Mirna sudah tidak sabar. Ingin segera mendengar berita tentang lamarannya. Ini adalah hari ke-8 setelah Mirna test Interview. Setiap sore, ketika pamannya pulang, dia sengaja berada di teras rumah. Sambil menyiram bunga. Dia benar-benar ingin mendengar dari pamannya.
"Mirna, kamu diterima bekerja."
Dia bagaikan gadis yang sedang menunggu kekasih pujaan hatinya. Untuk melamarnya. Hari ke-9, 10, 11......,30. Belum juga ada kunjung kalimat yang di tunggu-tunggunya.
Mirna tak sadar, mencari kerjaan di jaman sekarang begitu susah. Bahkan banyak sarjana belum juga bekerja. Padahal, Mirna hanyalah lulusan SMK, jurusan Akuntansi. Jelas kalah bersaing dengan lulusan sarjana Akuntansi.
Itulah Mirna. Gadis yang sangat optimis. Walau hanya lulusan SMK, dia yakin dengan kemampuannya. Masalah pembukuan dia kuasai. Nilai 9 untuk Akuntansi Biaya. Selain itu, dia yakin, kemampuan mengelola waktu, kontrol emosi yang bagus, sifat ramahnya dan cara bersosialisasinya.
Serta tekad bulatnya untuk membahagiakan ibunya menjadi senjata andalannya. Selain itu, cara memghadapi orang sudah terlatih saat PKL, di sebuah bank. Cara berbicara di depat umum dan berorganisasi sudah dia kuasai sejak menjadi ketua OSIS.
Itu modalnya. Dia teringat suatu saat waktu PKL di sebuah bank. Ucapan seorang karyawan bagian personalia.
"Sebenarnya, perusahaan-perusahaan itu juga susah mencari calon karyawan. Walau banyak pelamar, belum tentu ada yang memenuhi syarat"
"Syaratnya apa, Bu?" tanya Mirna.
"Yang pertama, tidak harus pintar-pintar amat, harus punya sifat kemauan belajar, kepribadian good, murah senyum dan pintar bersosialisasi, kontrol emosi yang baik dan di percaya"
Itu saja. Sebenarnya gampang. Namun, itu tidak dimiliki calon karyawan. Itulah yang selalu di pegang Mirna. Sebagai senjata untuk menaklukkan persaingan di kota. Karena itu semua dipunyai Mirna. Bahkan dia termasuk anak pintar di sekolah.
Empat puluh empat hari sudah Mirna menunggu. Belum juga ada kabar. Dia mulai gusar, gelisah dan tak tenang. Dan ini adalah malam ke-44. Apakah malam ini juga sama dengan malam-malam sebelumnya?
Namun, Mirna yakin sekali, malam ini ada berita bagus buat dia. Karena firasatnya agak berbeda sejak pagi tadi. Ini adalah pertanda.
Tidak seperti biasanya, paman pulang agak sorean. Pukul 17:15 Wib. Biasanya paman pulang pukul 18:30 an. Mungkin inilah saatnya. Pasti ada berita baik dari paman.
Sesaat waktu paman masuk ke rumah, tatapan paman agak berbeda dari sebelumnya. Tatapan paman seakan mau menyampaikan sesuatu. Namun, ada empati terlihat sesaat dari gestur wajah paman.
Ini pertanda. Tak biasanya paman seperti ini. Bagai tim penyidik yang sedang kumpulkan bukti-bukti, Mirna coba menyimpulkan gestur paman sore ini. Setiap gerak-gerik paman dikumpulkan Mirna untuk meyakinkan hati kecilnya. Malam ini pasti paman akan memberitahukan kabar gembira.
Mirna terus menyirami kembang di depan rumah. Senyumnya semakin mekar. Seperti mawar putih yang sedang disiraminya.
Hatinya berbunga-bunga dikelilingi kembang berwarna-warni. Tak sabar malam segera tiba.
"Mirna,"
Paman memanggil. Mengagetkan Mirna sampai selang air yang dipegangnya jatuh tiba-tiba.
"Iya, Paman." Jawab Mirna sambil mengambil selang air yang terjatuh.
"Kesini dulu sebentar, ada yang mau paman sampaikan."
"Iya, Paman. Sebentar Mirna matikan airnya dulu."
Kaki Mirna begitu berat melangkah. Gemetar mendengar panggilan paman.
"Benar, pasti Paman akan kasih tahu kalau Mirna di terima kerja," ucap Mirna sambil melangkah.
Mirna benar-benar bahagia. Senyumnya di kulum. Setelah mencuci tangan, Mirna masuk menjumpai pamannya. Ternyata Bibi juga ada di sana. Mirna mengambil tempat di sebelah bibi. Dengan santun, duduk sambil tersenyum.
"Ada apa, Paman?"
"Begini, Mir, tadi siang paman dapat telepon..,"
Paman memotong pembicaraannya. Jantung Mirna berdetak kencang. Wajah Mirna tersenyum dan seperti tidak dapat berkata-kata.
Terlihat jelas kalau Mirna yakin dia di terima kerja. Dia tersenyum sambil tangannya gelisah tak terkontrol. Sesekali duduknya di geser. Dan dia tak sabar.
"Telepon dari siapa, Paman?" tanya Mirna dengan jelas.
Tak sabar ingin mendengar berita bahagia ini. Sementara gestur paman dan juga bibi sangat tidak menunjukkan kabar bahagia. Mereka terlihat serba salah. Dan seolah berat menyampaikan berita ini.
"Tadi siang, Paman dapat telpon dari..., eh..iya.. Paman dapat telpon dari kampung. Kamu harus sabar ya, Mir. Ibumu sedang sakit keras."
Bagai di sambar petir. Berita ini sangat mengagetkan Mirna.
"Apa Paman??? Ibu sakit keras....?? Sakit apa, Paman?? Siapa yang kasih tau, Paman?" Mirna menangis sambil memeluk bibi nya. Mirna begitu terpukul. Dia menangis sesunggukan. Ini pukulan yang sangat berat buat Mirna.
Dia tak bisa membayangkan, kalau ibunya sakit, adik-adiknya makan apa? Karena cuma ibunya yang bisa mencari nafkah. Belum lagi untuk biaya sekolah adik-adiknya.
"Bibi, gimana sakit Ibu, apakah Ibu benar-benar sakit atau sudah....," Mirna tak tega melanjutkan ucapannya. Mirna ingin menanyakan apakah ibunya sudah meninggal? Karena biasanya, kalau dikatakan sakit keras, itu artinya sudah meninggal. Ini jadi pertanyaan besar buat Mirna.
"Sabar, ya, Mir... ," kata bibi menenangkan Mirna sambil matanya berkaca-kaca.
"Iya, Mir... Kamu harus tenang ya.." Paman juga ikut menenangkan Mirna.
Mata Mirna dipenuhi air mata. Dia benar-benar ingin pulang. Namun, darimana uangnya untuk ongkos pulang. Pikiran Mirna berkecamuk. Dia terdiam bisu sekarang. Pelukan bibi semakin erat.
Mirna berpikir keras, bagaimana dia bisa pulang. Untuk melihat ibunya yang sakit keras. Darimana Dia mendapatkan uang rp.500.000 untuk ongkos pulang. Apakah paman mau memberikan ongkos pulang? Namun, Mirna tidak berani mengungkapkannya. Karena tidak mau menyusahkan pamannya.
Namun, tiba-tiba..
"Paman, Mirna mau pulang melihat Ibu," kata Mirna memberanikan diri sambil air matanya berjatuhan.
"Iya, Mir.., Kamu pulang aja. Kamu harus segera melihat ibumu. Paman akan membelikan tiket bus besok pagi. Biar kamu bisa berangkat sore harinya."
Mirna senang mendengar ucapan paman. Namun, banyak pertanyaan Mirna menanggapi ucapan paman. Kenapa Paman mau mengongkosiku pulang? Apakah Ibu sudah meninggal? Kalau aku pulang, apakah masih kembali ke Bandung? Apakah aku pulang tanpa membawa uang untuk beli obat ibu? Apa kata orang kampung, aku pulang tidak bawa apa-apa?
Sejuta pertanyaan muncul di hati Mirna. Namun, semua pertanyaan itu ditepisnya. Dia hanya ingin melihat ibunya, memeluk ibunya yang sakit.
"Iya, Paman. Terimakasih atas kebaikan Paman dan Bibi. Mirna tidak bisa membalas kebaikan Paman dan Bibi." Kata Mirna sedikit tegar.
"Iya, Mir. Yang penting, Kamu bisa melihat ibumu," kata bibi sambil memeluk Mirna.
"Iya, udah, Mir, sekarang beresin pakaianmu untuk kamu bawa besok. Besok pagi paman akan mencari tiketmu. Kebetulan besok hari Minggu, jadi Paman libur."
"Iya, Paman," jawab Mirna sambil pamit menuju kamar.
Mirna segera membereskan pakaiannya. Perjalanan 3 hari 2 malam harus dilaluinya menuju kampung di sebuah desa di Sumatera Utara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Alriani Hespiapi
lanjut
2022-10-05
1