Pagi ini aku harus bergegas berangkat ke Sekolah, karena penilaian tengah semester satu dilaksanakan kurang lebih dua jam dari sekarang.
Gedung kelas sepuluh lantai dua hampir sepenuhnya aku lewati namun, hingga saat ini aku belum menemukan ruangan yang akan digunakan.
Tatapanku jatuh kepada ruangan kelas di pojok, kelas yang sudah aku yakini jika itu adalah ruang tujuh belas, tempat yang akan aku gunakan selma satu minggu untuk penilaian.
Dengan langkah ragu aku masuk, menemukan para pelajar dengan beraneka macam kegiatan. Mulai dari membaca buku ataupun asik bergosip ria.
Sekedar informasi, penilaian kali ini antara kedua jurusan yang sering berselisih, MIPA dan IPS disatukan, maka tidak heran jika di lorong tadi banyak anak yang menggerutu kesal.
Aku menghampiri kertas informasi yang tercetak di tembok, meneliti denah tempat duduk yang akan sangat membantu.
Tempat duduk yang hendak aku tempati benar-benar bukan impian, disana terlihat banyak siswa dengan tampang sedikit berantakan tengah bekumpul.
Bimbang, tinggal beberapa langkah aku tidak berani mendekat, belum lagi saat tatapan semua remaja laki-laki menyeramkan itu jatuh meneliti penampilanku.
"Eh ada cewek, mau gabung neng?" tanya seseorang kakak kelas yang aku yakini seorang siswa bandel dinilai dari penampilannya.
"Malah bengong, lo Si Cupu adek kelas ya?" tanya Kakak kelas lain yang berpenampilan hampir sama seperti orang tadi.
"Asik lo Fal! Bisa duduk sama orang yang paling dipuja seantero sekolah," ejek yang lain.
"Diem lo!"
Dengan ekor mata aku melirik sosok Kakak kelas yang mungkin saja akan satu bangku dengan diriku.
"Udah! Mending kalian bubar ke ruangan masing-masing!" usir orang yang sebangku denganku.
"Iya paham, yang mau dua-dua mah gitu," ledek kakak kelas tadi disertai tawa lainnya.
"Pergi engga!" titahnya yang langsung membuat seluruh gerombolan pergi tunggang-langgang.
"Lo mau berdiri kayak patung disitu atau mau duduk? Cepet!" bentak orang tadi.
Mendengar kalimat terakhir, dengan segera aku mendudukan bokong di atas kursi.
"Lo anak yang sering dibully Arga sama Orlin?" tanya orang itu tanpa aba, membuat kepala mengangguk mengiyakan. "Engga usah tegang gitu, gue engga seburuk yang lo bayangkan."
"Gimana engga takut, orang dandanan Kakak aja udah mendeskripsikan kelakuan. Menyeramkan." Batinku.
Sedikit gambaran tentangnya, baju yang dikeluarkan, dasi tidak menggantung di kerah, satu kancing baju atas yang tidak dipasang serta celana dengan robekan di lutut, meski aku akui tampan, dia tetaplah seorang badungan.
"Malah bengong. Denger tadi gue bilang apa?" tanyanya. "Nama gue, Raefal Mahaprana Faresta, panggil aja Raefal. Dan buat lo? Gue udah tahu banyak."
Ingatanku terlempar jauh saat dimana beberapa teman sekelas membicarakan nama itu namun, tentu bagi orang sukar bergaul sepertiku wajar tidak tahu.
"Lo punya mulut 'kan? Lo bisa ngomong 'kan? Lo engga bisu 'kan? Kenapa lo diem?" Aku melirik takut Kak Raefal. "Kalau ada orang yang ngajak ngobrol itu dibalas, jangan cuma geleng atau ngangguk. Emang lo tunanetra?"
Dengan ringisan akibat cengkraman di lengan tangan oleh Raefal, mata ini menatap tepat dimata lelaki itu dengan tatapan kesakitan.
"Kalau ada yang ngajak bicara lo jangan diam aja! Kalau ada kasarin itu dibalas!" galak Raefal.
Aku mencoba melepas cengkraman Kak Raefal karena semakin lama dia mulai memutar lengan tangan milikku ini dengan gerakan lambat hingga menyebabkan rasa yang cukup perih.
"Jangan meringis dan meminta dikasihani lewat air mata lo aja, bilang! Bicara! Minta dilepas! Bilang!" tegasnya yang malah semakin meremas kuat.
"Lepas Kak!" pintaku yang sudah tidak kuat menahan, belum lagi seluruh pasang mata memandang ke arah kami dengan tanda tanya.
"Makanya jangan diem aja," menjeda beberapa detik. "Inget! Gue engga suka lo abaikan!"
Setelah mengatakan itu Kak Raefal melepaskan diriku lalu berdiri sebelum meninggalkan ruangan.
Aku meniupi lengan milikku yang berwana merah dan terasa perih, air mata juga mulai berjatuhan. Aku memang secengeng itu.
Tak lama aku merasa kehadiran Kak Raefal yang berdiri disamping, rasanya aku ingin sekali menampol wajah datar yang lelaki itu tunjukkan.
"Sini!" Kak Raefal menarik paksa lengan tanganku.
Aku hanya memperhatikan saat tangan Kak Raefal membalut bagian yang tadi dilukai menggunkan saput tangan yang sudah dibasahi menggunkan air dingin perlahan.
"Lain kali lo harus lawan, jangan diam. Ini yang akan terjadi kalau lo diem aja!"
Melihat perilaku yang Kak Raefal tampilkan membuatku bingung, mengapa orang yang tadi kukira berhati keras itu seketika menjadi selembut sutra.
Hampir seluruh soal telah aku kerjakan semampu dan sebisaku akan tetapi, aku justru sempat-sempatnya memperhatikan Kak Raefal yang kini terlelap.
"Waktu tinggal 10 menit lagi!"
Mendengar peringatan itu, seketika aku panik, dengan cepat berusaha menulis kalimat yang akan menjadi jawaban.
"Lo bisa tenang engga? Brisik banget!" Kak Raefal menegur diri ini membuat aku terdiam.
"Akhirnya!" desahku kecil, lega karena semua soal sudah terjawab meski aku tidak yakin bila nilai akan sempurna.
"Udah selesai? Nih bawa sekalian kertas gue dan tumpuk! Gue mau lanjut tidur!" titah Kak Raefal seenaknya memerintah.
Aku kembali ke tempat duduk dan mulai membaca buku seraya memakan bekal yang telah aku siapkan sebelum berangkat.
Kelas nampak sepi karna saat ini memang jamnya istirahat, hanya tersisa aku dan Kak Raefal yang masih betah memejamkan mata.
"Lo engga ke kantin?" tanya Kak Raefal menyembulkan kepalanya menghadapku.
Aku menggeleng sebagai jawaban.
"Gue 'kan udah bilang tadi pagi, kalau ada yang ajak bicara lo balas. Inget gue engga suka! Ayo bicara!" titahnya dengan suara tegas.
"I-iya Kak," balasku takut.
"Nah gitu dong, lo engga ke kantin?"
"Engga Kak, aku bawa bekal," balasku yang mulai membiasakan diri membalas meski agak aneh karena kepalaku tetap menunduk.
"Jadi gue engga ditawarin nih?" tanyanya yang membuatku memandang aneh.
"Kakak Mau?" tanyaku dengan penuh ketidakyakinan.
"Mau lah!" balasnya cepat lalu tanpa izin mengambil semua roti milikku dan memakannya habis. "Makasih. Tapi gue engga kenyang kalau cuma makan roti."
Dalam hati aku berdecak keras. "Kalau masih lapar ya makan, ribet banget pake acara bilang."
"Dasar cewek engga peka! Ayo kantin!" paksa Kak Raefal menarik tanganku keluar kelas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments