wanita manja yang merepotkannya. Sejauh ini dia selalu dikejar para wanita yang bersifat sama--manja dan bertingkah--itu membuat dia malas untuk meladeni sikap mereka.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Ngopi Atuh
suatu kebetulan yg indh bukn
2022-09-03
1
🌷💚SITI.R💚🌷
wah idey trlalu elrich kasian abrine ini mah..tp klu jodoh ga mungkin lari kmn ya brine...semangat up thoor
2022-08-02
0
Rosyza
ditunggu up ny kk
2022-08-02
2