Pagi hari, masih jam 06:09 Wib, paman sudah memanaskan mobil. Mau segera mencari tiket bus untuk Mirna. Rencananya, sore ini Mirna mau pulang kampung.
Segera seolah tak ingin membuang waktu, paman meluncur. Memacu kendaraannya. Membelah jalanan yang mulai rame. Waktu yang harusnya di pakai paman untuk bersantai. Tapi kini sudah berjibaku dengan waktu.
Sementara, Mirna masih terlihat sedih memikirkan kondisi ibunya. Belum 10 menit meninggalkan rumah, paman tiba-tiba mengurangi kecepatan. Sepertinya ada yang tidak beres. Dan tangannya mencari-cari sesuatu di kantong celananya. Ternyata HP paman ketinggalan.
"Sialan, HP ku ketinggalan." Sambil menggerutu, paman berbelok arah, kembali ke rumah. Ternyata, HP paman tertinggal di kamar.
Dengan tancap gas, paman menuju rumah. Dia tak ingin kehabisan tiket. Karena biasanya tiket bus untuk keberangkatan hari ini sudah harus di pesan jauh-jauh hari.
Hanya sedikit tiket yang belum terpesan. Itupun duduk di kursi paling belakang. Jika beruntung, maka dapat tiket. Ulah ojek online yang mutar sembarangan membuat paman menginjak rem mendadak.
Tak lama, paman sudah kembali ke rumah. Bibi merasa heran dan menghampiri paman.
"Kenapa, Pak, koq udah pulang?"
"HP ku ketinggalan," kata paman bergegas menuju kamar.
Dan ternyata sudah ada 2 misscall.
"Pak Nors, ada apa ya?"
Sengaja paman tidak memanggil balik. Dia tak ingin kehabisan tiket. Dia bergegas sambil pamit ke bibi.
"Prak....". Bunyi pintu mobil paman.
Mirna terlihat menetekkan air mata. Kepulangan paman mengambil HP bagai pertanda kalau dia tak akan bisa pulang sore ini. Namun, dia coba hibur diri. Meyakinkan kalau paman pasti dapat tiket.
Hp paman kembali berbunyi, saat mobil sudah dihidupkan paman. 'Pak Nors memanggil' Terlihat di layar HP paman.
"Waduh Pak Nors lagi. Ini pasti panjang kalau nelpon." Gerutu paman galau.
"Diangkat gak ya..bisa kehabisan tiket saya."
Paman Bimbang. Pilihan sulit.
" Halo Pak Nors." Paman menjawab.
"Halo Pak Rum, lagi dimana? Dari tadi gak di jawab telpon saya,"
"Tadi HP ku ketinggalan, ini aku baru balik ke rumah mengambil HP."
"Iya Pak Rum, ada kabar gembira, dan...."
"Berita gembira apa Pak Nors?" Paman memotong... Paman benar-benar tidak ingat kalau Mirna sedang melamar kerja di perusahaan Pak Nors.
"Itu Pak Nors, ponakan Bapak, siapa...Mirna ya...?
" Iya Pak Nors, Mirna.. Dia diterima ya Pak Nors?" Cecar Paman ingin segera tahu.
"Betul Pak, Mirna di terima bekerja di perusahaan kita. Dan mulai besok sudah harus tes kesehatan dan bekerja. Dia diterima di bagian finance Pak Rum."
"Terimakasih Pak Rum. Ini jadi berita gembira buat Mirna. Dia pasti senang benar dengan kabar ini. Sekali lagi, terimakasih ya Pak Nors atas bantuannya."
"Ah Pak Nors, sesama teman harus saling bantu. Kebetulan Mirna anak nya Smart, dan manis juga, hahahaa"
"Tapi Pak Nors....." Paman berhenti sejenak.
"Kalau masalah salari, sudah termasuk gede di perusahaan kita Pak Rum."
"Bukan itu Pak. Besok Mirna mau pulang kampung. Ibunya sakit keras, harus di operasi. Ini aku mau nyari tiket bus."
"Waduh.. di tunda dulu Pak pulangnya. Ini kesempatan besar Pak. Besok-besok makin susah nyari pekerjaan," jawab Pak Nors membuat paman makin bingung.
"Tapi Pak Nors, ibu Mirna mau operasi. Jadi dia harus pulang."
"Terserah Pak Rum lah, kalau besok-besok aku gak bisa bantu lagi," ucap Pak Nors sambil mematikan telponnya.
Paman terdiam seribu bahasa di dalam mobil. Pilihan sulit. Mau pilih yang mana?. Paman terlihat berpikir keras.
"Koq malah bengong, Pa? Bukannya langsung nyari tiket. Keburu habis Pak. Kasihan Mirna dari tadi nangis terus," kata bibi sambil menggedor pintu mobil paman.
"Saya bingung bu, mau pilih yang mana ini?" Kata paman sambil membuka pintu mobil.
"Bu, sini dulu," kata paman setengah berbisik sambil menarik tangan ibu ke garasi.
"Barusan Pak Nors telpon, Mirna diterima kerja. Besok harus tes kesehatan dan mulai kerja."
"Mirna di terima kerja Pak? Syukurlah.... Tapi gimana ya, ibunya sakit keras."
Paman dan bibi terlihat diskusi serius di garasi mobil. Mereka kesulitan memilih pilihan yang ada.
"Tidak jadi beli tiket, Paman?" Mirna mendekat ke garasi mengagetkan paman dan bibi.
"Eh..iya..Mir, Ayo kita ke ruang tamu dulu ya"
Mereka bertiga sudah duduk di ruang tamu. Paman kembali terlihat berpikir keras untuk menyampaikan kabar ini. Kabar gembira yang justru akan sulit di terima Mirna.
Kabar buruk maupun kabar baik, paman harus berpikir keras untuk menyampaikan ke Mirna. Terlihat bibi memberi kode agar paman segera memulai.
Mirna malah jadi curiga. Melihat gerak gerik paman dan bibi. Dipikirannya, jangan-jangan Ibunya sudah benar-benar meninggal.
Mirna tiba-tiba berlari ke kamar sambil menangis.
"Mirna." Serentak paman dan bibi memanggil sambil mengikuti Mirna ke kamarnya. Bibi masuk ke dalam kamar. Paman tertahan di pintu masuk. Mirna menangis terduduk di lantai kamar sambil memeluk baju ibunya.
"Mirna, Bibi kasih tau ya, Pamanmu tidak jadi beli tiket, karena Mirna di terima kerja. Jadi besok kamu harus tes kesehatan. Kamu di terima kerja Mirna. Kamu harus senang. Kamu bisa bantu ibumu dan adik-adikmu." Bibi memeluk Mirna.
Mirna malah semakin menangis mendengarnya. Pelukannya semakin erat ke tubuh bibinya. Hatinya semakin berkecamuk. Antara pulang kampung dan kerja.
Pilihan yang menguras emosi. Dia meninggalkan ibunya untuk bekerja di kota. Namun, kini ibunya sedang sakit keras. Dia ingin segera melihat ibunya. Paman masih terpaku. Diam tak bersuara. Bibi masih berusaha menenangkan Mirna.
"Mirna harus pulang, Bi," Mirna memohon ke Bibi.
"Mirna harus melihat Ibu. Mirna harus pulang, Bi." Mirna menangis makin menjadi.
"Mirna...," Paman mencoba ikut meyakinkan Mirna. Suara paman agak meninggi.
"Kalau kamu pulang kampung, apakah kamu bisa menbantu pengobatan ibumu, Tidak bisa kan? Paman sarankan, kamu tidak usah pulang," Paman berusaha meyakinkan Mirna.
"Ini kesempatan langka. Kalau kamu sudah bekerja, kamu bisa membantu ibumu. Membeli obatnya. Ingat Mir, kalau kamu kerja mulai besok, maka akhir bulan kamu sudah terima gaji. Dan bisa membeli kebutuhan ibumu. Berdoa saja. Allah pasti menyembuhkan ibumu. Kamu harus percaya. Ibumu pasti akan sembuh."
Paman berbicara agak tegas agar Mirna tidak pulang kampung.
"Iya Mirna, cita-citamu kan mau membantu ibumu dan adik-adikmu. Ini kesempatan besar. Besok kamu sudah bekerja dan bisa membantu ibumu. Membeli obat dan keperluan lainnya.
Mirna kini terdiam. Tidak lagi menangis. Namun masih memeluk bibinya. Dia berlahan melepas pelukannya dari bibi. Lalu melangkah ke arah paman dan memeluk pamannya.
"Terimakasih Paman, atas semua kebaikan Paman. Mirna tidak jadi pulang paman. Mirna akan bekerja besok."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments