Aku, Ranu. Yang saat ini sedang ingin mencekik pemilik suara malaikat maut yang sedang berdendang di depanku itu. Andai saja ada kabel atau benang pancing yang ada di sebelahku, pasti aku sudah menggunakannya dengan sangat baik. Kasihan sekali gendang telingaku harus menerima siksaan ini.
Parahnya, gadis itu sama sekali tidak menyadari kekurangannya. Menyebalkan bukan?
Sementara di sebelahku, Arnav sudah menahan tawa sejak tadi. Tak jarang ia mengeluarkan suara kikikan kecil kemudian menutup mulutnya rapat-rapat.
Begitu juga dengan Haris. Ia menggigit ujung jaketnya untuk meredam suara tawanya.
Kami semua sedang menahan siksaan lengkingan malaikat maut itu. Bagaimana cara menyadarkannya?
Penilaianku tidak salah. Bahkan sejak pertama melihatnya, aku tau kalau dia tipe orang yang sangat menyebalkan.
Bayangkan saja, bisa-bisanya dia tidak mengenalku. Seorang Ranu yang sangat terkenal bahkan hingga ke pelosok negeri. Wajahku selalu menghiasi layar kaca dan wara wiri di semua media sosial. Mustahil dia tidak mengenalku.
Parahnya, dia malah marah-marah saat ku temui di lobi hotel.
Padahal awalnya aku sempat mengagumi wajahnya yang imut dan manis dalam balutan hijab. Apalagi pipinya nampak menggembul saat mengunyah roti di mulutnya.
Ah, mengingat itu aku jadi merasa tersaingi oleh roti itu. Nampaknya dia lebih menimati rasa roti itu ketimbang melihatku. Menyebalkan sekali.
Hari ini, kami tiba di bandara Kualanamu, Deli Serdang untuk kemudian menuju ke sebuah kabupaten di daerah Aceh. Aku yang memang bekerjasama dengan dinas pariwisata, mendapat tawaran untuk mengeksplore daerah itu. Dan karna aku tidak pernah kesana, aku menyetujuinya. Dan disinilah kami.
Aku terkejut luar biasa saat tiba-tiba ada yang membuka pintu mobil begitu saja. Lebih terkejut lagi saat aku tau kalau ternyata gadis menyebalkan yang ku temui di bandara itulah yang muncul di hadapanku. Dan ternyata di adalah adik dari Fuan, seorang pegawai dinas pariwisata yang bertugas untuk menjemputku.
Sebuah kebetulan yang aneh.
“Mas, suruh diem dong.” Bisik Haris dari balik sandaran kursiku.
“Kikikikikikik.” Arnav malah semakin tertawa.
Aku diam saja. Dalam hati berdoa agar tenggorokannya kemasukan nyamuk supaya dia bisa berhenti bernyanyi.
Tapi lama-lama, aku semakin tidak tahan. Manalah lagunya entah dari negara mana. Yang jelas, aku tidak mengerti apa yang ia nyanyikan.
Aku memajukan badanku berniat untuk menegurnya. Tapi aku tercekat saat ada sorot lampu yang melintas berlawaan arah dengan kami membias ke wajahnya.
Wajah ayu itu membuatku tercekat. Dari samping, wajahnya terlihat berkilau dan menampakkan siluet hidung mancungnya yang begitu jelas. Gadis itu, sepertinya punya daya tarik yang aneh.
Setelah dua jam berlalu, suara malaikat maut itu perlahan melembut. Dan tidak terdengar lagi. Ternyata dia sudah tertidur. Sontak kami langsung menarik nafas lega. Kami sudah terbebas dari siksaan itu.
Melihat adiknya sudah tertidur, Mas Fuan langsung mematikan pemutar musiknya. Dia juga nampak lega.
“Mas Ranu bawa jaket kan?” Mas Fuan mengajakku bicara. Sepertinya ia merasa bosan karna harus mengusir rasa kantuknya. Menyetir di malam hari adalah tantangan terberat. Apalagi jarak yang harus kami tempuh sangatlah jauh.
“Bawa, Mas.” Jawabku.
“Baguslah. Soalnya di tempatku udaranya dingin banget. Kalau kami sih udah biasa. Tapi kalau buat pendatang, suka gak nyaman kalau gak pake jaket yang tebel.” Jelas mas Fuan.
“Perjalananya masih lama. Mas Ranu tidur aja dulu.” Saran mas Fuan kemudian.
“Mas Fuan tolong jangan panggil aku mas dong. Kayaknya aku jauh di bawah mas Fuan. Panggil aku Ranu aja. Biar kedengeran nyaman.” Saranku.
Aku merasa sangat tidak nyaman karna pria yang umurnya nampak berbeda jauh denganku itu berbicara dengan sopan kepadaku. Aku tidak suka karna itu hanya akan menciptakan jarak di antara kami. Sedangkan aku butuh akrab dengan orang yang akan bekerja bersamaku.
“Oke deh. Ranu. Hehehehe. Kalau ngantuk tidur aja.”
“Yaudah, Mas. Aku mau tidur ya.” Ucapku dengan menoleh kepada Arnav dan Haris yang sudah mendengkur terebih dahulu.
*************
Safuandi berusaha untuk mengusir rasa kantuknya dengan sekuat tenaga. Ia tidak terbiasa menyetir di malam hari. Ia mengunyah permen kopi untuk membantunya terjaga.
“Capek, bang? Mau ku gantiin?” Suara Mia yang sudah terbangun mengejutkan Fuan. Ia langsung menoleh sebentar kepada adiknya itu sebelum kembali fokus ke jalan raya.
“Gayamu. Kayak bisa nyetir aja.” Hardik Fuan terkekeh kecil. “Kenapa bangun?”
“Kebelet pipis aku.”
“Tunggu bentar. Bentar lagi nyampe Matang.” Ujar Fuan lagi.
Mia melirik kepada jam digital yang tertera di layar dekstop mobil. Sudah pukul 2 dini hari. Ia kasihan kepada Fuan karna tidak ada yang bisa menggantikannya menyetir. Padahal perjalanan mereka masih jauh.
Sepuluh menit kemudian, Fuan menepikan mobilnya di depan sebuah warung yang nampak sangat ramai oleh pengunjung. Sebagian besar adalah penumpang dari bis malam yang memang biasa berhenti disana untuk istirahat sebentar.
Mia langsung berlari keluar dari mobil begitu mobil berhenti dengan sempurna. Sementara Fuan membangunkan Ranu, Arnav, dan Haris dengan hati-hati.
“Ranu. Kita berhenti sebentar disini.” Ujar Fuan.
Ranu mengerjipkan matanya. Nyenyak juga ia tertidur di dalam mobil. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan mata yang masih terasa sepat.
“Dimana ini, Mas?” Tanya Ranu.
“Kita masih di Matang. Ayo turun. Aku pesankan sate Matang buat kalian.” Ujar Ranu.
Ranu, Arnav, dan Haris lantas turun dari mobil dan mengikuti Fuan berjalan masuk ke dalam warung makan yang ternyata sangat luas itu.
“Mana adik mas Fuan?” Tanya Ranu. Ia menoleh ke arah mobil.
“Lagi di kamar mandi.” Jawab Fuan. “Tunggu disini ya. Aku pesenkan dulu.” Ujar fuan yang kemudian pergi ke arah depan menghampiri penjual.
“Bang sate matangnya lima ya.”
“Pakek nasik, Bang?” Tanya penjual.
Fuan mengangguk kemudian kembali ke meja mereka.
“Minum apa, Bang?” Tanya seorang pelayan menghampiri meja mereka.
“Aku kopi aja. Kalian apa?” Tanya Fuan kepada rombongannya.
“Sama aja, Mas.” Jawan Ranu.
“Yaudah. Kopi empat. Teh dingin satu ya, Bang.”
Pelayan itu segera berbalik untuk menyiapkan pesanan.
Tidak lama kemudian, Mia sudah kembali dari kamar mandi. Ia segera menghampiri kakaknya dan duduk di sebelah Fuan, tepat di hadapan Ranu.
Gadis itu nampak melirik kepada Ranu sebentar kemudian sibuk melihat ke ponselnya. Wajah kesalnya belum menghilang.
“Udah pesen, Bang?” Tanya Mia kepada Fuan.
“Udah.”
“Es tehku juga?”
“Udah, bawel.”
Mia tersenyum puas kemudian kembali sibuk dengan ponselnya. Ia sedang mengabari Azizah.
“Tadi namanya Mia ya?” Tanya Ranu membuka percakapan.
Mia mengangkat matanya untuk melihat Ranu. Kesal karna Ranu bertanya. Padahal ia sudah membuat batasan agar pria itu tidak mengajaknya bicara.
“Udah tau, nanya.” Lirihnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Pia
terpesona 😍😍😍
2022-10-23
0
Pia
gak ilang ilang ya Bang Ranu, sebelnya 😁😁😁
2022-10-23
0
Pia
🤭🤭🤭🤭🤭🤭🤭🤭
2022-10-23
0