Di Atas Cinta Suci
Tatapan bola mata gadis lugu itu seakan tidak lepas dari ibu yang tak henti-henti menangis dan melambaikan tangan. Lambaian tangan ibu paruh baya mengiringi kepergian anak gadisnya. Mirna Sriwati. Merantau ke negeri orang.
Angkutan desa yang sudah renta berlahan melaju meninggalkan suasana duka di hati ibu yang sangat menyayangi dirinya.
Air mata deras membasahi pipi ibunya yang sudah keriput, walau belum tua. Bola mata ibu terus mengikuti benda tua yang membawanya mengadu nasib di kota.
Merantau demi kehormatan, kehormatan keluarganya. Satu tahun ini, keluarganya menyambung hidup dari pinjaman ke tetangga. Walau mematok bunga tinggi, tapi begitu berarti.
Apalagi bagi dirinya, tanpa pinjaman itu, mustahil dia bisa lulus SMK.
Masih teringat ketika akan masuki UAN, sampai UAN dimulai, dia belum melunasi SPP nya. Padahal itu adalah syarat utama.
Namun, masih diberikan konpensasi, karena dia adalah murid berprestasi.
Air mata Mirna kini mulai membasahi pipi manisnya. Mengalir melewati bibir ranumnya sampai ke dagu. Dari kepergian tadi, dia bertekad tidak akan menangis dihadapan ibunya.
Dia terus tersenyum menghibur Ibunya. Dia tak ingin menambah kesedihan ibunya. Sudah terlalu banyak kesedihan yang dirasakan ibu.
Tak akan menangis. Aku akan tersenyum bahagia dihadapanmu Ibu. Dan itu menjadi tekad besarnya. Membahagiakan ibu dan adik-adiknya. Tak akan menangis.
Namun, kini gadis itu tak bisa lagi menyembunyikan kesedihannya. Dia terisak-isak menangisi perpisahan ini. Menangisi kemiskinan yang harus dia taklukkan. Tangannya kini membuka tas. Mengambil baju ibunya. Sengaja dia membawanya. Untuk mengobati rasa kangen.
Dia semakin terisak. Semakin mengingat akan sosok ibunya yang sangat menyayangi dirinya.
Sepanjang jalan sebelum turun di terminal kota, dia terisak menangis deras. Tak peduli penumpang lain yang memperhatikannya.
Sesampai di terminal, dia menuju loket bus antarprovinsi. Bus yang akan membawanya menuju kota besar. Kota yang diharapnya membawa rejeki dan kebahagiaan.
Tiga hari sudah perjalanan Mirna menuju kota besar. Dia sudah berada di rumah pamannya. Tak tampak kelelahan di wajahnya. Dia tetap menunjukkan ketegaran.
Namun, matanya terlihat sembab dan memerah. Terlalu banyak menangis. Sedih berpisah dengan ibunya. Dengan adik-adiknya. Di rumah pamannya, Mirna tidak boleh larut dalam kesedihan. Dia tunjukkan kalau dia ingin sukses.
Mirna ingin mendapat nilai lebih di rumah pamannya. Dia tak ingin ada masalah dengan keluarga pamannya. Karena dia sadar, dia tinggal di rumah saudara. Makan di rumah saudara. Dia tidak ada kenalan di kota. Tekad ingin sukses dan membahagiakan ibunya, membuat Mirna mengerjakan sesuatu dengan senang hati. Berperilaku dan bersifat sebaik mungkin.
Semua pekerjaan Mirna lakukan. Mulai dari memasak, mengepel sampai memandikan sepupunya yang masih kecil. Bahkan Dia meminta agar urusan menyuci dan sterika pakaian jadi pekerjaannya. Sehingga tidak lagi membayar orang untuk pekerjaan itu. Biasanya bibi bayar rp.300.000 per bulan. Untuk tukang cuci dan sterika.
Dengan senang hati bibinya menyetujuinya. Dan tak kalah senangnya adalah Mirna. Bukan bayaran yang diharapkannya. Tapi karena dia sudah mengurangi beban keluarga pamannya.
"Itu menyenangkan sekali," ucap Mirna dalam hati.
Dua bulan sudah Mirna di rumah paman. Sambil melamar pekerjaan, dia ikut membantu pekerjaan rumah. Banyak hal yang dia bantu. Banyak nilai plus nya.
"Mirna sangat bertanggung jawab," kata paman suatu malam kepada bibinya. Hal itu membuat paman dan bibi berusaha keras agar Mirna cepat-cepat dapat pekerjaan.
Malam Jumat, menjadi awal kisah Mirna merasakan kerasnya kehidupan kota besar. Penuh sesak dengan tantangan dan godaan. Apalagi gadis perawan yang masih sangat lugu dan polos. Saat paman sedang beristirahat di ruang keluarga. Menghabiskan malam sendirian. Bibi yang dari sore kurang sehat sudah tidur duluan. Teman paman menelepon, karena perusahaannya akan membuka cabang di Bandung.
Paman mengangkat telepon.
"Hallo Pak Nors, apa kabar? Udah sukses gak pernah lagi telpon."
"Kabar baik, Pak Rum. Bukan lupa, tapi agak sibuk, gimana kabarmu, sehat kan?"
"Sehat-sehat Pak Nors"
"Gini Pak Rum, kami mau buka cabang di Bandung, kalau ada saudara atau kenalan, bisa melamar Pak. Kebetulan kita banyak rekrut karyawan"
"Kabar baik itu Pak Nors, kebetulan ini ada ponakan dari kampung. Tinggal di sini, mau cari kerjaan"
"Pas lah itu Pak Rum, secepatnya aja kirim lamaran, pasti kami terima"
"Terima kasih Pak Nors, mohon di bantu ya Pak," ujar Paman mengakhiri pembicaraan.
Mirna yang tadi menguping pembicaraan dari kamar, tersenyum bahagia.
"Ini pasti lowongan kerja," ungkap Mirna dalam hati. Dan benar saja, tak lama, pamannya memanggilnya ke ruang keluarga. Mirna segera datang dan mendekat ke arah paman.
"Mir, besok coba buat lamaran, barusan teman paman telpon. Katanya perusahaan mereka buka cabang di sini"
"Iya, Paman. Malam ini jiga Mirna siapin. Kebetulan berkas-berkasnya masih ada"
"Kalau udah, kasih ke Paman ya, biar besok pagi paman antar"
"Iya, Paman"
Senyum bahagia terpancar di wajah Mirna. Tekad bulat untuk membantu ekonomi keluarganya, membuat dia semangat, menyiapkan berkas lamaran. Malam itu juga, lamaran diserahkan ke paman.
Malam itu menjadi malam yang indah buat Mirna. Dia tersenyum manis di sudut kamarnya. Sambil *******-***** bantal guling. Dia bagaikan anak ABG yang sedang jatuh cinta, anak remaja yang baru jadian. Walau sebenarnya, Mirna belum pernah merasakan indahnya cinta lelaki. Karena sejak sekolah, dilarang ibunya berpacaran.
Hayalan Mirna semakin tinggi. Sesekali, senyum manisnya mengembang, menyebar memenuhi kamar kecilnya. Tak terbayangkannya bagaimana rasanya menerima gaji pertama, memiliki uang sendiri. Apalagi, selama ini, jangankan lima puluh ribu, uang lima ribu saja jarang dia punya.
Karena mereka orang yang tidak punya. Jika sudah bekerja, dia akan mengirimkan gajinya untuk membantu kebutuhan keluarganya. Uang sekolah adiknya. Dan membeli baju ibunya. "Hmmmmmm... aku akan bekerja, dapat gaji dan bisa bantu ibu," ucapnya dengan malu-malu.
Mirna adalah gadis yang optimis. Semua dia percaya akan terlaksana. Sesuai dengan yang dihayalkannya. Tak terasa, sudah jam 10 malam. Saatnya Mirna tidur. Karena jam 5 Pagi, dia sudah harus bangun, menyiapkan makanan dan membereskan rumah.
Pagi-pagi menjadi waktu yang sangat sibuk buat Mirna. Setelah memasak dan menyiapkan makanan, Mirna segera memandikan kedua sepupunya. Kemudian menyapu dan mengepel.
Tak ada waktu untuk santai. Peluh keringat mengucur di pagi hari. Seperti pagi ini, setelah selesai memasak, dia sudah memandikan ponakannya.
Namun, Mirna tak lupa, kalau pamannya sudah mau berangkat kerja. Segera dia menghampiri pamannya, mengingatkan agar tidak lupa membawa lamarannya.
"Paman, jangan lupa bawa lamaran Mirna ya," kata Mirna sambil membalurkan minyak telon ke badan sepupunya.
Paman pun berangkat sambil membawa lamaran Mirna. Paman sendiri yang akan mengantarkan ke kantor Pak Nors. Sambil reunian, teman lama yang sudah lama tidak bertemu. Teman lama, saat masih bekerja bersama di Surabaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Alriani Hespiapi
saya mampir thor
2022-10-05
1