Ini adalah hari terakhir. Dia harus memberi kabar ke pihak rumah sakit, ibunya jadi di operasi atau tidak. Dia hanya pasrah.
Pagi ini. Mirna sudah antri di ATM Dekat kantornya. Masih pukul 07:02 Wib. Dia berada di antrian ke tujuh, diantara karyawan lainnya. Karyawan yang baru overan shift malam ke shift pagi. Terlihat wajah-wajah ceria. Gajian yang di tunggu tiba.
Gaji pertama. Iya, ini adalah gaji pertama Mirna. Seharusnya, wajah polos nan cantik itu berbunga-bunga. Ceria, Tersipu-sipu. Merasakan gaji pertama.
Namun, itu tidak terlihat di wajahnya. Tanpa ekspresi ceria. Malah kecemasan, gelisah dan sedih. Itu yang nampak di pagi ini. Mirna sudah tau kisaran gaji yang di transfer bagian HRD ke rekeningnya.
Tak lebih dari 4 juta rupiah. Itu nominal yang tertulis saat Mirna menanda tangan kontrak kerja. Bahkan mungkin berkurang, untuk potongan BPJS Ketenagakerjaan.
Mirna akan mentransfer 3 juta rupiah ke kampung. Ke rekening saudara yang bekerja di kantor kecamatan. Untuk biaya hidup adik-adiknya di kampung. Biaya berobat ibu sudah di transfer paman kemaren pagi.
Mirna meneteskan air mata. Butiran-butiran yang menggenang, berdesakan dan jatuh. Kini giliran dia. Dia masuk dan terlihat antrian masih mengular di belakangnya.
Dia memasukkan PIN ATM nya. Sukses. Dia langsung tekan menu transfer. Dia berhenti sejenak. Mencari nomor rekening tujuan di HP androidnya.
Dua misscall. Notifikasi di HP diabaikan. Jari manisnya kini sudah menekan kode bank. Disusul nomor rekening.
"Tiga juta," ucap Mirna sambil menekan angka-angka di layar ATM.
Segera dia pungut bukti transfer. Yang terjatuh ke lantai. Dimasukkan ke tas kerja nya.
Kurang dari sejuta. Itu pasti sisa saldonya. Namun, Berpikir sejenak. Berapa yang bisa di ambil. Untuk biaya hidup dan bayar uang kost. Mirna sudah tidak tinggal di rumah paman lagi. Karena rumah paman jauh ke kantornya.
CEK SALDO. Tertulis di layar. Lalu di tekan. Agak lama juga Mirna menunggu. Mungkin lagi gangguan teknis. Di ulangi lagi. CEK SALDO. Terdengar suara dari luar sudah mulai gaduh. Antrian semakin panjang.
"Lho!?!" Mirna kaget setengah mati. Matanya terbelalak melihat saldo yang ada di layar ATM.
"K-ko koq bisa saldonya sebanyak ini," Mirna seakan tak percaya. Dia kucek matanya. Nominal itu tetap segitu. Tidak berubah.
"Apa ada yang salah transfer?!," sambil tengok ke luar sudah mulai menggedor pintu ATM. Antrian sudah tidak beraturan.
Mirna putuskan keluar. Dia tidak jadi mengambil uang. Mengambil antrian kembali di barisan belakang. Mirna terus bertanya-tanya. Dari mana asal uang itu.
Apa mungkin ada yang salah transfer? Kalau di transfer orang lain, itu tidak mungkin. Dirinya baru sebulan memiliki rekening. Dan belum pernah juga berbagi nomor rekening ke siapa pun.
Mungkin satu-satunya yang tahu nomor rekeningnya adalah bagian Payroll. HRD perusahaan tempat dia bekerja. Dia maju selangkah. Antrian berkurang satu.
Saat pikiran Mirna menjelajah kemungkinan aliran uang yang masuk ke rekeningnya, Telepon masuk.
Dari saudaranya, yang menjaga ibunya di rumah sakit.
"Bagaimana, Mir? Jam 9 ini kepastian jaminan uang untuk operasi ibumu,"
"Iya, tante, sabar ya. Saat ini belum bisa Mirna putuskan. Tolong tante sampaikan ke dokternya, nanti jam 9 saya telepon,"
Telepon dimatikan. Mirna di kejar deadline. Semakin dekat dengan waktu yang ditentukan rumah sakit. Pikirannya kembali dipenuhi masalah saldo di rekening. Belum tuntas.
Segera dia meraih HP nya. Memastikan ini sudah jam berapa. 07:30. Masih ada waktu 1,5 jam. Dia berpikir keras. Harus segera mengambil keputusan.
"Apa mungkin saya salah menuliskan nomor rekening suplier di rekapan daftar pembayaran? Apa saya menuliskan nomor rekeningku sendiri disana? sehingga atasan saya salah transfer?" Sampai ke situ menyelidiki asal uang yang ada direkeningnya
"Tapi tidak mungkin. Atasanku terkenal sangat teliti." Melangkah ke depan memperpendek antrian. Masih tersisa 11 menunggu giliran. Waktu sudah mau pukul 08:00, jam kerja kantor. Dia belum pernah telat absen masuk.
07:55. Masih ada 5 antrian lagi. Tidak mungkin sempat lagi. Mirna pun mengakhiri antriannya. Melangkah menuju gerbang kantornya.
Kantor Finance & Accounting
Pukul 08:45. Mirna semakin berpacu dengan waktu. Mirna harus mengambil keputusan tentang operasi ibu. Jadi atau tidak. Ibu semakin lemah digrogoti tumor ganas di hati. Tanpa operasi, ibu tak akan sembuh.
"Apa yang harus saya perbuat ya, Tuhan? Air matanya kembali menetes. Meminta petunjuk dari sang khalik.
"Di rekeningku ada 36 juta ya Tuhan, tapi saya tidak tau, itu uang siapa," Mirna berdoa di dalam toilet kantornya.
"Apakah saya boleh memakainya ya Tuhan, Apakah itu dosa ya Tuhan? Ibu saya mau operasi, saya butuh uang itu Tuhan," suaranya tertahan. Takut terdengar ke toilet sebelah yang berjejer.
Rumah Sakit Sereni Esta
Pukul 13:00 di hari berikutnya. Di sebuah rumah sakit daerah. Dua orang perawat mendorong seorang pasien. Diikuti saudaranya. Seorang perempuan paruh baya. Terbaring lemah.
Heni Suista. Usia 46 tahun. Tertulis data pasien. Pasien Pasca Operasi. Dia perempuan yang melahirkan Mirna.
Ibu Mirna sudah selesai di operasi. Operasi tumor hati. Kini keluar dari ruang operasi. Menuju ruangan bedah khusus wanita.
Di sebuah kantor. Mirna masih tidak percaya. Dia telah memakai yang bukan uangnya. Yang belum dia tau asal-usulnya. Untuk pengobatan ibunya. Walau jelas ada di rekeningnya. Namun, uang itu tidak jelas asalnya.
Slip gaji sudah di ambil, tertulis di sana 4 juta rupiah. Di kurangi potongan-potongan. Amatlah tidak mungkin bagian payroll salah transfer gaji karyawan.
Namun, Mirna yakin. Ini bukanlah dosa. Bukan juga kejahatan. Hanya untuk selamatkan nyawa ibu. Andai ada yang menuntut uang dikembalikan, maka dia akan kembalikan. Walau lewat cicilan.
Mirna kini sudah lega. Satu cita-citanya sudah tercapai. Membantu Ibu. Membayar biaya pengobatannya. Menyelamatkan ibunya dari ganasnya penyakit.
Isi saldo masih misteri. Yang terus dia cari. Siapa gerangan yang baik hati. Mirna yakin, belum ada yang tahu nomor rekeningnya.
Bahkan rekan seruangan, belum ada yang tahu. Belum pernah berbagi nomor rekening. Hanya bagian payroll, bagian HRD yang tahu rekeningnya.
"Kenapa melamun, Mirna?" Mirna kaget setengah mati. Jantung nya hampir copot. Seorang pria mendekatinya. Seumuran pamannya. Namun, terlihat masih awet muda. Gayanya tak kalah dengan anak-anak muda, teman sekantor Mirna.
Frengky Nors. Dia adalah Manager HRD di perusahaan ini. Umurnya 47 Tahun. Seorang Duda. Periang dan suka humor. Dia adalah teman paman Mirna. Dan lewat dialah info lowongan paman ketahui. Dia juga yang merekomendasikan Mirna ke manager Finance&Accounting. Atasan Mirna.
"Eh, Om Nors, eh..P-pak Nors. Saya kaget benar Pak Nors."
"Apa yang dilamunin, cowoknya yach?" Pak Nors mulai menggoda Mirna sambil duduk di dekatnya.
"Bukan Pak Nors, belum punya cowok Pak."
"Kalau belum punya cowok, biar saya kenalkan, dia ada di sini juga," jurus Pak Nors mulai masuk.
"Siapa Pak Nors," Mencecar penasaran.
"Siapa lagi kalau bukan Pak Nors,"
Mereka berdua tertawa lebar. Terlihat sangat akrab. Mereka memang sering ketemu di rumah paman Mirna. Jadi sudah terbiasa dekat.
Di pintu masuk kantin. Seorang pria terpaku, Diam. Membisu. Tangannya menenteng plastik bertuliskan merek makanan terkenal. Matanya membulat sempurna. Menatap ke meja sebelah utara dekat jendela.
Itu adalah meja favorit Mirna menghabiskan makan siangnya. Mirna dan Pak Nors kini terlihat obrolan serius. Dari gestur wajah Mirna, bisa dipastikan membahas penyakit ibu.
"Saya sudah beberapa kali di kasih tahu Pak Rum. Kalau ibumu sedang sakit. Pamanmu juga meminta tolong untuk dipinjamkan uang, untuk biaya operasi," kata Pak Nors sambil melap air mata Mirna.
Di depan pintu kantin. Semakin terpaku. Berat kaki melangkah. Hatinya teriris melihat Mirna dan seorang pria penting di perusahaan ini. Apalagi saat Pak Nors melap air mata Mirna.
Dia kini tidak lagi di pintu masuk kantin. Walau berat, bergeser ke arah selatan. Menuju ruangan Finance & Accounting. Ruang kerja Mirna. Dia menitipkan makanan yang dibawanya ke sekurity yang berjaga disana.
Pria itu kini memacu mobil pajero sportnya. Dia menuju Rumah Kediaman Noto Brotoseno. No 10. Rumah mewah berlantai 2.
Seorang lelaki tegap, segera membukakan pintu gerbang. Lalu menutupnya kembali. Segera pemilik mobil pajero keluar menuju lantai atas. Seorang ibu paruh baya terusik dengan langkah pria itu.
"Alex....., kenapa?" tanya ibu sambil mengikuti ke lantai 2.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments