“Sayang!” seru Zhafira berlari kecil membuat Afkar mengernyit heran entah siapa yang dipanggil sayang olehnya.
Netra Afkar mengikuti kemana Zhafira pergi ternyata menghampiri Syara yang tadi sempat pingsan karena meninggalnya kedua orang tuanya.
Afkar berjalan mendekat pada Zhafira, tanpa mengucapkan satu kata pun.
“Kak, Syara udah benar-benar sendiri,” lirih Syara.
“Hey, trus gue siapa dong?” tanya Zhafira seraya memegang dagu Syara.
“Mama dan Papa, Kak! Gimana nasib Syara setelah ini,” balas Syara menangis di pelukan Zhafira.
“Syara, kakak yakin, pasti Mama dan Papa sedih di sana kalau melihat putri cantiknya ini menangis,” titah Zhafira mengelus punggung Syara.
“Katanya kamu mau mengalahkan cantiknya kakak, kalau nangis gini jelek tau!” lanjut Zhafira.
“Udah dong nangisnya. Ayo mandi dulu,” imbuh Zhafira menarik lengan Syara untuk diantarkannya ke kamar Syara dan membantunya bersiap sebelum jenazah kedua orang tuanya tiba.
Melihat Zhafira yang pergi meninggalkannya, Afkar melangkah mendekati kedua orang tuanya yang pamit pulang terlebih dahulu. Setelah itu, Afkar diantar oleh Papa Fadlan ke kamar Syara.
Sementara di luar rumah, semua dekorasi acara pernikahan dibongkar cepat sebelum maghrib tiba. Karena, jenazah kedua orang tua Syara akan tiba setelah maghrib.
Setelah Zhafira membantu Syara bersiap, Zhafira mengantar Syara mendekat pada Papa Fadlan dan juga Mama Latifah.
“Pa, Ma, Fira titip Syara sebentar. Fira mau mandi dan bersiap,” ucap Zhafira.
“Fira, ambil ini dan berikan untuk suami kamu. Dia berada di kamar,” kata Papa Fadlan sembari memberikan tote bag yang disiapkan oleh Mama Latifah.
“Oh, ba-baiklah, Pa.”
Zhafira berjalan menuju kamarnya, dan masuk dalam keadaan gugup karena selama ini belum pernah laki-laki masuk ke kamarnya kecuali Papa Fadlan.
“E-emm ... i-ini titipan dari Papa,” ucap Zhafira saat bertemu dengan Afkar yang tengah duduk di pinggir kasur.
“Terima kasih,” balas Afkar yang diangguki oleh Zhafira.
Zhafira hendak membuka lemari untuk mencari baju gamisnya. Namun, langkahnya dihentikan oleh suara Afkar, “Ada acara apa nanti?”
“Kedua orang tua Syara meninggal, jenazahnya akan tiba di rumah ini setelah maghrib. Akan ada tahlilan malam ini di rumah,” jawab Zhafira.
“Baiklah, setelah sholat maghrib, saya turun untuk membantu,” balas Afkar yang kembali diangguki oleh Zhafira.
Zhafira yang mau masuk ke dalam kamar mandi, tak sengaja bersamaan dengan Afkar yang ternyata mau ambil wudhu ke kamar mandi.
“Duluan aja,” ucap Afkar.
“Fira mau mandi, nanti lama,” balas Zhafira.
Afkar pun langsung masuk ke dalam kamar mandi, setelah berwudhu langsung keluar.
Zhafira segera masuk dan mandi. Tak lama, dia selesai mandi langsung keluar dengan baju gamis lengkap dengan hijabnya.
Zhafira mengambil mukena dan sholat ashar karena tadi tak sempat ikut ke masjid bersama yang lain.
Setelah itu, Zhafira keluar untuk kembali menemui Syara, tidak dengan Afkar yang masih sibuk dengan pekerjaannya di ponsel. Namun, Zhafira tak menanyakan Afkar yang tengah sibuk apa.
Adzan maghrib berkumandang, Zhafira kembali masuk ke dalam kamar. Saat Zhafira sudah lengkap memakai mukena, tiba-tiba Afkar bertanya padanya, “Mau diimamkan gak?”
Zhafira mengangguk kecil. Mereka berdua pun sholat berjama’ah. Setelah sholat, Afkar melanjutkan zikir dan do’a.
Kemudian, mereka berdua segera keluar kamar untuk membantu tahlilan malam ini.
Jenazah Tante Maya dan Om Heksa tampak masuk dibawa oleh para petugas rumah sakit.
“Papa, Mama!” seru Syara menghampiri peti jenazah.
Zhafira dan Mama Latifah menenangkan Syara, membuatnya duduk tenang selama acara tahlilan selesai.
****
Para jama’ah yang ikut tahlilan sudah pulang, Syara masih nangis tersedu-sedu.
Mama Latifah udah tak kuat menahan tangisnya kini memilih ke kamar dan menitipkan Syara pada Zhafira.
“Nak, jaga Syara, ya. Papa akan menenangkan Mama terlebih dahulu,” titah Papa Fadlan.
“Iya, Pa.”
“Afkar, sebentar, Nak,” lanjut Papa Fadlan pada Afkar.
Papa Fadlan membawa Mama Latifah ke dalam kamar. Afkar duduk di belakang Zhafira memperhatikan kasih sayang Zhafira yang begitu tulus pada Syara.
“Dek, udah dong, Dek. Lo yang nangis, kakak yang capek ngeliat air mata lo banjir gitu!” seru Zhafira kembali mengelap air mata Syara.
“Kak, Kak Fira jangan tinggalin Syara, ya,” ucap Syara memeluk Zhafira.
“Pasti kakak selalu ada sama kamu kok,” balas Zhafira mengelus punggung Syara.
“Udah, lo tidur aja yuk di kamar,” titah Zhafira.
“Kak, izinkan Syara tidur di sini bareng Mama dan Papa terkahir kalinya,” lirih Syara.
“Oke, kakak juga akan di sini.”
“Gak, Kak. Kakak tidur di kamar aja, Syara aman di sini bersama Papa dan Mama,” ucapnya yang diangguki oleh Zhafira.
Zhafira segera mempersiapkan bantal juga selimut untuk Syara yang memilih tidur ditengah-tengah peti jenazah Mama dan Papanya.
Melihat Syara udah lebih tenang, Zhafira menutup pintu dan meninggalkan Syara.
“Afkar, Fira, kalian istirahat aja. Papa juga mau tidur untuk mengurus pemakaman Maya dan Heksa,” ucap Papa Fadlan.
“Iya, Pa,” balas Zhafira.
“Baiklah, Om.”
“Panggil Papa dan Mama, sesuai panggilan istri kamu ke kami,” pinta Papa Fadlan.
“Baiklah, Pa,” balas Afkar.
Afkar menyusul langkah Zhafira yang lebih dahulu pergi meninggalkannya masuk ke dalam kamar.
Saat Afkar di kamar untuk berwudhu, Mbok Ijah mengetuk pintu.
Tok...Tok...Tok...
“Iya, Mbok. Ada apa?” tanya Zhafira.
“Tadi sewaktu semua pergi takziah, sopirnya Pak Reyhan datang mengantar baju Den Afkar, Non,” jawab mbok Ijah.
“Oh ... sini, Mbok, biar Fira kasihkan nanti. Makasih ya, Mbok.”
Mbok Ijah pun mengangguk dan pergi meninggalkan kamar Zhafira.
Zhafira pun segera menutup pintu kamar. Bertepatan dengan Afkar yang baru saja keluar dari kamar mandi.
“Ini baju-baju tadi dikirim sama sopir Om ... eh, Ayah Reyhan,” ucap Zhafira canggung.
“Iya, terima kasih,” balas Afkar.
Afkar langsung mengambil baju untuk berganti dan mengambil sarung untuk sholat isya.
Afkar menaruh baju-bajunya di pojokan karena dia gak tau di mana dia menaruh bajunya. Lalu segera melaksanakan sholat isya berjama’ah dengan Zhafira.
Setelah sholat isya’ Afkar mengaji sebentar. Zhafira yang mendengar suara merdu Afkar terpesona. Perasaannya terasa damai. Sampai-sampai gak merasa kalau Afkar udah selesai mengaji.
“Hmm ... ada yang mau saya bicarakan,” ucap Afkar membalikkan tubuhnya yang masih di atas sajadah.
“A-ada apa?” tanya Zhafira.
“Jangan menyela atau memotong ucapan saya sebelum selesai bicara. Terus terang aja, sebenarnya saya udah punya calon istri. Dan maaf, kalau saya tidak bisa mencintaimu,” ucap Afkar.
“Itu gak masalah, Fira juga gak cinta, kalau pun setelah ini mau menceraikan Fira, juga gak masalah,” balas Zhafira dengan entengnya.
“Baiklah, berarti kita sepakat tidak akan mempertahankan pernikahan ini ya. Tapi, jangan dalam waktu dekat, karena itu nanti akan sulit untuk kita mencari alasan. Bagaimana kalo waktunya enam bulan saja?” usul Afkar.
“Oke deal. Baiklah, Fira mau tidur.” Fira berdiri hendak melepas mukena.
“Tunggu, saya belum selesai bicara. Karena waktu kita bersama enam bulan, bagaimana kalau kita berteman. Supaya kita tidak canggung. Boleh memanggil saya nama aja atau mas atau abang. Bebas, senyamannya aja, kita jangan ikut campur urusan masing-masing, dan ingat, di depan orang tua bersikaplah layaknya suami istri,” ujar Afkar.
“Baiklah, atur saja gimana baiknya,” balas Zhafira.
“Sekarang gimana kita tidurnya, siapa yang tidur di sofa, siapa yang di ranjang?” lanjut Zhafira bertanya pada Afkar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Dwi Winarni Wina
Dalam waktu enam bulan pasti akan tumbuh benih2 cinta antara fira dan afkar...
2025-03-23
0
Ummi Alfa
Smoga aja awalnya dari pertemanan timbul rasa cinta di hati masing2 sebelum waktunya tiba yaitu 6 bulan.
2022-08-14
1