Sebuah daun terjatuh mengenai wajahnya. Vee terkesiap kaget, dan kebingungan melihat sekelilingnya.
Gelap dan sunyi.
Pandangannya terbatas karena hanya mengandalkan sinar rembulan yang tertutupi dedaunan lebat.
Hampir tak ada sinar, gelap sekali.
"Ya Allah, dimana aku? Aku tersesat tuhan" gumam Vee yang masih berusaha melucu untuk menyemangati dirinya yang entah sedang berada dimana.
"Gelap Ya Allah, Tolong bantu Vee Ya Allah" Vee meraba-raba sekitarnya.
Dia jadi teringat tentang sosok wanita yang tadi dilihatnya. Dan sekarang sudah tak nampak lagi.
Apa mungkin dia sedang sembunyi?
"Ya Allah, kenapa jadi lupa semua ayat-ayat yang dulu pernah hafal sih?" Vee merutuki kebodohannya di saat genting begini.
"Gini nih, kalau suka bolos waktu disuruh ngaji sama bunda" masih meraba-raba, Vee malah teringat bundanya.
"Bundaaa, tolongin Vee" rengeknya.
"Apaan nih?" Vee terkejut saat telapak tangannya meraba sesuatu.
"Bulat tapi bukan bola" gumamnya.
"Berambut tapi nggak halus, jadi bukan rambut" masih saja Vee bermonolog.
"Batok kelapa bukan sih?" Vee bertanya pada dirinya sendiri.
"Tapi kayak nggak ada pohon kelapa?" tanya Vee lirih.
Vee sampai mendongak untuk mencari siapa tahu ada pohon kelapa di dekatnya. Tapi memang tak terlihat.
Hanya pohon tinggi menjulang semacam jati yang menutupi hampir sebagian besar kawasan ini.
"Kira-kira ini apa ya?" Vee memberanikan diri untuk mengangkat semacam bola yang terasa geli saat diraba, memegang semacam tali berserabut dalam genggamannya.
Saat Vee sedang asyik menatap bola itu. Dan perlahan karena hembusan angin, bola ditangannya berputar dan menampilkan sisi lain yang tadi ada dibaliknya.
"Aaaaaaaaaa"
Seketika Vee berteriak kencang saat mendapati sepasang mata yang tengah menatapnya.
Ternyata yang dipegangnya adalah sebuah kepala dengan rambut yang Vee kira adalah sebuah tali panjang.
Segera Vee melempar kepala itu sekuat tenaga. Berusaha membuangnya sejauh mungkin.
Sementara mulutnya masih berteriak dengan kerasnya.
Sesosok tubuh wanita yang memakai kebaya bermotif batik jadul yang tadi menuntunnya ke hutan ini, tiba-tiba ikut memunculkan diri saat Vee melemparkan kepala ditangannya tadi.
Dengan cekatan, sosok itu menangkap kepala berambut panjang itu dengan kedua tangannya.
Tanpa Vee kira sebelumnya, sosok itu menancapkan kepala itu tepat di bagian lehernya yang nampak berlumuran darah yang mengering.
Vee menutup mulutnya, berusaha menelan suara yang sungguh ingin keluar tanpa perintah.
Setelah kepala itu menancap sempurna.
Terasa atmosfer udara di sekitar Vee berubah dengan cepatnya, hanya butuh sepersekian detik untuk menjadikan sunyinya malam yang masih memperdengarkan nyanyian binatang malam, berubah menjadi sangat sunyi, hening dan pandangan mata Vee berubah seperti saat kau melihat film empat dimensi menggunakan kaca mata khusus.
Vee telah berpindah tempat. Dalam satu kali kedipan mata, dia telah berada di halaman depan gudang padi. Bersama teriakan dari para warga yang bergerumbul mendatangi halaman gudang ini.
"Iku wonge, ketemu. Tukang santet e ketemu, ayo ndang dicekel. Ojo sampek mlayu maneh"
(Itu orangnya, ketemu. Tukang teluhnya ketemu, ayo cepat ditangkap. Jangan sampai lari lagi)"
Terdengar seorang lelaki mengomandoi beberapa warga yang datang beramai-ramai dengannya.
Kebanyakan dari mereka adalah warga pribumi. Mereka memakai baju adat jawa jaman kolonial.
Bau debu yang terbawa angin saat mereka berlari tercium di hidung Vee. Membuatnya seketika memejamkan mata dan menutup mulut dan hidungnya dengan tangan.
"Kenapa tiba-tiba banyak orang?" tanya Vee yang masih membatu di tempatnya.
Mengamati kejadian yang sedang berlangsung dihadapannya.
Tapi anehnya, tak ada satupun dari mereka yang menyadari keberadaan Vee.
Gadis itu seolah hanyalah angin lalu, tak kasat mata.
"Sek.. Sek... Mandek!!" teriak pria itu lagi.
(Sebentar, berhenti)
"Cah gendeng iki mari mateni Hideo rupane" kata pria itu tak berani melangkah lebih jauh.
(Anak gila ini telah membunuh Hideo rupanya)
"Delok en talah, mayit e sik dipangku. Jianc**k. Wis matek" umpatnya.
(Lihatlah, mayatnya masih ada di pangkuannya. Sialan, sudah mati).
Wanita itu terlihat pasrah, tak tahu lagi harus berbuat apa. Dia hanya bisa menangis karena sudah dikerumuni warga yang marah dan sedang mengincar nyawanya.
"Serbuuu" teriak pria yang tadi.
Menyulut emosi warga yang dibawanya untuk beramai-ramai menghukum wanita itu tanpa ampun.
Bahkan mereka tak mau sama sekali untuk mendengar pembelaan dari wanita itu.
Mereka beramai-ramai menarik si wanita. Dua orang memegangi tangan kanan dan kirinya. Wanita itu ditarik paksa oleh para warga.
Tak ada penolakan darinya, dia hanya pasrah mengikuti alur yang warga inginkan. Hanya air matanya yang terus menerus jatuh di pipinya yang sedikit chubby.
"Turokno! Turokno!"
(Tidurkan! Tidurkan!)
Teriak mereka.
Tanpa banyak kata, seseorang dari mereka telah mengeluarkan parang dan menyembelih wanita itu tanpa ampun.
Seketika wanita itu meregang nyawa.
Darah dari lehernya keluar dengan derasnya. Sementara warga terlihat tertawa penuh kemenangan.
Sejenak tubuhnya menggelepar tak karuan, sementara matanya melotot menatap satu per satu warga yang mengeroyoknya tanpa ampun.
Mata itu kini menatap sedih pada Vee yang tak terlihat oleh warga yang lain.
Apalagi saat warga memutuskan untuk membawa kepala dan tubuh yang telah terpisah itu ke belakang gudang.
Melemparkan begitu saja saat sudah cukup jauh memasuki hutan.
Mereka membiarkan jasad yang tak utuh itu menjadi makanan binatang buas. Entah itu ular berbisa ataupun hewan melata lainnya.
Lambat laun, pemandangan itu mengabur. Semakin lama, warnanya memudar. Makin lama makin menghilang, seperti saat kau melihat TV zaman dahulu yang hanya menampilkan warna hitam dan putih.
Daritadi Vee sudah menangis, dari saat ada orang yang menyembelih wanita itu tanpa ampun.
Sampai kini, Vee nasih sesenggukan. Tak tega melihat pemandangan menyedihkan yang tak bisa dicegahnya dengan cara apapun.
Setelah menyeka air matanya, ternyata Vee sudah kembali ke tempatnya semula.
Di dalam hutan terlarang, di belakang gudang tempat Andik membongkar muatan pupuknya.
Wanita itu berada di hadapan Vee, hanya berjarak sekitar dua langkah darinya. Wajahnya tersenyum, seperti merasakan kelegaan yang luar biasa.
"Siro wis kepilih, guduk isun jodoh e" meski suaranya terdengar lirih, tapi Vee bisa mendengarnya dengan jelas.
(Kamu sudah terpilih, bukan aku jodohnya)
"Terimoen takdir siro, isun wis kesel sing arepe njogo" kata wanita itu lagi.
(Terimalah takdirmu, aku sudah lelah untuk menjaganya)
"Ojo siro sio-sio, mengko isun sing nggak terimo bakalan nekani siro" tambahnya.
(Jangan kau sia-siakan, nanti aku yang akan mendatangimu)
"Maksud e nopo toh yu? Ojo meden-medeni aku. Aku iki sik cilik, mbok ojok di dawuhi sing enggak-enggak, yuu" keluh Vee dalam bahasa Jawa yang dia mengerti.
(Maksudnya apa sih mbak? Jangan nakut-nakutin aku. Aku ini masih kecil, janganlah di beritahu yang tidak-tidak)
Wanita itu tak memperdulikan rasa takut yang menjalar di setiap sendi dalam tulang belulang Vee. Gemetaran Vee dibuatnya, hanya saja dia terlalu malu untuk ambruk sekarang.
Mengangkat dengan lambat salah satu tangannya, wanita itu sedang berusaha mengambil telapak tangan Vee.
Dapat, tapi tentu dengan segera Vee menarik tangannya kembali. Takut lah dipegang sama hantu, kalau yang memegang tangannya Chanyeol mungkin Vee akan membiarkannya.
Wanita itu mendelik ngeri, kembali berusaha memegang tangan Vee dan menggenggamnya erat setelah mendapatkannya.
"Ya Allah, bundaa... Vee takut" keluh Vee yang merasakan telapak tangannya sangat dingin saat wanita itu memegangnya.
Tiba-tiba saja dari tangannya yang lain, wanita itu dengan ajaibnya bisa mengeluarkan sebuah kotak kayu yang tak begitu besar. Dan memberikan pada Vee.
"Jogoen, rumaten, golekne wujud. Ojo nganti patang purnomo" kata wanita itu yang entah sangat menancap di otak Vee yang pas-pasan.
(Jagalah, rawatlah, carikan tempat. Jangan melebihi empat purnama)
Lambat laun, keberadaan wanita itu semakin pudar. Masih dengan memandang penuh pada Vee saat tubuhnya perlahan menggabur dan hilang terkena terpaan angin malam.
Dan akhirnya, Vee ambruk.
Lututnya sudah tak kuat menahan bobot tubuhnya setelah berjuang selama yang dia bisa.
"Bundaaa... Hiks .. Hiks .." Vee mulai menangis.
Baru tahu rasanya kena tulah dari sang bunda. Kemarin dia tidak berpamitan pada bundanya saat keluar dengan pak dhenya.
"Bunda, Vee mau pulang. Kemana jalannya? Vee takut, Bun" masih merengek.
Vee menendang-nendang udara, persis seperti anak kecil yang tak dibelikan mainan.
Kalau saja Varo, kakaknya, tahu dengan tingkah Vee yang seperti ini, pasti Vee sudah ditertawakan sampai pergantian tahun.
Meski sangat pendiam, Varo itu suka mengungkit hal yang tidak penting.
Atau jika Alina, adik cantiknya yang berhijab itu juga tahu. Pasti hilang sudah rasa kagumnya yang selalu menjunjung tinggi nama kakak perempuannya ini.
Tak sengaja kakinya menendang kotak kayu yang rupanya memang sengaja ditinggalkan oleh wanita berkebaya untuknya.
Tangisan Vee mereda, mengintip dari celah jarinya pada kotak kayu yang kini telah terbuka.
Ada sebuah botol kecil menyerupai botol minyak wangi, tapi kecil sekali. Hanya seukuran jari telunjuknya.
Ada juga sebuah buku kuno yang ukurannya juga kecil. Hanya sebesar buku saku pramuka.
"Apa ini?" gumam Vee mengamati kedua benda dihadapannya.
Dia lebih tertarik untuk membuka bukunya terlebih dahulu.
Dihalaman pertama, ada tulisan singkat yang menggunakan aksara Jawa yang sepertinya adalah sebuah nama.
"Sri Prameswari?" gumam Vee.
"Benar kan ini bacanya Sri Prameswari? Ada untungnya kan aku belajar bahasa Jawa dengan tekun. Rupanya sekarang ada gunanya" kata Vee.
Halaman kedua.
"Hideo Akihiro?"
"Siapa itu Hideo Akihiro?" Vee masih bergumam dengan dirinya sendiri.
Halaman ketiga.
"Saged dibuka tutup e, ojo ditinggal isine. Tanggung jawab e Siro wis dimulai" Vee membaca dengan baik meski terbata-bata.
"Bisa dibuka tutupnya, jangan ditinggal isinya. Tanggung jawabmu sudah dimulai?".
Penasaran dong, Vee langsung mengamati botol kecil yang berada di tangannya yang lain.
Memang ada tutupnya sih di mulut botol sekecil itu.
"Duh, gemes banget. Jadi pengen kumakan aja" gumam Vee yang melihat botol lucu dihadapannya.
"Eh, ada tulisannya juga" Vee masih mengamati botol mini itu.
"Hideo Akihiro" kata Vee yang berhasil mengeja dengan baik.
"Buka deh, nggak apa-apa. Nggak akan terjadi apa-apa" kata Vee meyakinkan dirinya.
Bahkan dia sudah lupa sedang dimana dia berada, karena terlalu asyik dengan kegiatannya.
Posisinyapun masih sama, duduk diatas tanah dengan kedua kakinya yang diselonjorkan.
"Bismillah, 1, 2, 3, buka!" kata Vee menyemangati dirinya, dan menutup kedua matanya setelah tutup itu terbuka.
Tutup kecil di mulut botol itu telah terangkat, ukurannya sangat kecil. Untungnya ada tali pengikat agar tutup itu tidak sampai hilang saat terlepas.
"Tuh kan, nggak terjadi apa-apa" kata Vee senang, karena suasana masih hening.
"Huft, aman" Vee mengelus dadanya karena merasa lega tiada tara.
Diapun memasukkan kembali buku kecil dan botol mini itu kedalam kotak kayunya. Setelahnya, dia berdiri dan ingin beranjak dari tempat itu.
Dalam posisi berdiri, Vee masih sempat menepuk-nepuk pantatnya yang kotor karena tertempel tanah dan daun kering.
"Sudah, bersih. Waktunya nyamperin pak dhe Andik daripada kena omel lagi" kata Vee setelah menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.
"Aaaaaaaahhhhh" kembali Vee berteriak saat melihat sesuatu sedang melayang-layang di udara.
.
.
.
.
.
Kira-kira apa ya yang Vee lihat sampai dia berteriak histeris?
Awas suaramu habis ya Vee, daritadi teriak-teriak terus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments