16 Tahun yang lalu
Aku bersama dengan Arga teman sepermainanku sedang menyesap rokok kami dengan santai dibawah kolong jembatan, sambil menatap kearah aliran disiang bolong itu.
“Ar, Nayra disekolah gimana?” tanyaku pada Arga yang merupakan teman sekelas Nayra
“seperti biasa, paling pintar, terkenal, cowok – cowok banyak yang suka, yang cewek banyak yang iri”
“kalau pacar?” inilah inti pertanyaanku sebenarnya
“setahuku tidak, orang dia disekolah sibuk main di perpus. Eh.., kenapa jadi nanya pacar nih?” duhhh.. Arga mulai ngeh dengan pertanyaanku barusan
“biasalah, ngecek lawan” kataku sambil tertawa diikuti Arga yang sudah mengerti dengan maksudku tadi.
Terdengar suara langkah yang cepat dari arah belakang kami, aku dan Arga segera menyembunyikan rokok kami kemudian menjadi lega setelah melihat sosok yang datang, Daffa rupanya.
“dari tadi?” Tanya Daffa langsung memilih duduk diatas batu, menghadap aku dan Arga. Kami hanya menjawab dengan anggukkan. “lagi ngomongin apa sih?” Daffa berusaha mengikuti arah pembicaraan kami
“nih si Rayhan, nanya – nanya tentang Nayra” kata Arga yang membuat Daffa menatapku seketika.
Daffa tersenyum kemudian membaka rokoknya. “jadi ini yang bikin tiap malam gak pernah alpa?”
Aku hanya bisa tersenyum menanggapi pertanyaan Daffa barusan. Jadi, didepan rumah nenek Nayra ada balai – balai yang biasanya dijadikan tempat kumpul para remaja dilingkungan itu pada malam hari. Biasanya aku, Daffa dan lainnya bernyanyi ria dengan gitar disana. Jika malam minggu, Nayra datang menginap dirumah neneknya, yang otomatis membuatnya jadi ikut bergabung dengan kami, membuat aku dan dia jadi sering mengobrol ataupun bercanda. Dimana aku mulai mengenal dirinya lebih dekat, apa yang disukai dan tidak disukainya dan tanpa sadar kami sudah menjadi teman.
“semoga diterima yah”kata Daffa sambil tertawa, yang membuatku jadi salah tingkah akhirnya kami bertiga ikut tertawa. Tapi aku belum tahu kapan waktunya untuk mengungkapkan perasaan pada Nayra, karena aku takut ketika ia menolak, maka pertemanan kami akan menjadi canggung.
Karena sedang sibuk dengan ujian semester membuat semunya menjadi sulit untuk dilakukan sekarang. Jangankan menyatakan cinta, ketemu aja susah. Nayra pasti juga sibuk dengan ujiannya. Sudahlah biarkan saja, nanti juga ketemu, pikirku.
Sampai akhirnya aku bisa merasa lega setelah ujian semester dan kesehatan. Yah, aku jatuh sakit setelah ujian yang membuat waktu tak bertemu menjadi lebih panjang. Aku sedang duduk diteras ketika Arga tiba dan ikut duduk bersamaku.
“Ar, besok kita lihat sunset di pantai yuk. Ajak Arin sama Nayra juga” kataku berusul pada Arga agar mau kepantai dekat tempat tinggal kami dan mengajak adiknya yang berteman baik dengan Nayra.
“boleh..boleh.. biar aku dibolehin pinjam motor.kalau ajak Arin lebih mudah” sambut Arga yang ternyata juga setuju dengan usulku.
Rencanaku sesampainya di pantai ingin mengajak Nayra melihat pemandangan kemudian menyatakan perasaanku padanya.Nayra sangat suka melihat matahari terbenam, aku ingin itu menjadi momen yang tak terlupakan baginya. Jadi tak sabar menunggu besok.
Esok harinya kami kepantai bersama, aku membonceng Nayra sementara Arga bersama adiknya Arin. Sampai dipantai aku cukup terkejut melihat Daffa, Adit, dan anak – anak kampung kami sedang bermain bersama dipantai, akhirnya kami memutuskan untuk bergabung dan bermain dengan mereka. Karena ada banyak anak perempuan juga yang ikut, aku dan Nayra menjadi terpisah. Nayra tetap bersama dengan mereka sampai tiba waktu pulang. Aku cukup kecewa karena tak bisa mengatakan perasaanku kepadanya, hingga pada perjalanan pulangpun aku tetap memilih diam karena kehilangan mood dan sudah merasa lelah bermain dipantai tadi. Tanpa sadar bahwa itu adalah hal yang akan kusesali nantinya.
Malam minggu berikutnya aku sudah berniat menyatakan perasaanku padanya, aku sudah berdandan rapi dan wangi yang membuat ibuku terbatuk – batuk saat pertama kali mencium aromaku saat keluar kamar, aku terlalu wangi katanya. Aku sedang duduk diteras, melihat suasana kampung dimalam hari yang sudah mulai terlihat ramai, karena banyak anak – anak muda yang hilir mudik. Arga berjalan dengan cepat kerumahku, dengan mengucap salam dia tergesa mengambil tempat duduk yang ada dihadapanku.
“udah tahu belum?” kata Arga sambil berusaha mengatur nafasnya.
“apa?” kataku penasaran dengan pertanyaan Arga barusan, hingga membuatnya tergesa – gesa begini.
“Daffa, dia nembak Nayra”kalimat Arga barusan seolah menghentikan waktu untuk sesaat. Bagaimana bisa? Selama ini Daffa juga suka sama Nayra? Kenapa pada saat dia tahu aku suka sama Nayra dia tidak bilang apapun.
Pandanganku nanar mentapa Arga, dan dalam ketidak percayaanku aku masih terus berpikir bagaimana bisa, bagaimana bisa dan bagaimana bisa. Aku merasa seolah dikhianati oleh orang yang aku anggap sebagai saudaraku sendiri.
“apa jawaban Nayra?” kataku yang sangat tak siap untuk mendengar jawabannya.ah.. tuhan, kenapa harus suka orang yang sama sih.
“Nayra terima Daffa sebagai pacarnya” aku berdiri sambil mengacak – acak rambutku berusaha melampiaskan kekesalanku. Ini tidak lucu, aku bahkan merasa sulit bernafas. Aku tak bisa diam seperti ini, aku melangkah keluar rumah, diikuti Arga dibelakangku,berusaha mencari keberadaan Daffa yang ternyata sedang asik bernyanyi dengan anak – anak yang lain didepan rumah nenek Nayra.
“Daffa..” panggilku tanpa basa – basi, aku perlu penjelasan mengenai hal ini. Daffa melepaskan gitar ditangannya dan menghampiriku yang berusaha menjauh dari kerumunan tersebut. Hatiku semakin perih saat meilhatnya berjalan sambil tersenyum kepadaku.
“kenapa Rey?” duhhh.. belagak polos lagi dia.
“sejak kapan kamu suka sama Nayra?” kujejal pertanyaanku
“belum lama ini” aku ingin menghajar wajah Daffa saat itu juga, aku berusaha mengatur nafasku agar tak dikalahkan emosiku yang mulai melunjak ini.
“kamu tahu kan, kalau aku suka sama Nayra” oh.. ini bukan waktunya bercanda Daffa
“sorry Rey, awalnya aku bercanda mau nembak Nayra, eh tahu – tahunya diterima sama dia"
Buukkk!!! Sebuah pukulan jab mendarat kewajah Daffa. Arga yang berdiri disampingku tiba – tiba menangkap dan berusaha membuatku mundur, sementara Daffa Nampak shock dengan pukulanku barusan. Aku tahu dia pasti tak menyangka jika aku akan memukulnya karena seorang perempuan.
“brengsek!!!” makiku pada Daffa yang masih terdiam “oh ya, semoga kamu dan dia gak pernah bahagia” lanjutku meninggalkan Daffa yang terperanjat.
Dering alarm pada nightstand membangunkanku, aneh kenapa jadi mimpi kejadian dulu lagi sih,pikirku. Tanganku bergerak mematikan alarm yang masih berbunyi, membuatku menjadi kebingungan, kenapa aku menyetel alarm dihari minggu yah?.
Meninggalkan alarm yang menunjukkan pukul 8 pagi, aku beranjak keluar kamar, kemudian menyalakan coffee maker, dilanjutkan dengan aktifitas kamar mandiku. Malam minggu ini aku tidur dirumahku karena terlalu lelah pulang kerumah mama yang waktu tempuhnya sekitar 45 menit. Aku segera menuang kopiku sekeluar dari kamar mandi kemudian berjalan menuju teras belakang, duduk dengan menaikkan 1 kakiku diatas meja menikmati pemandangan halaman belakang yang dihiasi dengan kolam renang dengan bunga – bunga disekitarnya. Ingatanku kembali pada Nayra, yang semalam menceritakan tentang apa yang terjadi di Sydney hingga membuatnya kembali lagi kekota ini. Membuatku merasa bersalah karena mau tidak mau kembali membuka lukanya karena aku tak tahan jika melihatnya menangis seperti semalam, aku ingin menjadi penenangnya, dan aku tahu ini mulai salah.
Karena entah bagaimana kami selalu bertemu tanpa direncanakan, membuatku jadi sering memikirkannya dibandingkan Mila yang masih menjadi pacarku. Terlebih, entah bagaimana dari pertama melihatnya aku dihantui masa lalu yang tidak sesederhana kelihatannya, bukan sekedar cerita cinta remaja, tapi juga tentang perjalanan hidup, persahabatan yang menjadi bagian dari diriku yang ada sekarang.
Dering telepon membuyarkan alur pemikiranku. Mila dalam panggilan. Oh.. kami ada janji bertemu hari ini yah.
“halo” sapaku kemudian menyeruput kopi yang mulai mendingin dihadapanku.
“rey..” nada manja Mila kalau menelpon meskipun suaranya sedikit kedengaran berbeda dari sebelumnya.
“kenapa mil?” aku meletakkan cangkir, menaikkan dua kakiku keatas meja
“Rey, kayaknya aku gak bisa ketemuan hari ini, aku tiba- tiba flu berat” aku mengerutkan keningku, biasanya dia tetap memaksa untuk ketemu dan kalaupun aku tak bisa dia akan minta dijenguk dirumah, tumben dia gak mau ketemu.
“mau aku jengukin?” tanyaku berusaha membuatnya senang
“jangan Rey, aku takut kamu ketularan soalnya aku bersin terus dari tadi”
“ya udah, minum obat, habis itu tidur biar besok bisa masuk kerja” kataku yang dijawab dengan siap bos oleh Mila.
Aku masih termangu menatap handphone ketika Nayra tiba – tiba terlintas dikepalaku.oh ya, aku kan punya nomor telepon yang kudapat minggu lalu.segera kutelpon Nayra.
“hallo?” suara Nayra terdengar terlalu segar untuk orang yang sedang dikhawatirkan.
“kamu terlalu semangat, untuk orang yang pulang dengan mata sembab saat larut malam” kataku protes
“Rayhan?” ia berusaha menebak suaraku. “dari mana kamu dapat.. ahh.. pasti minggu lalu yah, di warung Bu Dewi” pertanyaannya terhenti karena kecepatannya berpikir, ia berhasil menemukan jawab sebelum aku mengatakannya.
“kamu habis ngapain sih, semangat amat?” aku masih penasaran dia lagi apa.
“aku baru pulang jogging” aku melihat kelayar handphone yang menunjukkan pukul 9 pagi.
“emangnya kamu sampai rumah jam berapa semalam?” bisa – bisanya ia menyempatkan diri bangun pagi
“mm.. sekitar jam 2 pagi, mungkin”
jawab Nayra mulai menebak – nebak
“dan kamu masih sempat bangun pagi untuk olahraga? Nayra, kamu bisa sakit yang ada” kelakuannya ini membuatku terdengar menjadi begitu protektif padanya
“Rey.. tenang... aku baik – baik aja, aku udah biasa kayak gini” dan aku tidak biasa mendengar jawaban keras kepalamu
“kamu jogging ama siapa tadi?” kutebak pasti Daffa, ah..mulai cemburu lagi aku
“sendirian” kata Nayra singkat terdengar ia sedang minum.
“oh...kirain sama Daffa” kata – kata yang ada dalam kepalaku tiba – tiba terucap tanpa aku saring lebih dulu.
“apaan sih. Daffa mulu” Nayra mulai kesal
“bukannya kamu balikan sama Daffa?” pertanyaanku sontak membuat tawa Nayra pecah diseberang.apa sih yang lucu baginya?
“Rey, biar aku perjelas yah.. Daffa itu Cuma aku anggap teman, aku nggak mungkin balikan sama dia” senyum kecil terbentuk dibibirku. Kukira mereka akan balikan.
“tapi kamu pernah suka kan sama dia, masa gak ada kesempatan buat balikkan. Daffa dari dulu pengen balikan sama kamu”
“kapan aku bilang suka sama Daffa? Sejak kapan kamu menjadi sponsornya Daffa?” malah jadi Nayra yang balik bertanya
“kalian pernah pacaran kan? Berarti kamu pernah suka sama Daffa” duh.. koq jadi bahas Daffa terus sih
“aku gak pernah suka sama Daffa” nada bicara Nayra mulai terdengar ketus. “aku nerima dia jadi pacar, karena aku bikin perjanjian dengan Adit” jawaban Nayra barusan membuatku terkejut, karena hampir 16 tahun berlalu dan aku tak menanyakan pada Nayra, apa yang dia sukai dari Daffa
“Perjanjian? Perjanjian apa?”aku menjadi semakin antusias
“Waktu itu Ika teman sekolahku suka sama Adit, makanya aku berusaha deketin mereka, begitu juga Adit berusaha deketin aku dengan Daffa. Sementara Adit gak suka sama Ika, akupun demikian gak suka Daffa. Makanya kita bikin perjanjian, kalau Adit mau sama Ika, berarti Nayra juga harus mau sama Daffa” penjelasan yang cukup membuat emosi sih sebenarnya, bisa – bisanya mereka memikirkan sahabat mereka tapi gak mikirin aku.
“oh… shitt!!!” makiku pelan baru teringat sesuatu
“kenapa?” Nayra terdengar penuh antisipasi
“aku bahkan mukul dia setelah tahu dia nembak kamu” aku memang menyesali perbuatanku itu, dan lebih menyesal lagi setelah tahu kalau ceritanya seperti ini. “aku bahkan nyumpahin kalian biar gak bahagia” tawa Nayra semakin menjadi – jadi setelah mendengar pengakuanku tadi
“Rey.. I can’t imagine...” tawa Nayra masih terdengar mengambang, hingga ia kesulitan mengatur nafasnya
“good to know, that you’re laugh” kataku yang sebenarnya kutujukan pada hatiku yang awalnya cukp mengkhawatirkan keadaan Nayra.
“thank’s Rey.. its made my day” perkataan Nayra barusan cukup membuatku lega, karena aku tahu dia akan baik – baik saja.
“anytime..” jawabku dengan ragu “Nay..”
“hmm.. “keheningan ini membuatku menjadi gelisah.
“I miss you” kataku tiba- tiba.
“Rayhan!! Kamu gila yah..” suara Nayra yang terkejut membuat tawaku pecah, ia segera mematikan teleponnya, sementara aku masih tertawa karenanya. Tapi itu memang benar, jauh didalam sana aku sangat merindukannya, lebih dari apapun.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments