"Akhirnya sampai juga di gudang ya, Pak Dhe" daritadi Vee sudah mengeluhkan kalau pantatnya panas dan pinggangnya mulai capek.
"Iya, pokoknya kamu jangan kemana-mana selama pak dhe menurunkan muatan" Andik sudah mewanti-wanti agar Vee tidak berkeliaran kemanapun.
"Enggeh pak dhe. Vee ngobrol sama teman-temannya pak dhe saja ya" kata Vee berpamitan.
Turun dari truk kontainer, Vee hanya membawa tas kecil dan kameranya saja. Dan membiarkan tas ranselnya berada di dalam truk.
Terlihat ada beberapa orang sedang mengobrol di warung dekat gudang utama. Sesama sopir truk dari berbagai daerah, sama seperti Andik yang sedang menurunkan muatannya di dalam.
"Assalamualaikum, bapak-bapak" sapa Vee sebelum memperkenalkan diri.
"Waalaikumsalam, sendirian nduk? Mana pak dhe mu?" tanya Supri, teman seperjuangan Andik yang mengenal Vee.
"Nggeh pak, sendirian. Pak dhe sedang antri menurunkan muatan. Boleh Vee ikut gabung disini pak?" tanya Vee meminta izin dengan sopan.
"Oh, tentu. Ayo duduk. Ben sedep pemandangane, ora mung nyawang rupane Parno sing mengkerut wae mergo ora dijatah bojone, hahahaha" perkataan Supri diikuti gelak tawa dari teman-temannya.
(Tentu boleh, biar pemandangannya sedap. Nggak cuma lihat mukanya Parno yang mengkerut karena nggak dapat jatah dari istrinya)
Vee duduk setelah memesan segelas kopi susu pada mbak pemilik warung.
"Tadi lagi bahas apa sih, kok sepertinya seru banget pak?" tanya Vee sambil sesekali menjepret keadaan sekitarnya.
"Bahas posisi gudang ini waktu dulu, nduk. Ternyata dulu disini pernah ada pembantaian rupanya" kata Supri.
"Oh ya? Pembantaian apa pak dhe? Seru nih ceritanya" tanya Vee mulai tertarik dengan pembahasan semacam hantu. Horornya terasa mengena kalau yang bercerita orang-orang seperti mereka ini.
"Jadi dulu, semasa penjajahan Jepang baru masuk ke Banyuwangi. Tepatnya di daerah sini, ada satu keluarga Jepang yang bernasib sial disini" Pak Tomas, warga asli Banyuwangi ini memulai ceritanya.
Suasananya juga sangat mendukung, sore-sore menjelang Maghrib yang konon diyakini waktu keluarnya para makhluk halus.
"Gudang ini sudah ada sejak jaman dulu, dibangun waktu penjajahan Belanda" kata Thomas.
"Awalnya, gudang ini sebagai lumbung padi yang digunakan untuk mensuplai kebutuhan beras di seluruh wilayah kecamatan disini. Semuanya berjalan lancar sampai Belanda dikalahkan dan berganti para penjajah Jepang yang memasuki wilayah kita" masih Thomas yang bercerita.
"Lalu ada satu keluarga pedagang dari Jepang yang memasuki wilayah ini, mereka mempunyai seorang anak lelaki tampan yang digilai oleh banyak gadis. Baik pribumi maupun gadis Belanda yang masih bertahan, tak jarang gadis Jepang sendiri yang suka padanya" kata Thomas.
Semua tampak antusias saat memperhatikan cerita Thomas, bahkan Vee sudah merekam pembicaraan Thomas menggunakan kamera canggih miliknya.
"Terus pak?" tanya Vee sudah tidak sabar mendengar kelanjutan ceritanya.
"Terus ada sebuah keluarga asli pulau garam yang juga mempunyai anak gadis, dan keluarga itu dipercaya sebagai keluarga tukang teluh, tukang santet, keluarga yang mempunyai ilmu hitam tinggi" semua orang memperhatikan cerita Thomas dengan seksama.
"Sebentar pak Thomas, hubungannya apa sama gudang ini?" tanya Vee yang sudah tidak sabar mendengar inti ceritanya.
"Sabar dong Vee, dengerin dulu yang sabar" celetuk yang lain.
"Eh, iya. Maaf pak, silahkan dilanjut. Saya mau mendengarkan dengan sabar" kata Vee kembali fokus setelah memamerkan cengir kudanya.
"Jadi, begini. Orang-orang disini percaya kalau anak lelaki Jepang yang tampan ini di santet ilmu pengasih tingkat tinggi oleh keluarga dari pulau garam ini. Dan membuat lelaki ini jatuh cinta sedalam-dalamnya pada anak gadisnya yang hanya orang biasa" kata Thomas.
"Entah siapa pencetusnya, tapi malam itu. Semua warga sekitar gudang ini berbondong-bondong mendatangi rumah gadis itu dan membantai seluruh keluarganya. Membunuh dengan ganas dan membakar rumah beserta isinya, dan juga mayat dari keluarga itu" Thomas menampilkan mimik wajah yang seolah mengerikan saat bercerita.
"Gadis itu tak ditemukan di rumahnya, semua warga sudah mencari kemanapun, tapi nihil. Dan salah satu orang memberi kabar jika gadis itu dan lelaki Jepang yang menjadi rebutan para gadis itu sedang berada di hutan di belakang gudang ini" kata Thomas.
"Warga bertambah marah, apalagi saat mereka bersama ke hutan di belakang gudang ini, malah ditemukan bahwa lelaki itu sudah terbujur kaku di pangkuan sang gadis" cerita Thomas bertambah ngeri.
"Dan kalian tahu apa yang warga lakukan pada gadis malang itu?" tanya Thomas.
Semua hanya menggeleng tanpa suara, bersiap mendengar lanjutan cerita Thomas yang seolah menghipnotis mereka semua.
"Gadis itu disembelih beramai-ramai, lalu jasadnya dibuang begitu saja di dalam hutan di belakang gudang ini. Bersama dengan seluruh keluarganya, tanpa sisa. Dan rumah mereka dibakar hingga rata dengan tanah" kata Thomas.
"Itulah kenapa, hutan kecil di belakang gudang ini sangat menyeramkan, nggak ada orang yang berani memasukinya. Karena setelah kejadian itu, tak seorangpun berani memasuki hutan ini meski beramai-ramai" Thomas menutup ceritanya dengan apik.
"Secara pribadi, Vee agak tidak percaya sih sama yang namanya hantu, pak Thomas. Apalagi di zaman modern seperti sekarang ini. Para hantu sudah melipir, takut ditangkap sama manusia dan dijadikan konten, hehehe" Vee berpendapat setelah dari tadi diam mendengarkan.
"Memang banyak yang tidak percaya, Vee. Tapi banyak juga yang sudah melihat penampakan gadis tanpa kepala yang sedang mencari kepalanya berkeliaran di sekitar gudang ini, dan menghilang setelah berlari ke arah hutan di belakang gudang ini" kata Thomas.
"Hengmg, menarik juga ya ceritanya pak. Seandainya Vee yang melihat penampakan seperti itu, pasti Vee ikutin sampai dia menemukan kepalanya, pak. Biar Vee tahu apa tujuan dari gadis itu menakut-nakuti warga disini" kata Vee yang mendapatkan tatapan aneh dari bapak-bapak yang mengobrol dengannya daritadi.
"Omongmu Vee, kalau ketemu pasti lari terbirit-birit sampai kencing di celana" ejek bapak berambut keriting, Vee tak mengenali namanya.
Semua orang ikut tertawa mendengar ejekan darinya, sementara Vee malah mencebikkan bibirnya. Tak suka dengan orang yang mengejeknya barusan.
"Terserah bapak sih, awas saja kalau sampai bapak sendiri yang ketemu. Kalau sampai kencing di celana, saya yang pertama akan menertawakan bapak" Vee tak mau kalah dalam hal ejek-mengejek.
"Uwah, rame banget. Ono opo toh?" tanya Andik yang baru bisa ikut bergabung.
"Ponakanmu, Ndik. Nggak takut sama dedemit katanya" rupanya bapak berambut keriting mengadu pada Andik.
"Memang, dia itu sering kok ketemu demit. Bahkan ada yang rupanya mirip kamu katanya" Andik merasa tak terima karena ternyata Vee yang dijadikan bahan ledekan.
Sontak semuanya jadi tertawa mendengar penuturan Andik. Tak terkecuali Vee, dia merasa senang karena ada yang membelanya.
"Masak sih, Ndik? Ada demit yang mirip sama aku?" napak berambut keriting malah mempercayai ucapan Andik.
"Iya, bedanya demitnya gundul. Kalau kamu kan keriting" kata Andik yang lagi-lagi membuat semuanya kembali tertawa.
"Tuyul dong" celetuk Vee yang dari tadi tertawa hingga perutnya terasa agak kram.
"Sialan kamu, Ndik" kata Bapak berambut keriting.
"Sudah, ayo sama-sama ke masjid. Sudah mau masuk waktu Maghrib ini" Andik mengajak semuanya ke masjid.
Meski ada juga yang tetap bertahan tak mengindahkan ajakan Andik.
Tapi tentu Vee mengikuti langkah pak dhenya menuju masjid terdekat. Mereka sudah hafal jalan di sekitar gudang itu karena memang sering kirim pupuk kesana.
★★★★★
Malam hari, kondisi fisik Andik sudah lelah setelah mengendarai truknya dari Malang menuju Banyuwangi.
Hampir dua belas jam di jalanan, membuatnya tentu merasa sangat capek.
Dan seperti biasanya, malam harinya pasti dia akan menginap di gudang tempat biasanya dia membongkar muatannya. Meski harus tidur di dalam truknya.
"Vee, kita tidur di atas bak belakang ya? Pak dhe sengaja bawa kasur lipat biar kamu bisa tidur dengan nyaman" kata Andik.
"Tumben pak dhe mau repot segala? Biasanya tidur di kursi dalam sini" kata Vee.
"Mumpung cuacanya lagi cerah, Vee. Nggak ada salahnya sesekali tidur beratapkan langit bertabur bintang" kata Andik sok puitis.
"Cie, pasti gombalan receh kayak gini yang bikin budhe klepek-klepek sama pak dhe ya, hehehe" Vee menertawakan tingkah pak dhe nya.
Andik sudah mendahului Vee keluar dari dalam truk, menuju ke bak belakang yang terbuka karena kontainer raksasanya sedang diambil isinya. Masih ada di dalam gudang besar itu.
Pria paruh baya itu menggelar kasur lipat untuk Vee. Sedangkan untuk dirinya sendiri hanya beberapa lembar kardus kosong berukuran besar yang didapatkan dari dalam gudang.
"Jangan lupa bawa selimut, Vee" perintah Andik.
"Siap pak dhe" Vee telah membawa selimut tipis yang selalu dibawanya setiap ikut Andik.
Berbantalkan tas ranselnya, Vee memposisikan dirinya dengan nyaman diatas kasur tipis milik Andik. Bersiap tidur malam dibawah terangnya sinar rembulan.
"Pak dhe" Vee memanggil Andik yang batrainya sudah tinggal lima watt saja.
"Hem" jawab Andik menggumam tak jelas.
"Bulan purnama, ya" kata Vee yang masih memandangi langit.
"Katanya ada manusia serigala lho kalau bulannya sedang purnama" kata Vee tanpa menengok pada Andik.
"Biar kamu digigit kalau nggak buruan tidur" kata Andik yang sudah tidak kuat melek.
"Tapi pak dhe..." belum juga Vee menyelesaikan ucapannya, sudah terdengar suara dengkuran dari arah Andik.
"Yah, malah ditinggal tidur" gumam Vee yang masih betah menatap langit yang ditaburi bintang, dengan bulan yang terpajang sedang purnama.
"Indah banget" gumam Vee sambil mengangkat tangannya seolah sedang menggabungkan bintang-bintang dilangit.
Sedang asyik menatap langit, telinga Vee seperti menangkap derap langkah yang tak beraturan.
Entah darimana asal datangnya suara langkah kaki itu. Vee tak bisa menangkap dengan jelas sumber arahnya.
"Kayak ada orang. Mungkin nggak sih masih ada yang belum tidur?" Vee sudah dalam posisi duduk, mengecek jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Sudah jam setengah dua belas, masak sih masih ada yang belum tidur?" Vee yang jiwa penasarannya sangat tinggi sudah merasa terpanggil oleh suara langkah kaki yang tak beraturan itu.
Menyibak selimut tipisnya, Vee segera memakai sepatunya lagi. Setelah siap, dia melangkah dengan mengendap-endap agar tak terdengar oleh Andik.
"Oh, kamera" gumam Vee yang tak bisa ketinggalan dengan kameranya.
Diapun segera beranjak setelah mengalungkan kamera mahalnya dengan hati-hati.
"Dari mana sih suaranya?" Vee belum bisa memastikan arah langkah itu berasal.
Srek... Srek ... Srek...
plak... plak... plak...
Seperti suara saat kamu melangkah dengan menggunakan kain yang dililitkan seperti rok saat wisuda.
Masih celingukan, Vee menajamkan pendengarannya untuk mencari sumber suara.
Tak ada yang masih terjaga, beberapa truk yang sedang antri sudah tampak menutup pintu mobilnya masing-masing dan beristirahat di dalamnya.
Terlihat dari adanya kaki yang diselonjorkan ke jendela. Para supir sudah tidur.
Vee segera menoleh saat suara langkah kaki itu terdengar dekat dengannya.
"Astaghfirullah" sedikit Vee merasa lemas saat melihat sesosok makhluk yang sepertinya adalah seorang wanita. Dan benar saja jika wanita itu tak berkepala.
Seketika semua bulu dan pori-pori diseluruh tubuhnya terasa meremang. Hampir menonjol karena rasa takut yang tak terkira.
"Sial! Pasti dia keluar karena di ghibahin sama para sopir tadi sore" gumam Vee yang terlupa dengan semua bacaan doa yang pernah dihafalnya.
Wanita itu mengenakan kebaya jaman dulu dengan kain jarit yang melilit dari pinggang hingga mata kaki. Dia mengenakan sandal yang entah terbuat dari bahan apa.
Suaranya menimbulkan gesekan yang terasa menimbulkan rasa ngilu hingga masuk ke relung hati.
Vee meringis tiap mendengar derit langkah kaki dari wanita tak berkepala ini.
Mungkin karena tak bisa melihat, sosok itu jadinya berjalan tak beraturan. Meraba-raba seperti tuna netra tanpa tongkat. Mencari jalan yang bisa dilewati.
Vee sejenak tertegun melihatnya, kini dia tahu arti rasa takut yang sebenarnya.
Lututnya terasa lemas, sebisa mungkin dia menahan nafasnya karena dalam pikirannya, sosok itu semacam vampir Cina yang bisa mengendus makhluk hidup dari deru nafas yang ada.
Sosok itu masih berjalan tak beraturan, saat Vee menatapnya lekat. Terlihat wanita itu seperti bisa merasakan kehadiran Vee di dekatnya.
Entah benar atau tidak, tangan dari wanita itu melambai padanya. Mengajaknya untuk ikut dan menemaninya menuju ke suatu tempat.
Seolah terhipnotis, Vee tak bisa mengontrol kakinya dan benar-benar mengikuti langkah terseok-seok dari wanita berkebaya yang tak berkepala itu.
Kamera yang Vee pegang masih dalam posisi on dan merekam apa yang ada di depannya.
Tak fokus memang, karena Vee tak memegangnya dengan baik.
Tapi masih bisa dilihat kalau Vee berjalan menuju hutan kecil di belakang gudang.
Hutan yang dipercaya masyarakat sekitar adalah tempat angker yang sebisa mungkin jangan pernah bermimpi untuk masuk ke dalamnya.
Tapi Vee melakukan itu, dia berjalan mengikuti wanita berkebaya batik dan kusam itu lebih ke dalam hutan.
Meninggalkan Andik dan semua orang yang tertidur seperti orang yang kena sirep. Mereka sama sekali tak terganggu dengan suara derap langkah dari wanita berkebaya batik yang terdengar nyaring di sunyinya malam ini.
Dan benar saja, tanpa adanya kontrol dari otaknya. Vee berjalan perlahan semakin memasuki hutan lebih dalam.
Sama sekali dia tidak tersandung oleh apapun. Mungkin karena adanya cahaya dari bulan yang terlihat penuh malam ini.
Cahayanya bahkan bisa menjadi penerang bagi sosok tanpa kepala yang sedang menuntun langkah Veeronica.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments