"Kalau begitu jangan dekat dengan pria manapun sebelum kau menemukannya." Radit menjawab dengan santai.
"Atau aku akan ikut denganmu kembali ke Malaysia." ucapku, karena sebenarnya aku juga menyukai tinggal di sana.
"Apa kau tak ingin kuliah Zahira?" Radit menatapku agak lama.
"Untuk apa kuliah, kita sudah kaya." jawabku lelah. Radit tersenyum geleng-geleng melihat aku yang sangat tidak nyaman tinggal di sini, padahal di Malaysia aku selalu ingin pulang.
Hari-hari ku berlalu dengan lambat, satu-satunya yang membuatku sedikit tenang adalah hadirnya Radit selama satu Minggu ini. Tapi hari ini Radit akan kembali ke Malaysia karena memang dia belum ujian kenaikan kelas.
"Radit, aku akan ikut ke Malaysia bersamamu." Aku tidak mau melepaskan tangan Radit yang sudah membawa tas bersiap untuk pergi.
Radit diam membeku walau tangannya terkadang kutarik. Dia hanya menatap wajahku seperti ingin sekali membawaku bersamanya, tergurat sedikit kekhawatiran di sana.
"Sayang kau tidak boleh begitu?" Papa mendekatiku meraih bahuku dengan pelan, aku menurut meski tanganku tak melepas tangan Radit. Entah mengapa Mama diam mematung menatap aku dan Radit yang seakan enggan berpisah.
"Sayang Radit tidak akan lama, setelah ini dia libur." Papa menenangkan aku.
Aku menatap Papa lalu Radit, Radit tersenyum dan mengangguk. "Aku tidak akan lama, kau tidak perlu takut." Radit meyakinkan aku.
Perlahan aku melonggarkan tanganku dan melepas tangannya. Sungguh aku sangat tidak rela Radit meninggalkan aku.
"Pergilah." Papa meminta Radit segera berangkat. Aku melihat papa dan mama saling menatap seakan berbicara dengan bahasanya sendiri.
"Sayang kau tidak perlu ke kantor hari ini, istirahatlah." Papa memintaku naik ke atas karena aku memang melakukan segala hal di sana, semua kebutuhanku ada di atas kecuali makan.
"Kita perlu bicara." Papa mengajak mama ke kamar setelah aku menaiki tangga. Entahlah apa yang akan mereka bahas, semoga saja Mama dan Papa tidak memintaku belajar bekerja dikantor lagi.
Sudah dua Minggu sejak aku mendaftar, hari ini ada tes wawancara calon mahasiswa bertepatan dengan kepulangan Radit.
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun karena ada berkas yang harus kubawa, aku mencari di dalam laci di kamarku tapi tidak menemukan berkas akta kelahiran ku. memang selama ini Papa dan Mama mengurus semuanya dengan teliti dan rapi, bahkan pihak sekolahku akan menghubungi Umi Nurul jika membutuhkan sesuatu apapun tentang diriku. Tidak kali ini, aku sudah besar sudah bukan waktunya kebutuhanku diurus Mama dan Papa.
"Papa." Panggilku mengetuk kamarnya. "Mama." Panggilku lagi karena tak ada jawaban. Ku raih pegangan pintu dan ternyata tidak di kunci.
"Papa, Mama, Zahira masuk!" Aku melangkah masuk dan mendekati meja yang tak jauh dari tempat tidur. Sepertinya berkas-berkas tak ada disini.
Aku beralih menuju ruang kerja, ternyata disini juga tak ada Papa dan Mama. Aku mulai mencari dimana kiranya papa dan mama menyimpan data keluarga. Lama mencari tapi tak juga menemukannya, hingga aku membuka laci yang paling bawah. Aku tidak menemukannya, tapi aku melihat ada dua buku kecil bergambar Garuda 'Buku Nikah'. Karena sangat penasaran dengan foto Papa dan Mama waktu muda aku iseng membukanya. Ternyata mama cantik sekali, mirip dengan Radit saat ini tapi Mama lebih semampai sedangkan Radit memiliki tubuh yang lebar dan gagah mewarisi kegagahan Papa. Aku tersenyum memandangi foto mereka, sampai akhirnya aku menyadari sesuatu. Tahun pernikahan Mama tidak sesuai dengan usiaku!!!
"Zahira." Papa memanggilku. Aku tak bergeming memikirkan angka-angka yang sudah berseliweran di kepalaku. Hatiku tak tenang, Jantungku berdetak tak beraturan.
"Sayang." Mama ikut masuk ke dalam ruang kerja Papa. Perlahan aku mengangkat kepalaku menguatkan diri menatap Papa dan Mama.
Papa dan Mama saling pandang. Wajah Mama sudah terlihat sangat pucat dan khawatir. Tangannya meremas bahu Papa, matanya sudah basah lebih dulu.
"Aku anak siapa Mama?" Aku bertanya pelan sekali. Seperti tak ada yang bisa menjawabnya, mereka berdua masih terpaku.
Air mataku berjatuhan tak bisa ditahan, kaki terasa lemas dan seluruh tubuhku bergetar. Ku paksakan berdiri mendekati Mama dan Papa, Dadaku sangat sesak seakan tak ada oksigen mengisi rongga dadaku.
Papa memelukku erat sekali sepertinya ia juga menangis, bahu kokoh yang selalu menggendongku itu bergetar hebat. Untuk pertama kalinya aku melihat Papa menangis, pelukannya semakin erat dan hangat seolah itu adalah luapan kepedihan yang selama ini di simpannya atau mungkin akhir dari kasih sayang yang luar biasa darinya.
"Mama." Panggilku ketika ku lihat Mama duduk lemas tak mengatakan apa-apa, hanya Isak tangis yang memilukan terdengar semakin menjadi.
Papa menuntunku mendekati Mama, sesekali tangan Papa terlihat masih menyapu air matanya. "Mama." Panggilku lagi duduk di bersimpuh di hadapan Mama.
Mama memelukku dengan tangis yang meraung pilu. Tak pernah ku dengar Mama menangis seperti itu, tapi sungguh yang paling terluka disini adalah aku. Siapa aku? pertanyaaan yang masih ku pendam karena memang belum sanggup untuk mengucapkannya. Tapi dari semua yang ku lihat antara aku, Papa dan Mama, memang benar aku bukanlah anak Papa dan Mama.
Hampir satu jam aku diam mendengarkan tangis pilu Mama, dan akhirnya Mama membuka suaranya.
"Zahira." Panggilnya pelan. Aku menatap mata Mama yang sudah bengkak dan semakin kecil.
"Kau tetap anakku, meski bukan aku yang mengandungmu." Mama menarik nafas menyiapkan kata-kata yang lebih baik dan juga mental yang lebih tentunya. Aku sudah pasrah, hanya air mata saja yang menjawab ucapan Mama.
"Ini sayang." Papa memberikan beberapa berkas yang dia simpan di brangkas dengan rapi. Pantas saja aku tak menemukan apa-apa, karena Papa menyimpannya di tempat yang aman dan tak ada seorangpun yang tau.
Tanganku bergetar memegang kertas-kertas yang di berikan Papa. Hal yang pertama ku lihat adalah akta lahirku. "Zahira Putri. ayahku Aldo Bramastya, dan ibuku, Revalia Az-Zahra wanita berhijab yang ku lihat di ruang direktur.
*
"Sayang bangunlah." Aku bergerak pelan mendengar suara Mama membangunkanku, rasanya malas sekali bangun pagi dan harus sekolah.
"Sebentar lagi Mama." Jawabku manja.
"Sayang kau sudah sadar, minum air putih ya." Mama menggoyang pipiku.
Aku membuka mataku perlahan, kulihat wajah cantik Mama sembab dengan mata yang sipit tampak sudah hampir menghilang. Ternyata inilah kenyataan.
Sungguh aku menangis, rasanya aku tak ingin sadar dari pingsanku, aku ingin hidup di alam mimpi dimana aku masih kecil dan selalu dimanja Papa dan Mama. Tapi inilah yang harus ku hadapi. Aku hanyalah anak yang tak punya ayah dan ibu, menumpang kasih sayang pada Papa dan Mama.
...Setelah aku mengetahui semua kenyataan ini. Barulah kisah cintaku di mulai....
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 301 Episodes
Comments
Erita Wahyuni
apa yg trjdi😭
2022-10-20
1