17 Tahun yang lalu
aku yang sedang menyesap rokokku perlahan seketika terkejut ketika pintu berderit, Nayra memergokiku sedang berusaha menyembunyikan rokok. Dia nampak sedikit terkejut, aku mengangkat jari telunjuk ke bibirku mengisyaratkan dia untuk diam. Dia berjalan mengambil piring yang diletakan di balai.
Di hari itu, rumah Nenek Nayra sedang melakukan persiapan pernikahan pamannya. Jadi banyak warga sekitar termasuk ibuku datang untuk membantu memasak dirumah mereka. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas saat itu, ibu - ibu sudah pulang tersisa remaja – remaja yang bernyanyi sambil diiringi gitar di halaman rumah mereka, tadinya aku bersama Daffa, tapi ia meninggalkanku pamit buang air kecil katanya.
Nayra yang selesai mengambil piring berjalan menuju pintu lalu menghentikan langkahnya berbalik menatapku yang juga menatapnya dengan penuh antisipasi, aku siap lari jika dia berteriak melaporkanku sekarang. “ traktir kan? ” tanyanya sambil memegang gagang pintu disambut tawaku yang mendadak keluar. Aku menganggukan kepalaku dan ia tersenyum cerah kemudian pergi.
Aku melanjutkan kegiatanku, sambil berpikir coba tadi yang memergoki orang lain sudah pasti heboh besok jadi omongan sekampung. Untungnya itu Nayra, yang tak seperti anak lain yang langsung akan berteriak mengadukan kepada para orang tua begitu melihatku. Entah mengapa aku merasa begitu senang ketika yang memergokiku ialah Nayra. Mungkin pada saat itu aku ingin dia melihat diriku dengan apa adanya, atau ingin ia menjadi sekutuku dengan cara membagikan rahasiaku padanya. Yang tanpa kusadari aku diam – diam memasukkannya kedalam pikiranku, terus memberi ruang – ruang baru untuk dirinya kedalam ingatanku. seperti bagaimana aku mengingat dengan jelas ketika dimalam resepsi pernikahan pamannya. Nayra Nampak begitu cantik dengan blouse warna merah wajah yang mulai beranjak remaja itu nampak anggun dibawah cahaya lampu yang terang benderang dimalam itu. Aku masih ingat bagaimana perasaanku ketika pertama kali melihatnya berdiri diantara kerumunan, langsung mengenalinya dan tak mengedipkan mata, nafasku terasa sesak membuncah bercampur dengan rasa bahagia ketika melihatnya. Aku tahu saat itu aku sudah jatuh cinta kepadanya.
Lamunanku terbuyarkan oleh deringan handphone, Mila menelponku. Mengatakan ia tak bisa makan siang bersama karena sedang bertemu klien. Aku mengiyakan dan mengajaknya makan malam bersama. Aku merasa sedikit bersalah karena akhir – akhir ini lebih banyak memikirkan Nayra.
Diana berdiri diambang pintu dengan wajah cerah ketika aku mempersilahkannya masuk. Aku kembali sibuk dengan laptopku ketika ia membawa laporan yang aku minta.
“pak, semalam pergi keacara resepsi?” tanya Diana dengan senyuman lebar diwajahnya
“kenapa emangnya?” aku bertanya balik tak mengerti dengan maksudnya yang seakan menyerang privasiku
“saya lihat dari sosial media, banyak respon positif tentang dekorasi sama venuenya pak. Banyak juga yang memuji hotel ini” aku sedikit terkejut dengan pernyataan Diana barusan
“iyah sih, kalau melihat dekorasi pernikahannya semalam itu sangat menyatu dengan venue kita, simple dan tidak menutupi bagian dari hotel kita. Jadi memang banyak yang memuji semalam” lanjutku yang setuju dengan perkataan Diana
“kata yang nikah sih dia menyerahkan semua dekorasi dan menu makanan sama WOnya pak dan wah memang WOnya tahu cara menyiapkan pesta dengan sangat indah yah” perkataan Diana kubalas dengan anggukan kepala dan senyumku, dalam hatiku berterima kasih pada Nayra yang sudah membuat hotelku juga mendapat respon positif baik dari segi tempat dan makanannya.” padahal WO nya baru pak tapi mereka profesional sekali kerjanya” lanjut Diana yang belum selesai memuji kerja Nayra
“mereka baru tapi ownernya sudah punya banyak pengalaman kerja sebagai WO diluar negeri” kataku mejelaskan membuat Diana seakan tak percaya
“wow, pantas saja seleranya bagus dan nampak jarang sekali dipakai didaerah kita, memangnya bapak kenal sama ownernya?” pertanyaan Diana membuatku sejenak terdiam. Kutopang daguku, menghela nafas kemudian mengeluakannya dengan sesak, aku tak ingin menjawab pertanyaan Diana tadi, hanya tersenyum kecil yang seakan membuat Diana paham bahwa pembahasan tentang WO ini berakhir disini.
Apa aku mengenalnya? Lebih dari setengah hidupku kubiarkan mengenalinya berusaha tahu tentang semua dirinya, apa yang dilakukan, dimana dia berada. Bahkan ketika sendirian aku serasa menjadi penguntit yang tetap memantau semua sosial medianya berusaha mencari tahu bagaimana kehidupan yan ia jalani apa dia sudah bahagia. Bahkan sejak dulu dimana sosial media belum berkembang seperti sekarang, dia selalu dalam radarku. Aku tak pernah membiarkannya lari dari ingatanku, terkadang aku berusaha keras melupakannya namun ada saja momen yang selalu membawanya kembali dan anehnya dia selalu tergambar dengan jelas dalam ingatanku,cara berjalan yang anggun, cara tersenyum yang selalu menghanyutkanku, tawanya yang renyah, wajah cemberutnya,cara berbicaranya yang ceria terkadang sarkastik. semua tentang dia tersimpan dengan rapi didalam ingatanku. Bagaimana dia yang menjadi cinta pertamaku adalah perempuan yang paling menyakitiku.
***
aku bersandar sambil menutup kedua mataku, menunggu Mila datang direstoran kesukannya sepertinya aku harus banyak menghabiskan waktu dengannya agar aku tak menjadi gila karena Nayra. Terdengar kursi yang ditarik, aku membuka mata, menemukan Mila yang sudah duduk mengenakan gaun hijau. Aku tersenyum mengisyaratkan pelayan untuk kesini. Kami bercakap sebentar kemudian makan dalam diam.
“ gimana keadaan mama kamu?” tanyaku kembali membuka percakapan ketika selesai makan.
“sudah mulai mendingan, sekarang kita sedang berusaha untuk tidak memberikan kabar – kabar mengejutkan kepadanya” jelas Mila tentang kondisi kesehatan ibunya yang baru saja mengalami serangan jantung ringan minggu kemarin. Aku menganggukan kepalaku pertanda mengerti dan menjadi kesal ketika Mila kembali sibuk dengan handphone ditangannya. Ekspresinya yang tersenyum membuatku menjadi lebih kesal karena aku serasa tak dipedulikan lagi olehnya. Aku merogoh sakuku mencari handphone dan menelpon Rena, berkata jangan mengunci pintu karena aku akan tidur dirumah Mama malam ini.
sinar matahari mulai memasuki celah kamar, saat aku membuka mata. Aku melihat jam pada nightstand menunjukkan pukul delapan pagi. Aku keluar diteras depan rumah dengan rambut acak -acakan sambil menyalakan sebatang rokok duduk memandangi jalan raya yang sedikit lengang diminggu pagi ini, terlihat beberapa remaja berjalan – jalan santai setelah lari pagi, terdengar bunyi sepeda ketika aku menoleh dan melihat Daffa yang lengkap dengan helmnya mengerem berhenti didepan rumahku. Dia tersenyum lanjut jadi mentertawakanku yang sudah sarapan sebatang rokok dipagi hari. Daffa menoleh kebelakang nampak menunggu seseorang, dan ketika orang itu terlihat, ia melambaikan tangannya. Orang itu semakin dekat dan kantukku yang masih tersisa mendadak sirna ketika melihat Nayra yang juga mengerem sepedanya berhenti di depan rumahku. Segera ia turun dari sepedanya dan berlari kecil menuju kerumahku.
“ Rey, pinjam kamar kecil yah “ kata Nayra tanpa babibu segera masuk setelah melepas sepatu putihnya.
“ dari mana? “ tanyaku pada Daffa yang telah melepaskan helmnya kemudian duduk di teras bersamaku.
“ dari atas “ katanya menunjuk daerah puncak. Aku menganggukan kepalaku pertanda mengerti.” tumben malam minggu nginap disini?”pertanyaan Daffa membuatku tertawa karena Daffa tahu kalau malam minggu aku sering tidur dihotel karena selalu pulang pagi. Aku menyesap rokokku dan sadar semenjak bapak meninggal aku tak lagi pergi ke club malam untuk minum – minum.
Terdengar nyanyian kecil dari dalam rumah, suara Nayra. Ia keluar dan mengenakan sepatunya. “Rey, makasih yah “ kata Nayra lanjut mengikat tali sepatunya. “ oh ya Rey, aku sama Daffa mau pergi sarapan nasi kuningnya ibu Dewi, mau ikut gak?” aku melirik kearah Daffa yang juga mengatakan ayo kepadaku. Aku kembali menyesap rokokku sambil berpikir, tak sabar menungguku Nayra merenggut rokok yang sedang kuhisap dan mematikannya dengan wajah kesal. “ayooo!!” katanya sambil melepas topi yang dipakainya kemudian memakaikannya kepadaku. Aku yang masih terkejut dengan kelakuannya barusan otomatis berdiri tapi Nayra segera berjalan kearah sepedanya. “ mau dibonceng naik sepeda atau nyusul?” katanya sudah mengatur posisinya disepedanya. “Daffa ayooo..” ajak Nayra kepada Daffa yang sama bengongnya denganku. Daffa segera berdiri mengajakku.
“aku nyusul naik motor aja yah” kataku berdiri melihat keduanya sedang bersiap pergi. Nayra menunjuk kepalanya menatapku,aku menganggukan kepala pertanda paham, kalau aku harus pergi karena ia meninggalkan topinya di kepalaku. Nayra dan Daffa segera mengayuh sepeda dan meninggalkanku,suara keduanya berbincang mengambang diudara serta merta mengacaukan perasaanku. Aku tak suka bila melihatnya bersama dengan Daffa. Aku merasa di khianati oleh Daffa atau Nayra, aku tak suka rasa cemburu ini ketika melihat mereka berdua.
Aku mengambil kunci motor milik adikku Reza dan berhenti saat mataku menatap cermin dan terkejut dengan penampilanku dipagi hari ini. Kaus putih lusuh, celana tidur kotak – kotak yang sudah menipis kainnya aku membuka topi dan lebih terkejut lagi saat melihat rambutku yang acak – acakan. Aku segera berlari kekamar mandi dan mandi dengan cepat. Kemudian bergegas menuju warung nasi kuning Bu Dewi.
Nayra dan Daffa sedang mengobrol dengan serius setibanya aku di warung bu Dewi. Aku menaruh topi milik Nayra kembali ke kapalanya. Nayra membalikkan topi tersebut karena mengganggunya saat makan, ia masih lanjut mengobrol dengan Daffa tentang game yang aku tak bisa mengerti kemana alurnya. Mereka kemudian tertawa, tatapan Nayra beralih kearahku yang sedang menyesap kopi, lalu menggelengkan kepalanya yang membuatku kebingungan.
“ kayaknya Rey bukan tipe gamers deh?” kata Nara sambil tertawa, diikuti tawa Daffa yang membuatku hanya bisa menggelengkan kepalaku.
“ aku main PS loh “ kataku sambil menyentil jidatnya, mataku menangkap ekspresi Daffa yang sepertinya tidak senang dengan kelakuanku barusan.
Kami makan dengan banyak berbicara tentang banyak hal. Mengenai kesibukan masing – masing, Daffa yang kini jadi pegawai pemerintahan sedang sibuk mengelola bisnis kecil – kecilan barunya, sedangkan Nayra ternyata sudah punya banyak bookingan untuk Wonya, dan tentang aku. Kami lebih banyak membicarakan strategi bisnis dan pasar yang sedang hits, topik yang sangat aman menurutku dari pada membicarakan masa lalu. Aku merogoh saku celanaku ketika sadar bahwa aku tak melihat handphoneku, mulai panik aku terus mencari saku sambil celingak - celinguk,melihatku yang mulai sibuk sendiri, Nayra menegurku.
“Rey, kenapa?” tanya Nayra diikuti tangannya yang melepaskan sendok makan.
“ nyari handphone” kataku masih terus mencari, Nayra membuka tas pinggangnya mengambil handphonenya dan menyerahkan padaku. Segera kutelpon Hpku yang ternyata ketinggalan dimeja teras, untung saja adikku Rena menemukannya sambil berkata bingung, bisa – bisanya aku lupa menaruh handphoneku, padahal benda tersebut adalah yang selalu digenggamanku.
Aku menoleh kearah Nayra dan Daffa yang berbincang sambil tertawa dengan ceria, wajah Daffa juga begitu ceria ketika berbicara dengan Nayra, membuatku makin penasaran dengan hubungan mereka. Kusodorkan handphone Nayra padanya, sambil berbisik “ balikan?” yang membuat Nayra tersentak seketika dan menatapku dengan kebingungan kemudian menggerakkan bibirnya mengatakan “what” . aku tersenyum menatap Daffa kemudian masing – masing dari kami pamit pulang. Oh ya… aku sudah dapat nomor Nayra .
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments